1/27/2013 03:40:00 PM

b


153
Sejarah Tuhan
perselisihan dari dalam, Gereja juga telah mengembangkan organisasi
yang efisien, yang membuatnya nyaris seperti mikrokosmos kekaisaran
itu sendiri: multirasial, meluas, internasional, ekumenikal,
dan dijalankan oleh birokrasi yang efisien.
Begitu ia menjadi sebuah kekuatan bagi stabilitas dan memikat
Kaisar Konstantin, yang menjadi penganut Kristen setelah pertempuran
di Jembatan Milvian pada tahun 312, Kristen dilegalisasi pada tahun
berikutnya. Orang Kristen kini bisa memiliki rumah, bebas beribadah,
dan memberi sumbangsih yang nyata bagi kehidupan masyarakat.
Meskipun paganisme masih berkembang selama dua abad berikutnya,
Kristen menjadi agama resmi kerajaan dan mulai menarik minat
pengikut-pengikut baru yang datang bergabung ke Gereja demi
memperoleh kesejahteraan material. Tak lama kemudian Gereja—
yang mengawali kehidupan sebagai sebuah sekte terlarang yang
memohon toleransi—juga menuntut kesesuaian dengan hukum dan
kredonya sendiri. Alasan kemenangan Kristen tidak jelas; tetapi pasti
ia tidak akan berhasil tanpa dukungan kekaisaran Romawi, meskipun
ini juga tak pelak menimbulkan persoalan sendiri. Pada puncaknya
merupakan agama yang selalu dirundung malang, Kristen tak pernah
benar-benar tiba pada suatu masa keemasan. Salah satu persoalan
utama yang mesti dipecahkannya adalah doktrin tentang Tuhan: tak
lama setelah Konstantin membawa kedamaian kepada Gereja, bahaya
baru pun muncul dari dalam yang memecah Kristen menjadi kubukubu
yang saling bermusuhan.[]
154
Trinitas: Tuhan Kristen
Sekitar tahun 320, gairah teologis yang membara merasuki
gereja-gereja di Mesir, Siria, dan Asia kecil. Para pelaut dan
pelancong melantunkan senandung masyhur yang menyatakan
Tuhan yang sejati hanyalah sang Bapa, yang tidak dapat dijangkau
dan unik, tetapi sang Putra tidaklah abadi dan bukannya tidak
diciptakan, karena dia mendapat kehidupan dan wujud dari sang
Bapa. Kita mendengar tentang penjaga tempat pemandian yang menceramahi
para pengunjung bahwa sang Putra berasal dari ketiadaan;
tentang seorang penukar uang yang, ketika ditanya tentang nilai
tukar, malah memberi pengantar jawabannya dengan uraian panjang
tentang perbedaan antara tatanan yang diciptakan dengan Tuhan
yang tidak diciptakan; juga seorang tukang roti yang memberitahukan
pelanggannya bahwa Bapa lebih agung daripada sang Putra. Mereka
mendiskusikan persoalan pelik ini dengan semangat yang sama
seperti orang-orang memperbincangkan sepakbola di masa sekarang.1
Kontroversi ini disulut oleh Arius, seorang pemuka gereja yang
tampan dan karismatik dari Aleksandria, yang memiliki suara lembut,
menawan, dan wajah yang sangat melankolis. Dia melemparkan
sebuah tantangan yang oleh uskupnya, Aleksander, tidak mungkin
diabaikan, tetapi akan lebih sulit lagi untuk dijawab: bagaimana
mungkin Yesus Kristus menjadi Tuhan dalam cara yang sama dengan
Tuhan Bapa? Arius tidak menyangkal ketuhanan Kristus; bahkan, dia
155
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
nurulkariem@yahoo.com
Sejarah Tuhan
menyebut Yesus "Tuhan kuat" dan "Tuhan sepenuhnya,"2 tetapi
berpendapat bahwa meyakini dia itu ilahiah secara hakikinya
merupakan suatu penghujatan: Yesus sendiri secara spesifik telah
mengatakan bahwa Tuhan Bapa itu lebih agung daripada dirinya.
Aleksander dan asistennya yang brilian, Athanasius, segera menyadari
bahwa ini tidak lebih dari pernik-pernik teologis semata. Arius telah
mengajukan persoalan vital menyangkut hakikat Tuhan. Sementara
itu, Arius, seorang propagandis yang mahir, telah meramu gagasannya
ke dalam bentuk yang populer, dan tak lama kemudian kaum awam
pun memperdebatkan isu tersebut dengan tak kalah hangatnya
dibandingkan uskup-uskup mereka.
Kontroversi itu menjadi begitu memanas sehingga Kaisar Konstantin
sendiri turun tangan dan mengimbau penyelenggaraan sebuah
sinode di Nicaea, di kawasan Turki modern, Untuk membahas masalah
ini. Pada masa sekarang, nama Arius menjadi kata lain untuk bid'ah,
tetapi pada saat konflik itu merebak belum ada posisi ortodoks yang
resmi dan sama sekali tak bisa dipastikan mengapa, atau bahkan
apakah, Arius salah. Sebetulnya tak ada yang baru dalam klaimnya:
Origen, orang yang dihormati oleh kedua pihak yang berseberangan,
pernah mengajarkan doktrin yang mirip. Akan tetapi, iklim intelektual
di Aleksandria telah berubah sejak masa Origen dan orang-orang
tidak lagi yakin bahwa Tuhan Plato dapat berhasil disandingkan
dengan Tuhan Alkitab. Arius, Aleksander, dan Athanasius, misalnya,
mempercayai sebuah doktrin yang pasti mengejutkan setiap orang
yang penganut Platonis: mereka beranggapan bahwa Tuhan telah
menciptakan alam dari ketiadaan (ex nihilo) dengan mendasarkan
pendapat mereka pada kitab suci. Pada kenyataannya, Kitab Kejadian
tidak memuat klaim semacam ini. Penulis tradisi Para Imam pernah
menyiratkan bahwa Tuhan telah menciptakan alam dari kekacauan
primordial, tetapi ajaran bahwa Tuhan menghadirkan seluruh alam
dari sebuah kehampaan absolut sepenuhnya merupakan pendapat
yang baru. Gagasan ini asing bagi pemikiran Yunani dan tak pernah
diajarkan oleh para teolog semacam Clement dan Origen, yang
berpegang pada skema emanasi Platonis. Namun pada abad keempat,
orang Kristen mulai sependapat dengan kaum Gnostis bahwa dunia
ini secara inheren rentan, tak sempurna, dan terpisah dari Tuhan
oleh suatu jurang yang sangat lebar. Doktrin baru penciptaan ex
nihilo ini menekankan pandangan tentang kosmos yang pada
dasarnya lemah dan sepenuhnya bergantung kepada Tuhan untuk
156
Trinitas: Tuhan Kristen
mewujud dan hidup. Tuhan dan kemanusiaan tak lagi serumpun,
sebagaimana dalam pemikiran Yunani. Tuhan menciptakan setiap
satu wujud dari ketiadaan tak bertepi, dan kapan pun dia bisa menarik
kembali tangannya yang memberi sokongan. Tak ada lagi mata rantai
wujud yang secara abadi beremanasi dari Tuhan. Tak ada lagi perantara
alam wujud-wujud spiritual yang mengalirkan kekuatan mana ilahi
kepada dunia. Manusia tak dapat lagi mendaki mata rantai wujud
menuju Tuhan dengan usaha mereka sendiri. Hanya Tuhan, yang
telah menarik mereka dari ketiadaan pada awalnya dan menjaga
mereka agar terus mewujud, yang bisa menjamin keselamatan abadi
mereka.
Orang Kristen mengetahui bahwa Yesus Kristus telah menyelamatkan
mereka melalui kematian dan kebangkitannya; mereka telah
diselamatkan dari kebinasaan dan pada suatu masa akan ikut dalam
eksistensi Tuhan, yang Ada dan Hidup dengan sendirinya. Lewat
suatu cara Kristus telah membuat mereka mampu menyeberangi
jurang lebar yang memisahkan Tuhan dari manusia. Pertanyaannya
adalah, bagaimana cara dia melakukan hal itu? Pada sisi mana dari
Jurang Lebar itu dia berada? Kini tak ada lagi Pleroma, tempat yang
berisikan para perantara dan aeon-aeon. Apakah Kristus, sang Firman,
tergolong ke dalam alam suci (yang kini merupakan wilayah Tuhan
sendirian) atau tergolong ke dalam tatanan ciptaan yang rentan. Arius
dan Athanasius meletakkannya pada sisi yang berseberangan:
Athanasius pada alam suci sedangkan Arius memilih tatanan makhluk.
Arius bermaksud menekankan perbedaan esensial antara Tuhan
yang unik dengan semua makhluk ciptaannya. Seperti tertulis dalam
suratnya kepada Uskup Aleksander, Tuhan adalah "satu-satunya yang
tidak memperanakkan, satu-satunya yang abadi, satu-satunya yang
tak berawal, satu-satunya kebenaran, satu-satunya yang memiliki
keabadian, satu-satunya yang bijak, satu-satunya yang baik, dan satusatunya
yang kuasa."3 Arius menguasai isi kitab suci dengan baik
dan dia mempersenjatai argumennya dengan teks-teks kitab suci
untuk mendukung klaimnya bahwa Kristus sang Firman tak lain adalah
makhluk seperti kita semua. Sebuah ayat kunci adalah deskripsi
tentang Hikmat suci dalam Kitab Amsal, yang menyatakan secara
eksplisit bahwa Tuhan telah menciptakan Hikmat sejak dahulu kala.4
Teks itu juga menyatakan bahwa Hikmat merupakan sarana
penciptaan, sebuah gagasan yang diulang lagi dalam prolog Injil
Yohanes. Firman itu telah ada bersama Allah sejak semula:
157
Sejarah Tuhan
Segala sesuatu dijadikan oleh Dia,
Dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi.5
Logos merupakan instrumen yang digunakan Tuhan untuk
membuat segala ciptaan menjadi ada. Oleh karena itu, ia sepenuhnya
berbeda dari wujud-wujud lain dan memiliki status sangat tinggi.
Namun karena diciptakan oleh Tuhan, logos secara esensial berbeda
dari Tuhan itu sendiri.
Yohanes mempertegas bahwa Yesus adalah logos; dia juga
mengatakan bahwa logos itu adalah Allah.6 Sungguhpun demikian,
menurut Arius, Yesus bukanlah tuhan dalam hakikatnya, tetapi
diangkat Tuhan ke status ilahiah. Dia berbeda dengan kita semua
karena Tuhan telah menciptakannya secara langsung sedangkan
makhluk-makhluk lain diciptakan melalui dia. Tuhan telah mengetahui
bahwa jika logos menjadi manusia, dia akan mematuhi Tuhan secara
sempurna. Oleh karena itu, Tuhan telah, bisa dikatakan demikian,
menganugerahkan kesucian kepada Yesus sejak semula. Akan tetapi,
kesucian Yesus bukanlah alamiah baginya: itu hanyalah sebuah
pemberian atau karunia. Lagi-lagi, Arius dapat menampilkan banyak
teks yang tampaknya menopang pandangan ini. Kenyataan bahwa
Yesus telah menyebut Allah sebagai "Bapa-"nya mengimplikasikan
sebuah perbedaan; kebapakan pada dasarnya menyiratkan eksistensi
yang lebih dahulu dan menunjukkan superioritas terhadap anak.
Arius juga mengetengahkan ayat-ayat biblikal yang menekankan
kerendahan hati dan kerentanan Kristus.
Arius tak bermaksud merendahkan Yesus, sebagaimana dituduhkan
oleh musuh-musuhnya. Dia mempunyai pandangan luhur tentang
keutamaan dan kerelaan pengurbanan Yesus, yang diyakini menjadi
jaminan keselamatan manusia. Tuhan Arius menyerupai Tuhan para
filosof Yunani, yang jauh dan sangat transenden terhadap dunia;
karena itu pula dia menganut konsep Yunani tentang penyelamatan.
Kaum Stoa, misalnya, selalu mengajarkan bahwa adalah mungkin
bagi manusia yang baik untuk menjadi kudus. Ini juga merupakan
hal yang esensial dalam pandangan Platonis. Arius secara antusias
percaya bahwa orang Kristen telah diselamatkan dan dijadikan suci,
ikut memiliki hakikat ilahi. Ini hanya mungkin karena Yesus telah
merintiskan sebuah jalan bagi manusia. Dia telah menjalani kehidupan
seorang manusia sempurna; dia telah mematuhi Allah bahkan hingga
kematian di kayu salib; seperti dikatakan oleh Paulus, adalah karena
158
Trinitas: Tuhan Kristen
kepatuhannya hingga mati maka Allah sangat meninggikannya dan
mengaruniakan kepadanya gelar Tuhan (kyrios).7 Andaikata Yesus
bukan seorang manusia, takkan ada harapan buat kita. Tak ada yang
bisa kita teladani dari hidupnya jika dia memang adalah Tuhan secara
hakiki. Justru dengan merenungkan kehidupan Kristus yang sarat
dengan nilai-nilai kepatuhan seorang anak maka orang Kristen dapat
menjadikan diri mereka pun ilahiah. Dengan meneladani Kristus,
makhluk yang sempuma, mereka juga bisa menjadi "makhluk ciptaan
Allah dengan kesempurnaan yang tak dapat diubah dan tak dapat
berubah."8
Namun, Athanasius memiliki pandangan yang kurang optimis
terhadap kapasitas manusia di hadapan Tuhan. Dia memandang
kemanusiaan secara inheren merupakan sesuatu yang rapuh: kita
berasal dari ketiadaan dan akan kembali ke dalam ketiadaan jika kita
berdosa. Oleh karena itu, ketika merenungkan makhluknya, Tuhan,
melihat bahwa seluruh alam ciptaan, jika dibiarkan berjalan dengan
sendirinya, akan berubah dan bisa mengalami kehancuran. Untuk
mencegah ini dan menjaga agar alam semesta tidak kembali menjadi
tiada, dia ciptakan segala sesuatu dengan logos-nya sendiri yang abadi
dan mengaruniakan wujud kepada ciptaan.9
Hanya dengan cara turut serta dalam Tuhan, melalui logos-nya.,
manusia bisa terhindar dari ketiadaan karena Tuhan sajalah yang
merupakan Wujud sempurna. Jika logos pun merupakan makhluk
biasa, dia tak akan mampu menyelamatkan manusia dari kebinasaan.
Logos dibuat menjadi daging untuk memberi hidup kepada kita. Dia
telah turun ke alam manusia yang tidak abadi untuk memberi kita
bagian dalam ketidakberubahan dan keabadian Tuhan. Namun,
pembebasan ini mustahil adanya jika logos sendiri adalah makhluk
rentan, yang juga dapat jatuh ke dalam ketiadaan. Hanya dia yang
telah menciptakan dunialah yang mampu menyelamatkannya, dan
itu berarti bahwa Kristus, logos yang mendaging, pastilah berhakikat
sama dengan Tuhan Bapa. Sebagaimana dikatakan Athanasius, Firman
dibuat menjadi manusia dengan tujuan agar kita bisa menjadi kudus.10
Ketika para uskup berkumpul di Nicaea pada 20 Mei 325, untuk
mengatasi krisis ini, sedikit sekali yang mendukung pandangan Athanasius
tentang Kristus. Kebanyakannya berpegang pada posisi menengah
antara Athanasius dan Arius. Meskipun demikian, Athanasius
159
Sejarah Tuhan
berhasil mendesakkan teologinya kepada para delegasi dan, di bawah
ancaman kaisar, hanya Arius dan dua orang sahabatnya yang berani
menolak untuk menyetujui Kredo Athanasius. Dengan ini maka creatio
ex nihilo pun menjadi doktrin resmi Kristen untuk pertama kalinya,
menegaskan bahwa Kristus bukanlah sekadar makhluk atau aeon.
Sang Pencipta dan Penebus itu adalah satu.
Kami beriman kepada Allah Yang Esa,
Tuhan Bapa yang Mahakuasa,
pencipta segala sesuatu, yang dapat dilihat dan tak dapat dilihat,
dan kepada satu Tuhan, Yesus Kristus,
Anak Allah,
satu-satunya anak Tuhan Bapa,
yang berasal dari substansi (ousid) Tuhan Bapa,
Tuhan dari Tuhan,
cahaya dari cahaya,
Tuhan sejati dari Tuhan sejati,
diperanakkan, tidak diciptakan
dari satu substansi (homoousion) dengan Tuhan Bapa,
yang melaluinya segala sesuatu diciptakan,
segala yang ada di langit dan segala yang ada di bumi,
yang demi kita dan keselamatan kita,
turun dan dijadikan manusia,
yang menderita, bangkit kembali pada hari ketiga,
naik ke langit
dan akan datang untuk menjadi hakim bagi yang hidup dan yang mati
dan kami beriman kepada Roh Kudus.11
Tercapainya kesepakatan itu menyenangkan hati Konstantin yang
tidak memiliki pemahaman tentang isu-isu teologis. Tetapi, sebenarnya
tidak ada sebuah kesepakatan pun di Nicaea. Setelah konsili itu,
para uskup terus mengajar sebagaimana biasanya, dan krisis Arian
pun terus berlanjut selama enam puluh tahun berikutnya. Arius dan
pengikutnya terus melawan dan berhasil memperoleh dukungan
kekaisaran. Athanasius diasingkan tak kurang dari lima kali. Sangat
sulit untuk memegang kredonya. Khususnya, istilah homoousion
(secara harfiah berarti "dibuat dari bahan yang sama") sangat
kontroversial karena tidak berlandaskan kitab suci dan memiliki
asosiasi materialistik. Dua uang logam, misalnya, bisa dikatakan
homoousion karena keduanya dibuat dari substansi yang sama.
160
Trinitas: Tuhan Kristen
Lebih jauh lagi, kredo Athanasius menimbulkan banyak pertanyaan
penting. Dinyatakannya bahwa Yesus itu ilahiah, tetapi tidak
dijelaskan bagaimana logos bisa berasal "dari bahan yang sama"
dengan Tuhan Bapa tanpa menjadi Tuhan kedua. Pada tahun 339,
Marcellus, Uskup Ankira—teman setia dan kolega Athanasius, yang
bahkan pernah ikut ke pengasingan bersamanya suatu kali—berpendapat
bahwa logos tidak mungkin merupakan sebuah wujud suci
yang abadi. la hanyalah sebuah kualitas atau potensi yang inheren
di dalam Tuhan: secara apa adanya, rumusan Nicene dapat dituduh
sebagai triteisme, kepercayaan bahwa ada tiga tuhan: Tuhan Bapa,
Putra, dan Roh Kudus. Sebagai pengganti homoousion yang kontroversial,
Marcellus mengusulkan istilah yang kompromistis, yaitu
homoiousion, dari hakikat yang sama atau serupa. Perdebatan yang
berliku-liku ini sering menjadi bahan olok-olok, terutama oleh Gibbon,
yang merasa adalah tak masuk akal jika kesatuan Kristen mesti terancam
hanya oleh sebuah diftong. Akan tetapi, yang menarik adalah
kegigihan yang terus dipertahankan oleh orang Kristen terhadap
perasaan mereka bahwa keilahian Yesus merupakan hal yang esensial,
meski sangat sulit untuk merumuskannya dalam terma-terma
yang konseptual. Seperti Marcellus, banyak orang Kristen merasa
terusik oleh ancaman terhadap kesatuan ilahi. Marcellus kelihatannya
percaya bahwa logos hanyalah sebuah fase sementara: ia muncul
dari Tuhan pada saat penciptaan, berinkarnasi dalam diri Yesus
dan, ketika penebusan telah sempurna, ia akan kembali larut ke
dalam alam suci. Dengan demikian, Tuhan Yang Esa tetap mencakup
segalanya.
Akhirnya, Athanasius mampu meyakinkan Marcellus dan para
pengikutnya bahwa mereka mesti menggalang kekuatan, karena
mereka memiliki lebih banyak kesamaan dibanding dengan sekte
Arius. Dengan demikian, siapa yang mengatakan bahwa logos
berhakikat sama dengan Tuhan Bapa dan yang mengatakan bahwa
ia berhakikat mirip dengan Tuhan Bapa adalah "bersaudara, yang
memaksudkan apa yang kita maksudkan dan hanya berselisih dalam
soal terminologi."12 Yang jadi prioritas seharusnya adalah menentang
Arius, yang menyatakan bahwa sang Putra secara keseluruhan berbeda
dari Tuhan dan secara mendasar memiliki hakikat yang berbeda.
Bagi orang luar, tak pelak lagi bahwa argumen-argumen teologis
semacam ini tampak hanya membuang-buang waktu saja: toh tak
ada pihak yang mungkin memberi bukti secara definitif, dengan
161
Sejarah Tuhan
cara apa pun, dan perselisihan itu sendiri justru terbukti telah memecah
belah. Akan tetapi, bagi orang yang terlibat di dalamnya, ini bukanlah
perdebatan yang kering, tetapi menyangkut esensi pengalaman
Kristen. Arius, Athanasius, dan Marcellus yakin bahwa sesuatu yang
baru telah menyusup ke dunia bersama Yesus, dan mereka berupaya
untuk mengartikulasikan pengalaman ini ke dalam simbol-simbol
konseptual untuk menjelaskannya kepada diri mereka sendiri dan
kepada orang lain. Kata-kata itu sendiri hanya mungkin bersifat
simbolik, sebab realitas yang ingin mereka tunjukkan memang tak
terucapkan. Namun sayangnya, sebuah intoleransi dogmatik telah
merayap ke dalam agama Kristen, yang akhirnya menetapkan pengadopsian
simbol-simbol yang "benar" atau ortodoks sebagai sesuatu
yang penting dan wajib. Obsesi doktrinal ini, yang khas bagi Kristen,
dapat dengan mudah menggiring kepada pencampuradukan simbol
manusia dengan realitas ilahi. Kristen telah senantiasa merupakan
sebuah keimanan yang bersifat paradoks: pengalaman keagamaan
generasi awal Kristen yang kuat telah mengalahkan keberatan ideologis
mereka terhadap skandal seorang Mesias yang disalib. Kini di
Nicaea, Gereja telah memilih paradoks Inkarnasi, meskipun dengan
ketidaksesuaiannya yang terang-terangan dengan monoteisme.
Dalam karyanya yang berjudul Life of Anthony, tentang seorang
asketik padang pasir yang masyhur, Athanasius berusaha memperlihatkan
bagaimana doktrin barunya akan berpengaruh terhadap
spiritualitas Kristen. Antonius, yang dikenal sebagai bapak monastisisme,
telah menjalani kehidupan yang penuh kesusahan di padang
sahara Mesir. Dalam The Sayings of The Fathers, sebuah antologi
anonim tentang ujar-ujar para pendeta padang pasir, dia ditampilkan
sebagai manusia biasa yang rentan, terusik juga oleh rasa bosan, ikut
menderita karena problem-problem kemanusiaan, dan memberikan
nasihat langsung yang sederhana. Akan tetapi, dalam biografinya,
Athanasius menghadirkan Antonius dengan cara yang sepenuhnya
berbeda. Misalnya, dia berubah menjadi tokoh yang sangat keras menentang
Arianisme; dia telah mulai mencicipi pengangkatannya ke
status ilahiah di masa depan, karena berhasil meraih apatheia ilahi
hingga tingkat yang cukup tinggi. Tatkala, misalnya, dia bangkit dari
pusara tempat dia menghabiskan waktu selama dua puluh tahun untuk
bertarung melawan setan-setan, Athanasius mengatakan bahwa tubuh
Antonius tidak memperlihatkan tanda-tanda menua. Dia adalah seorang
Kristen yang sempurna, yang ketenangannya telah membedakannya
162
Trinitas: Tuhan Kristen
dari manusia lain: "jiwanya tak terusik, dan dengan demikian penampilan
luarnya tampak damai."13 Dia telah dengan sempurna meneladani
Kristus: seperti logos yang telah mendaging, turun ke dunia
fana dan memerangi kekuatan jahat, Antonius pun turun ke tempattempat
hunian setan. Athanasius tak pernah menyebutkan kontemplasi,
yang oleh kaum Platonis Kristen, seperti Clement atau Origen dianggap
sebagai sarana menuju ketuhanan dan pensucian. Makhluk yang
tak abadi tidak lagi dipandang mungkin untuk naik ke hadirat Tuhan
melalui kontemplasi dengan menggunakan kekuatan alamiah mereka
sendiri. Alih-alih, orang Kristen harus meniru turunnya Firman yang
mendaging ke dalam alam material yang fana.
Akan tetapi, orang-orang Kristen masih kebingungan: Jika hanya
ada satu Tuhan, bagaimana bisa logos itu juga menjadi tuhan? Akhirnya
tiga teolog terkemuka dari Kapadokia di Turki Timur muncul dengan
sebuah solusi yang memuaskan bagi Gereja Ortodoks Timur. Mereka
adalah Basil, Uskup Caesarea (kl. 329-79), adiknya Gregory, Uskup
Nyssa (335-95), dan sahabatnya Gregory dari Nazianzus (329-91).
Kapadokian, begitu mereka sering disebut, adalah orang-orang yang
sangat spiritualis. Mereka sangat gandrung akan spekulasi dan filsafat,
namun berkeyakinan bahwa hanya pengalaman keagamaanlah yang
mampu memberikan kunci pemecahan atas persoalan-persoalan
ketuhanan. Dengan latar belakang filsafat Yunani yang kuat, mereka
semua sadar akan perbedaan penting antara kandungan kebenaran
faktual dengan aspek-aspeknya yang lebih sukar dipahami. Kaum
rasionalis Yunani terdahulu telah memberi perhatian kepada persoalan
ini: Plato telah mempertentangkan filsafat (yang diungkapkan lewat
istilah-istilah logika dan dengan demikian dapat dibuktikan) dengan
ajaran-ajaran yang tak kalah pentingnya yang diwarisi melalui mitologi,
yang mengelak dari pembuktian ilmiah. Kita telah menyaksikan
bahwa Aristoteles telah membuat pembedaan serupa ketika mengatakan
bahwa orang-orang mendatangi misteri agama-agama bukan
untuk mempelajari (matbein) sesuatu, melainkan untuk mengalami
(pathein) sesuatu. Basil mengungkapkan pandangan yang sama dalam
pengertian Kristiani ketika dia membedakan antara dogma dan
kerygma. Kedua ajaran Kristiani ini esensial bagi agama. Kerygma
adalah pengajaran umum Gereja yang didasarkan pada kitab suci,
tetapi dogma mewakili makna kebenaran biblikal yang lebih dalam,
yang hanya dapat dipahami melalui pengalaman keagamaan dan
diungkapkan dalam bentuk simbolik. Di samping pesan-pesan Injil
163
Sejarah Tuhan
yang jelas, terdapat tradisi rahasia dan esoterik yang diwarisi "dalam
sebuah misteri" dari para rasul; ini merupakan "pengajaran yang
pribadi dan rahasia,"
yang telah diabadikan bapa-bapa suci kita dalam keheningan yang
menjauhkan kecemasan dan keingintahuan... agar dengan keheningan
ini karakter suci misteri itu tetap terjaga. Orang awam tidak diizinkan
untuk berpegang pada hal-hal semacam ini: maknanya tidak boleh
diungkap dengan cara menuliskannya.14
Di balik simbol-simbol liturgikal dan ajaran-ajaran Yesus yang
jelas, terdapat dogma rahasia yang ditujukan bagi tingkat pemahaman
iman yang lebih lanjut.
Pembedaan antara kebenaran esoterik dan eksoterik merupakan
hal yang sangat penting dalam sejarah Tuhan. Ini tidak terbatas kepada
Kristen Yunani, orang Yahudi dan Muslim juga mengembangkan tradisi
esoterik. Gagasan tentang adanya doktrin "rahasia" tidak dimaksudkan
untuk memilah-milah orang. Basil tidaklah berbicara tentang bentuk
awal Freemansory. Dia sekadar mengetengahkan imbauan untuk
memusatkan perhatian kepada fakta bahwa tidak semua kebenaran
agama bisa diungkapkan dan didefinisikan dengan jelas dan logis.
Beberapa ajaran agama memiliki resonansi batin yang hanya mungkin
dipahami oleh setiap individu pada waktunya masing-masing ketika
melakukan apa yang oleh Plato disebut theoria, kontemplasi. Karena
semua agama diarahkan kepada realitas tak terucapkan yang melampaui
konsep dan kategori rasional, maka ucapan pun jadi membatasi
dan membingungkan. Jika mereka tidak "melihat" kebenaran ini
dengan mata batin, orang yang belum sangat berpengalaman bisa
jadi akan memperoleh gagasan yang keliru. Oleh karena itu, di
samping makna harfiahnya, kitab suci juga memiliki signifikansi
spiritual yang tidak selalu mungkin diartikulasikan. Buddha juga telah
menyatakan bahwa ada pertanyaan yang "tidak memadai" dan tidak
layak buat dijawab, karena pertanyaan itu merujuk kepada realitas
yang berada di luar jangkauan kata-kata. Anda hanya dapat menemukannya
dengan menjalani teknik kontemplasi introspektif: dalam
pengertian tertentu Anda harus menciptakannya bagi diri Anda sendiri.
Upaya menggambarkannya dalam kata-kata akan tak kurang sulitnya
dengan uraian verbal atas salah satu kuartet terakhir Beethoven. Sebagaimana
dikatakan Basil, realitas keagamaan yang licin ini hanya
164
Trinitas: Tuhan Kristen
mungkin didekati dengan isyarat liturgi yang simbolik atau, akan
lebih baik, dengan diam.15
Kristen Barat akan menjadi sebuah agama sangat riuh berbicara
dan memusatkan diri pada kerygma:. ini akan menjadi salah satu
masalah terbesarnya dalam soal ketuhanan. Akan tetapi, dalam Gereja
Ortodoks Yunani, semua teologi yang baik akan mengambil sikap
diam atau apofatik. Sebagaimana yang dikatakan oleh Gregory dari
Nyssa, setiap konsep tentang Tuhan hanyalah sebuah simulakrum,
kemiripan yang menyesatkan, sebuah berhala: ia tak bisa mengungkapkan
Tuhan itu sendiri.16 Orang Kristen harus menjadi seperti
Abraham, yang, dalam sejarah hidupnya versi Gregory, menyingkirkan
semua gagasan tentang Tuhan dan berpegang teguh pada sebuah
keimanan yang "murni dan tidak bercampur dengan konsep apa
pun."17 Dalam Life of Moses, Gregory menekankan bahwa "visi sejati
dan pengetahuan tentang apa yang kita cari justru terdapat pada
sikap tidak melihat, dalam kesadaran bahwa tujuan kita melampaui
semua pengetahuan dan terpisah dari kita oleh kegelapan ketidaktahuan."
18 Kita tak dapat "melihat" Tuhan secara intelektual, namun
seandainya kita membiarkan diri kita terbungkus dalam kabut yang
pernah turun di Gunung Sinai, kita akan merasakan kehadirannya.
Basil menggunakan perbedaan yang telah dibuat oleh Philo antara
esensi (ousia) dan aktivitas (energeiai) Tuhan di dunia: "Kita mengenal
Tuhan kita hanya melalui perbuatannya (energeiai), tetapi kita tak
berdaya untuk mendekati esensinya."19 Inilah kata kunci dari semua
teologi masa depan di Gereja Timur.
Kapadokian juga ingin sekali untuk mengembangkan ajaran
tentang Roh Kudus, yang mereka rasakan tidak ditelaah secara
sungguh-sungguh di Nicaea: "Dan kami beriman kepada Roh Kudus"
kelihatannya hanya ditambahkan begitu saja kepada kredo Athanasius.
Orang-orang kebingungan tentang Roh Kudus. Apakah ia bersinonim
dengan Tuhan atau merupakan sesuatu yang lebih? "Ada yang
memahami [Roh itu] sebagai sebuah aktivitas," ujar Gregory dari
Nazianzus, "ada pula sebagai makhluk, sebagai Tuhan, dan sebagian
lagi tak yakin harus menyebutnya apa."20 Paulus berbicara tentang
Roh Kudus sebagai upaya pembaruan, penciptaan, dan penyucian,
tetapi aktivitas-aktivitas ini hanya mungkin dikerjakan oleh Tuhan.
Oleh karena itu, akibatnya, Roh Kudus, yang kehadirannya di dalam
diri kita dipandang sebagai penyelamat kita, pastilah ilahiah dan
bukan sekadar makhluk ciptaan. Kapadokian menggunakan rumusan
165
Sejarah Tuhan
yang pernah dipakai Athanasius dalam perselisihannya dengan Arius:
Tuhan memiliki satu esensi (ousia) yang tak dapat kita pahami—
tetapi tiga bentuk ekspresi (hypostases) yang membuat dia diketahui.
Alih-alih mengawali penjelasan mereka tentang Tuhan dengan
ousia-nya yang tak dapat dikenali, Kapadokian memulai dengan
pengalaman manusia tentang hypostases Tuhan. Karena ousia Tuhan
itu tak terpahamkan, maka kita hanya dapat mengenalnya melalui
manifestasi-manifestasi yang telah diwahyukan kepada kita sebagai
Bapa, Putra, dan Roh. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa
Kapadokian percaya kepada tiga wujud ilahi, sebagaimana dibayangkan
oleh para teolog Barat. Kata hypostasis membingungkan bagi
kebanyakan orang yang tidak mengenal bahasa Yunani, karena kata
itu memiliki banyak makna: sebagian sarjana Latin, seperti St. Jerome
percaya bahwa kata hypostasis memiliki arti yang sama dengan ousia
dan berpikir bahwa orang-orang Yunani mempercayai adanya tiga
esensi ilahi. Namun, Kapadokian menegaskan ada satu perbedaan
penting antara ousia dengan hypostasis yang harus betul-betul diingat.
Ousia sebuah objek adalah yang menjadikan objek itu sebagaimana
adanya; ousia biasanya diterapkan pada objek sebagaimana adanya
di dalam dirinya sendiri. Sedangkan hypostasis dipakai untuk mengungkapkan
suatu objek dilihat dari luar. Kadangkala, Kapadokian
suka menggunakan kata prosopon untuk menggantikan hypostasis.
Prosopon pada dasarnya berarti "daya", tetapi juga telah mendapatkan
sejumlah arti sekunder sehingga ia juga dipakai untuk merujuk kepada
ekspresi wajah seseorang yang mencerminkan keadaan pikirannya,
juga untuk sebuah peran yang secara sadar diadopsinya atau karakter
yang diniatkan untuk dijalaninya. Akibatnya, tidak berbeda dengan
hypostasis, prosopon berarti ekspresi luar watak batin seorang individu
sebagaimana tampak oleh orang lain. Jadi, ketika Kapadokian berkata
bahwa Tuhan adalah satu ousia dalam tiga hypostasis, sesungguhnya
yang mereka maksudkan adalah Tuhan dalam dirinya sendiri itu
Satu: hanya ada satu kesadaran-diri ilahi. Akan tetapi, ketika dia
membiarkan bagian dari dirinya diketahui oleh makhluknya, dia adalah
tiga prosopoi.
Dengan demikian, hypostases Bapa, Putra, dan Roh tidak mesti
disamakan dengan Tuhan itu sendiri, karena, seperti dijelaskan oleh
Gregory dari Nyssa, "hakikat ilahi (ousia) tak dapat dinamai dan
dibicarakan"; "Bapa", "Putra", dan "Roh" hanyalah "istilah-istilah yang
kita pakai" untuk membicarakan energeiai yang melaluinya Tuhan
166
Trinitas: Tuhan Kristen
menjadikan dirinya diketahui.21 Sungguhpun demikian, istilah-istilah
ini memiliki nilai simbolik karena mereka menerjemahkan realitas
yang tak terucap itu ke dalam citra-citra yang dapat kita mengerti.
Manusia telah mengalami Tuhan sebagai yang transenden (Bapa,
tersembunyi di dalam cahaya yang tak tertembus), dan sebagai yang
kreatif (logos), dan sebagai yang imanen (Roh Kudus). Namun ketiga
hypostases ini hanyalah kilasan parsial dan tak lengkap dari hakikat
ilahi itu sendiri, yang berada jauh di atas penggambaran dan konseptualisasi
seperti ini.22 Dengan demikian, Trinitas tidak boleh dilihat
sebagai fakta harfiah, melainkan sebagai suatu paradigma yang bersesuaian
dengan fakta-fakta real yang tersembunyi dalam Tuhan.
Dalam suratnya To Alabius: That There Are Not Three Gods,
Gregory dari Nyssa menguraikan garis besar doktrin pentingnya
tentang ketakterpisahan atau koinherensi ketiga oknum ilahiah atau
hypostases. Orang tak mesti mengira bahwa Tuhan membelah dirinya
ke dalam tiga bagian; itu adalah gagasan yang berlebihan dan
menghujat. Tuhan mengungkapkan dirinya secara penuh dan utuh
dalam masing-masing dari ketiga manifestasi ini ketika dia ingin
mewahyukan dirinya kepada dunia. Dengan demikian, Trinitas
memberi kita petunjuk tentang pola "setiap perbuatan yang berasal
dari Tuhan menuju ke tatanan makhluk": seperti yang ditunjukkan
oleh kitab suci, segalanya berawal dari Bapa, berproses melalui
bantuan Putra, dan menjadi efektif di dunia karena adanya Roh yang
imanen. Akan tetapi, Tuhan tetap hadir dalam setiap fase perbuatan.
Dalam pengalaman kita sendiri, kita dapat melihat kesalingtergantungan
antara ketiga hypostases: kita takkan pernah mengenal Bapa
sekiranya tak ada wahyu kepada Putra, demikian pula kita takkan
pernah mengenal Putra jika tak ada Roh yang membuat kita mengenalnya.
Roh mendampingi Firman suci Bapa, tak bedanya dengan napas
(dalam bahasa Yunani pneuma; bahasa Latin spiritus) mendampingi
kata-kata yang diucapkan seorang manusia. Ketiga oknum ini tidak
berada secara terpisah di alam suci. Kita dapat membandingkan mereka
dengan keberadaan berbagai bidang ilmu yang berbeda di dalam
pikiran seseorang: filsafat boleh saja berbeda dari ilmu kedokteran,
tetapi ia tidak mendiami sebuah kawasan kesadaran yang terpisah.
Ilmu-ilmu yang berbeda saling melingkupi satu sama lain, mengisi
seluruh pikiran namun tetap berbeda.23
Akan tetapi, pada akhirnya, Trinitas hanya bisa dipahami sebagai
sebuah pengalaman mistik atau spiritual: ia harus dialami, bukan
167
Sejarah Tuhan
dipikirkan, karena Tuhan berada jauh di luar jangkauan konsep
manusia. la bukanlah sebuah rumusan logis atau intelektual, melainkan
sebuah paradigma imajinatif yang membungkam akal. Gregory dari
Nazianzus membuat hal ini menjadi jelas ketika dia memaparkan
bahwa kontemplasi tentang Tiga dalam Satu membangkitkan emosi
yang hebat dan memukau yang membungkam pikiran dan kejernihan
intelektual.
Begitu aku memikirkan tentang yang Satu, aku dicerahkan oleh kesemarakan
yang Tiga; begitu aku membedakan yang Tiga maka aku
segera dibawa kembali kepada yang Satu. Ketika aku memikirkan
salah satu dari yang Tiga, aku memikirkannya sebagai keseluruhan,
dan mataku penuh, dan bagian yang lebih besar dari apa yang kupikirkan
terluput dariku.24
Orang Kristen Ortodoks Yunani dan Rusia selalu menemukan
bahwa kontemplasi tentang Trinitas merupakan sebuah pengalaman
keagamaan yang penuh ilham. Akan tetapi, bagi kebanyakan kaum
Kristen Barat, Trinitas justru membingungkan. Ini barangkali karena
mereka hanya memperhatikan apa yang oleh Kapadokian disebut
sebagai kualitas-kualitas kerygmatik, sementara bagi orang Yunani
itu merupakan kebenaran dogmatik yang hanya bisa dicerap secara
intuitif dan sebagai hasil pengalaman keagamaan. Secara logis, tentu
saja, itu sama sekali tidak bermakna. Dalam sebuah khotbahnya,
Gregory dari Nazianzus pernah menjelaskan bahwa ketidakmungkinan
memahami dogma Trinitas membawa kita berhadapan dengan misteri
ketuhanan yang mutlak; ini mengingatkan bahwa kita tak mesti
berharap untuk memahaminya.23 Ini juga mencegah kita dari menciptakan
pernyataan-pernyataan sembarangan mengenai Tuhan yang,
ketika dia mengungkapkan diri, hanya bisa tertuangkan dalam caracara
yang tak terucapkan. Basil juga memperingatkan kita untuk
tidak membayangkan bahwa kita bisa mengetahui cara kerja Trinitas,
katakanlah begitu; tak ada gunanya, misalnya, berusaha memecahkan
teka-teki bagaimana ketiga hypostases Tuhan Tertinggi pada saat yang
sama adalah identik dan berbeda. Ini berada di luar jangkauan katakata,
konsep, dan daya analisis manusia.26
Dengan demikian, Trinitas tidak boleh diinterpretasikan secara
harfiah; ia bukanlah sebuah "teori" yang musykil tetapi hasil dari
theoria, kontemplasi. Ketika orang Kristen di Barat menjadi gusar
168
Trinitas: Tuhan Kristen
oleh dogma ini pada abad kedelapan dan mencoba untuk mencampakkannya,
mereka berupaya agar Tuhan dapat dipahami secara
rasional bagi Zaman Akal. Ini adalah salah satu faktor pemicu timbulnya
teologi Kematian Tuhan pada abad kesembilan belas dan kedua
puluh, seperti yang akan kita saksikan nanti. Salah satu alasan
mengapa Kapadokian mengembangkan paradigma imajinatif ini
adalah untuk mencegah agar Tuhan tidak dikonsepsikan lewat cara
yang sama rasionalnya dengan filsafat Yunani, sebagaimana dipahami
oleh pembid'ah semacam Arius. Teologi Arius itu agak terlalu
gamblang dan logis. Trinitas mengingatkan orang-orang Kristen bahwa
realitas yang kita sebut "Tuhan" tak dapat dipahami oleh akal manusia.
Doktrin Inkarnasi, seperti diekspresikan di Nicaea, memang penting,
namun dapat mengarah kepada keberhalaan yang simplistik. Orang
mungkin mulai berpikir tentang Tuhan lewat cara yang terlalu
manusiawi: bahkan mungkin pula membayangkan "dia" berpikir,
berperilaku, dan berencana seperti kita. Dari sana, hanya tersisa
sebuah langkah kecil menuju ke arah penisbahan semua bentuk
pendapat yang penuh prasangka kepada Tuhan dan kemudian memutlakkannya.
Trinitas merupakan upaya untuk mengoreksi kecenderungan
ini. Alih-alih memandangnya sebagai pemyataan faktual
tentang Tuhan, Trinitas mungkin harus dilihat sebagai sebuah puisi
atau tarian teologis antara apa yang dipercayai dan diterima oleh
manusia fana tentang "Tuhan" dengan kesadaran bahwa setiap pernyataan
atau kerygma pasti bersifat sementara.
Perbedaan penggunaan kata "teori" di Yunani dan Barat dapat
menjelaskan sesuatu. Bagi Kristen Timur, theoria selalu mengandung
arti kontemplasi. Di Barat, "theory' diartikan sebagai hipotesis rasional
yang harus dibuktikan secara logis. Mengembangkan sebuah "teori"
tentang Tuhan menyiratkan arti bahwa "dia" bisa dimuat di dalam
sistem pemikiran manusia. Hanya ada tiga teolog Latin di Nicaea.
Kebanyakan orang Kristen Barat belum mencapai tingkatan diskusi
semacam ini dan, karena mereka tidak memahami beberapa terminologi
Yunani, banyak yang merasa tidak puas dengan doktrin Trinitas.
Mungkin istilah itu tidak dapat sepenuhnya diterjemahkan ke dalam
idiom lain. Setiap budaya memang mesti menciptakan gagasannya
sendiri tentang Tuhan. Jika Barat merasa asing dengan interpretasi
Yunani tentang Trinitas, mereka harus menciptakan versi mereka
sendiri.
169
Sejarah Tuhan
Teolog Latin yang mendefinisikan Trinitas bagi Gereja Latin adalah
Agustinus. Dia juga merupakan seorang Platonis yang fanatik, setia
kepada pandangan Plotinus dan, karena itu, cenderung lebih simpatik
kepada doktrin Yunani daripada kepada beberapa kolega Baratnya.
Seperti yang dijelaskannya, kesalahpahaman sering diakibatkan oleh
terminologi semata:
Demi menjelaskan hal-hal tak terucapkan sehingga kita mampu dengan
cara tertentu mengungkapkan apa yang tidak bisa kita ungkapkan
sepenuhnya dengan cara lain, kawan-kawan Yunani kita telah berbicara
tentang satu esensi dan tiga substansi, tetapi kawan-kawan Latin bicara
tentang satu esensi atau substansi dan tiga oknum (personae).27
Ketika orang Yunani mendekati Tuhan dengan cara mempertimbangkan
ketiga hypostases, dan menolak untuk menganalisis
esensinya yang satu, maka Agustinus dan orang-orang Kristen Barat
sesudahnya justru memulai dengan keesaan ilahi dan kemudian
berlanjut dengan mendiskusikan tiga manifestasinya. Orang Kristen
Yunani menghormati Agustinus, memandangnya sebagai salah satu
Patriark Gereja terkemuka, tetapi mereka tidak mempercayai teologi
Trinitariannya, yang mereka rasa telah menjadikan Tuhan terlalu
rasional dan antropomorfis. Pendekatan Agustinus tidaklah bersifat
metafisik, seperti halnya orang-orang Yunani, tetapi psikologis dan
bahkan sangat personal.
Agustinus bisa disebut sebagai pendiri spiritualitas Barat. Tak
ada teolog lain, kecuali Paulus, yang lebih berpengaruh di Barat.
Kita mengenalnya dengan lebih baik dibanding pemikir lain di akhir
abad klasik, sebagian besar karena bukunya Confessions, sebuah
paparan yang fasih dan hangat tentang usahanya menemukan Tuhan.
Sejak awal, Agustinus telah mencari sebuah agama yang bercorak
teistik. Dia memandang Tuhan sangat esensial bagi kemanusiaan:
"Engkau telah menciptakan kami untuk dirimu sendiri," demikian
dia berkata tentang Tuhan pada pembukaan Confessions, "dan jiwajiwa
kami gelisah hingga bertemu denganmu!"28 Ketika mengajar
retorika di Kartage, dia pindah menganut Manicheisme, sebuah bentuk
Gnostisisme Mesopotamia, tetapi akhirnya dia meninggalkan paham
itu karena teori kosmologinya yang tak memuaskan. Dia merasa
doktrin Inkarnasi merupakan penyimpangan, pelecehan ide tentang
Tuhan, tetapi ketika berada di Italia, Uskup Ambrose dari Milan
170
Trinitas: Tuhan Kristen
mampu meyakinkan dirinya bahwa Kristen bukannya tidak sejalan
dengan Plato atau Plotinus. Meskipun demikian, Agustinus masih
berkeberatan untuk mengambil langkah akhir dan menerima baptisme.
Dia merasakan bahwa baginya Kristen mengakibatkan wajibnya
kehidupan membujang dan dia enggan menempuh jalan seperti itu:
"Tuhan, berilah aku kesucian," demikian dia pernah berdoa, "tetapi
jangan dulu."29
Konversinya yang terakhir merupakan sebuah peristiwa Sturm
und Drang, penuh gejolak, ketercerabutan keras dari masa lalunya
dan kelahiran kembali yang menyakitkan, seperti yang mencirikan
pengalaman keagamaan Barat. Suatu hari, ketika tengah duduk
bersama sahabatnya Alypius di kebun mereka di Milan, sebuah
pertarungan berkecamuk di dalam pikiran:
Dari kedalaman introspeksi diri yang gelap telah bangkit tumpukan
seluruh nestapaku dan menempatkannya "dalam penglihatan hatiku".
la membangkitkan badai besar yang membawa banjir air mata. Untuk
menumpahkan semuanya diiringi desah kesedihan, aku bangkit dari
sisi Alypius (menyendiri tampak lebih pantas untuk meneteskan air
mata) ... lalu kusandarkan diri di bawah pohon ara dan membiarkan
air mataku mengalir bebas. Sungai-sungai seakan menderas dari kedua
mataku, sebuah pengurbanan yang mungkin dapat engkau terima,
dan—meskipun bukan dalam kata-kata ini, tetapi setidaknya dalam
pengertian ini—aku berulang-ulang berkata kepadamu, "Berapa lama,
Tuhan, berapa lama lagi Engkau akan begitu murka?" (Mazmur 6:4).30
Tuhan tidak selalu datang dengan mudah kepada orang Barat.
Konversi Agustinus tampak seperti sebuah reaksi psikologis, yang
setelahnya si mualaf jatuh kelelahan di pangkuan Tuhan, semua
hasrat telah sampai. Ketika Agustinus bersimpuh menangis di tanah,
tiba-tiba dia mendengar suara anak kecil dari rumah terdekat menyenandungkan
bait "Tolle, lege: Bangkit dan bacalah, bangkit dan
bacalah!" Menganggap ini sebagai sebuah nubuat, Agustinus berdiri
dan bergegas kembali ke sahabatnya Alypius yang terkaget dan
lama menanti, dan langsung mengambil Kitab Perjanjian Barunya.
Dia membukanya pada sabda Paulus kepada orang Romawi: "Jangan
dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam percabulan dan
hawa nafsu, jangan dalam perselisihan dan iri hati, tetapi kenakanlah
Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata perang dan janganlah
merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya." Pertarungan
171
Sejarah Tuhan
panjang itu telah usai: "Aku tak mengharap maupun perlu membaca
lebih lanjut," kenang Agustinus. "Segera, setelah kata-kata terakhir
dari kalimat ini, seolah-olah cahaya pembasuh seluruh kecemasan
membanjiri hatiku. Semua bayang-bayang keraguan menjadi sirna."31
Tuhan bisa juga menjadi sumber kebahagiaan: tetapi, tak lama
berselang sejak konversinya, suatu malam Agustinus mengalami
ekstasi bersama ibunya, Monica, di Ostia di dekat Sungai Tiber. Kita
akan mendiskusikan ini secara lebih terperinci pada Bab 7. Sebagai
seorang Platonis, Agustinus menyadari bahwa Tuhan dapat ditemukan
di dalam pikiran, dan di dalam Buku X dari Confessions, dia mendiskusikan
fakultas yang disebutnya Memoria, memori. Ini jauh lebih
kompleks daripada daya ingat dan lebih dekat kepada apa yang
oleh para psikolog disebut alam bawah sadar. Bagi Agustinus, memori
mewakili keseluruhan pikiran, kesadaran, dan juga ketidaksadaran.
Kompleksitas dan keragamannya memenuhi dirinya dengan kekaguman.
Ini adalah "misteri yang mengilhami ketakjuban", dunia imaji
yang tak dapat dibayangkan, menghadirkan masa lalu dan tak terhitung
dataran, relung, dan gua.32 Melalui dunia batin yang ramai inilah
Agustinus turun untuk menemukan Tuhannya, yang secara paradoks
berada di dalam dan di atas dirinya. Tak ada gunanya mencari bukti
tuhan di dunia luar. Dia hanya bisa ditemukan di dalam alam pikiran
yang real:
Terlambat aku mencintaimu, keindahan yang begitu lama namun begitu
baru; terlambat aku mencintaimu. Dan lihat, engkau ada di dalam, aku
berada di dunia luar dan mencarimu di sana, dan dalam keadaan tidak
mencintaimu aku tenggelam dalam ciptaan indah yang telah engkau
buat. Engkau bersamaku, dan aku tidak bersamamu. Segala yang indah
telah menjauhkan aku darimu, padahal jika mereka tidak memiliki
eksistensinya di dalam engkau, mereka takkan pernah ada sama sekali.33
Oleh karena itu, Tuhan bukanlah sebuah realitas objektif, melainkan
suatu kehadiran spiritual di kedalaman batin yang kompleks.
Pandangan Agustinus ini tidak saja sama dengan Plato dan Plotinus,
tetapi juga dengan para penganut Buddha, Hindu, dan Shaman dalam
agama-agama nonteistik. Sungguhpun demikian, Tuhan dalam
pandangannya bukanlah Tuhan yang impersonal, tetapi Tuhan yang
sangat personal dari tradisi Yahudi-Kristen. Tuhan telah berkenan
memaklumi kelemahan manusia dan pergi mencarinya:
172
Trinitas: Tuhan Kristen
Engkau memanggil, berteriak keras, dan memecah kesunyianku.
Engkau bersinar dan gemerlap, kau sirnakan kebutaanku. Engkau
semerbak, kuhirup dalam napasku hingga memenuhi rongga dadaku.
Kucicipi engkau dan aku makin merasa lapar dan haus akan engkau.
Engkau sentuh aku, dan aku terbakar api untuk meraih kedamaian
yang adalah milikmu.34
Para teolog Yunani pada umumnya tidak membawa pengalaman
mereka sendiri ke dalam tulisan teologis mereka, namun teologi
Agustinus justru berangkat dari kisahnya sendiri yang sangat
individual.
Keterpesonaan Agustinus terhadap pikiran telah membawanya
untuk mengembangkan Trinitarianisme psikologisnya sendiri dalam
risalah De Trinitate, yang ditulisnya pada tahun-tahun pertama abad
kelima. Karena Tuhan telah menciptakan kita di dalam citranya sendiri,
maka kita harus mampu melihat trinitas di kedalaman pikiran kita.
Alih-alih mengawalinya dengan abstraksi metafisik dan pembedaan
verbal yang disenangi orang Yunani, Agustinus memulai eksplorasi
ini dengan pengalaman yang sebagian besar kita pernah dapatkan.
Ketika mendengar frasa-frasa, seperti "Tuhan adalah cahaya" atau
"Tuhan adalah kebenaran," kita secara instingtif merasakan gejolak
ketertarikan spiritual dan merasa bahwa "Tuhan" dapat memberi
makna dan nilai bagi kehidupan kita. Namun, setelah pencerahan
sekejap ini, kita kembali jatuh ke dalam bingkai pikiran kita yang
biasa, saat kita terobsesi tentang "hal-hal yang biasa dan membumi."35
Cobalah semampu kita, kita tak bisa meraih kembali momen kerinduan
yang tak terucapkan itu. Proses pemikiran normal tak dapat membantu;
sebaliknya, kita harus mendengar "apa yang dimaksud oleh
hati" dengan frasa-frasa semacam "Dia adalah kebenaran."36 Akan
tetapi, mungkinkah mencintai realitas yang tidak kita kenal? Agustinus
menjawab dengan membuktikan bahwa karena di dalam pikiran kita
sendiri terdapat trinitas yang mencerminkan Tuhan, seperti citra
Platonis mana pun, kita rindu pada Arketipe kita—pola dasar yang
dengannya kita dibentuk.
Jika kita mengawali dengan mempertimbangkan pikiran yang
mencintai dirinya sendiri, kita tidak menemukan trinitas melainkan
dualitas, yakni cinta dan pikiran. Namun hanya jika pikiran itu sadar
tentang dirinya sendiri, melalui apa yang kita sebut kesadaran diri,
ia baru bisa mencintai dirinya sendiri. Mendahului Descartes, Agustinus
173
Sejarah Tuhan
menyatakan bahwa pengetahuan tentang diri sendiri merupakan
pijakan dasar dari semua kepastian yang lain. Bahkan pengalaman
tentang keraguan pun membuat kita sadar akan diri sendiri.37
Di dalam jiwa ada tiga macam isi, yaitu: ingatan, pengertian, dan
kehendak yang bersesuaian dengan pengetahuan, pengenalan diri,
dan cinta. Seperti halnya tiga oknum ilahi, aktivitas-aktivitas mental
ini secara esensial adalah satu karena mereka itu tidak membentuk
tiga macam pikiran yang terpisah, tetapi masing-masing mengisi
keseluruhan pikiran dan mencakup dua yang lain: "Saya ingat bahwa
saya mempunyai ingatan, pengertian, dan kehendak; saya mengerti
bahwa saya mengerti, berkehendak, dan mengingat. Saya menghendaki
kehendak, ingatan, dan pengertian saya sendiri."38 Seperti
Trinitas Ilahi yang digambarkan oleh Kapadokian, ketiga unsur itu,
dengan demikian, "membentuk satu hidup, satu pikiran, satu esensi."39
Akan tetapi, pemahaman tentang cara kerja pikiran kita ini baru
merupakan langkah pertama: trinitas yang kita temukan dalam diri
kita bukanlah Tuhan itu sendiri, melainkan jejak dari Tuhan yang
telah membuat kita. Baik Athanasius maupun Gregory dari Nyssa
telah membuat perumpamaan bayangan cermin untuk menjelaskan
kehadiran Tuhan di dalam jiwa manusia, dan untuk memahami ini
dengan benar kita mesti mengingat kembali bahwa orang Yunani
percaya bahwa bayangan cermin itu nyata, terbentuk ketika cahaya
mata seorang pengamat berpadu dengan cahaya yang dipantulkan
dari objek dan dicerminkan di atas permukaan kaca.40 Agustinus
percaya bahwa trinitas dalam pikiran juga merupakan bayangan yang
mencakup kehadiran Tuhan dan diarahkan kepadanya.41 Akan tetapi,
bagaimana kita melampaui bayangan ini, yang terpantul seperti pada
sebuah cermin gelap, kepada Tuhan sendiri? Besarnya jarak yang
membentang antara Tuhan dan manusia tidak bisa ditempuh oleh
usaha manusia saja. Hanya karena Tuhan telah mendatangi kita melalui
manusia yang menubuhi Firman maka kita bisa memulihkan
citra Tuhan di dalam diri kita, yang telah dirusak dan cacat oleh
dosa. Kita membuka diri kepada aktivitas ilahi yang akan mentransformasi
kita melalui tiga macam disiplin, yang oleh Agustinus disebut
trinitas iman: retineo (memegang teguh kebenaran Inkarnasi dalam
pikiran kita), contemplatio (melakukan kontemplasi atasnya), dan
dilectio (menemukan kesenangan di dalamnya). Secara bertahap,
dengan menumbuhkan rasa kehadiran Tuhan secara terus-menerus
di dalam pikiran kita melalui cara ini, Trinitas akan terungkap.42
174
Trinitas: Tuhan Kristen
Pengetahuan ini bukan sekadar perolehan informasi melalui otak,
melainkan merupakan disiplin kreatif yang akan mengubah kita dari
dalam dengan cara mengungkapkan dimensi ilahi di kedalaman diri
kita sendiri.
Masa itu merupakan masa-masa gelap dan susah bagi Barat.
Suku-suku barbar menyerbu masuk Eropa dan meruntuhkan kekaisaran
Romawi: jatuhnya peradaban Barat tak pelak lagi berpengaruh
terhadap spiritualitas Kristen di sana. Ambrose, mentor besar
Agustinus, mengajarkan iman yang pada dasarnya bersifat defensif:
integritas (keterpaduan) menjadi prinsipnya yang paling penting.
Gereja mesti berupaya agar doktrin-doktrinnya tetap utuh dan, seperti
halnya tubuh perawan Maria, ia harus tetap tak tertembus oleh doktrindoktrin
sesat kaum barbar (banyak di antara mereka menganut
Arianisme). Kesedihan mendalam juga terbaca dalam karya terakhir
Agustinus: kejatuhan Roma mempengaruhi doktrinnya tentang Dosa
Asal, yang akan menjadi sentral bagi cara orang Barat memandang
dunia.
Agustinus percaya bahwa Tuhan telah menjatuhkan kutukan abadi
bagi manusia, hanya karena satu dosa Adam. Dosa warisan ini
diteruskan kepada seluruh anak keturunannya melalui tindakan
seksual, yang dicemari oleh apa yang disebut Agustinus sebagai
"berahi". Berahi adalah hasrat irasional untuk mencari kesenangan
pada makhluk semata, bukannya pada Tuhan; ini dirasakan paling
kuat dalam tindakan seksual, ketika rasionalitas kita sepenuhnya terbenam
oleh gairah dan emosi, tatkala Tuhan terlupakan dan makhlukmakhluk
saling cumbu tanpa malu terhadap satu sama lain. Citra
tentang akal yang diseret oleh kekacauan sensasi dan gairah liar ini
sangat mirip dengan Romawi—sumber rasionalitas, hukum, dan keteraturan
di Barat—yang dibawa kepada keruntuhan oleh suku-suku
barbar. Akibatnya, doktrin keras Agustinus menorehkan gambaran
menakutkan tentang Tuhan yang tak terluluhkan:
Terusir [dari surga] setelah membuat dosa, Adam pun membelenggu
anak cucunya dengan hukuman kematian dan kutukan, dengan dosa
yang telah dibuatnya sendiri, seperti dalam sebuah akar; maka setiap
keturunan yang dilahirkan (melalui berahi jasadi, yang karena itulah
hukuman atas ketidakpatuhan dijatuhkan kepadanya) darinya dan
pasangannya—yang menjadi penyebab perbuatan dosanya dan
pendamping keterkutukannya—akan memikul sepanjang masa beban
Dosa Asal, yang dengan sendirinya akan terbawa melalui berlipat-lipat
175
Sejarah Tuhan
kesalahan dan penyesalan hingga siksaan akhir dan tanpa akhir bersama
malaikat-malaikat pembangkang ... Demikianlah keadaannya; manusia
yang terkutuk akan jatuh tersungkur, tidak, berguling-guling dalam
dosa, melompat dari satu kebumkan ke keburukan lain; dan bergabung
dengan kelompok malaikat yang telah berbuat dosa, membayar
hukuman paling baik dari pengkhianatannya yang tak terpuji.43
Baik Yahudi maupun Kristen Ortodoks Yunani tidak memandang
kejatuhan Adam dalam cara yang demikian suram; kaum Muslim
pun tidak mengadopsi teologi yang gelap ini tentang Dosa Asal.
Doktrin yang khas Barat ini membentuk potret keras tentang Tuhan
yang terlebih dahulu pernah dikemukakan oleh Tertullian.
Agustinus meninggalkan bagi kita warisan yang sulit. Sebuah
agama yang mengajarkan kaum pria dan wanita untuk memandang
kemanusiaan mereka sebagai sesuatu yang sangat lemah secara kronis,
justru akan membuat mereka terasing dari diri sendiri. Keterasingan
ini paling nyata terlihat dalam kebencian terhadap seksualitas umumnya
dan pada perendahan derajat kaum wanita khususnya. Meskipun
Kristen yang pada awalnya bersikap cukup positif terhadap perempuan,
Barat telah mulai mengembangkan kecenderungan misoginistik
sejak era Agustinus. Surat-surat Jerome penuh dengan penghinaan
terhadap perempuan yang kadang-kadang terasa mengganggu. Tertullian
telah mencela wanita sebagai iblis penggoda, sebuah bahaya
abadi bagi umat manusia:
Apakah engkau tidak tahu bahwa masing-masing dirimu aclalah seorang
Hawa? Kalimat Tuhan tentang jenis ini tetap aktual pada masa sekarang:
rasa bersalah itu pun harus tetap ada. Kalian adalah gerbang setan;
kalian adalah pelanggar pohon terlarang itu; kalian adalah pembangkang
pertama hukum tuhan; kalian adalah penggoda Adam, yang
iblis pun tak cukup mampu untuk menaklukkannya. Kalian dengan
sembrono telah menghancurkan manusia, citra Tuhan. Akibat pembangkangan-
mu, bahkan Putra Tuhan pun harus mati.44
Agustinus setuju: "Apa bedanya," tulisnya kepada seorang rekan,
"apakah dia ada dalam wujud seorang istri atau ibu, dia tetap saja
Hawa penggoda yang membuat kita mesti waspada terhadap setiap
perempuan."45 Sebenarnya, Agustinus sangat heran mengapa Tuhan
mesti menciptakan jenis wanita: bukankah, "seandainya yang dibutuhkan
Adam adalah teman bercakap-cakap yang baik, akan lebih baik
176
Trinitas: Tuhan Kristen
jika yang dirancang adalah dua orang lelaki bersama-sama sebagai
sahabat, bukan seorang lelaki dengan seorang perempuan."46 Satusatunya
fungsi wanita adalah untuk melahirkan anak yang akan
menularkan dosa asal kepada generasi berikutnya, seperti wabah
penyakit.
Sebuah agama yang bersikap curiga terhadap separo ras manusia
dan yang memandang setiap gerak refleks pikiran, hati, dan tubuh
sebagai gejala berahi yang fatal hanya akan membuat kaum pria dan
wanita merasa asing dengan kondisi mereka. Kristen Barat tidak
pernah sepenuhnya sembuh dari misogini neurotik ini, sebagaimana
masih terlihat dalam reaksi miring terhadap gagasan tentang kependetaan
wanita. Sementara kaum wanita Timur pun ikut memiliki beban
inferioritas yang dipikul oleh semua wanita pada peradaban masa
kini, saudara-saudara mereka di Barat menanggung stigma tambahan
tentang seksualitas yang menjijikkan dan penuh dosa yang menyebabkan
mereka tersisihkan dalam kebencian dan ketakutan.
Ini adalah ironi ganda, sebab gagasan bahwa Tuhan telah mendaging
dan ikut dalam kemanusiaan kita mestinya mendorong orang
Kristen untuk menghargai jasad. Ada perdebatan lebih lanjut mengenai
keyakinan yang sulit ini. Selama abad keempat dan kelima, "pembid'ah"
semacam Apollinarius, Nestorius, dan Eutyches mengajukan
pertanyaan yang sangat pelik. Bagaimana keilahian Kristus bisa
berpadu dengan kemanusiaannya? Bunda Maria tentu bukanlah ibu
Tuhan, tetapi ibu dari manusia Yesus? Bagaimana mungkin Tuhan
merupakan bayi yang menangis tidak berdaya? Tidakkah lebih akurat
untuk menyatakan bahwa dia ada bersama Kristus dalam kedekatan
yang istimewa, seperti di dalam kuil? Meski dengan beberapa inkonsistensi
yang nyata, kaum ortodoks tetap bersikukuh dengan senjata
mereka. Cyrill, Uskup Aleksandria, mengulangi keyakinan Athanasius:
Tuhan benar-benar telah turun ke dunia kita yang cacat dan rusak,
juga bahkan telah merasakan kematian dan kefanaan. Tampaknya
mustahil untuk mendamaikan ini dengan keyakinan yang sama
kukuhnya bahwa Tuhan benar-benar perkasa, tidak dapat menderita
atau berubah. Tuhan Yunani yang jauh, yang dicirikan terutama oleh
apatheia ilahi, kelihatan sangat berbeda dari Tuhan yang dianggap
telah berinkarnasi di dalam Yesus Kristus. Kaum ortodoks merasa
bahwa "para pembid'ah", yang memandang gagasan tentang Tuhan
yang menderita dan tak berdaya sebagai penghujatan, ingin mengeringkan
aspek misteri dan kedahsyatan dari yang ilahi. Paradoks
177
Sejarah Tuhan
Inkarnasi tampaknya merupakan penangkal bagi Tuhan Helenik yang
tidak melakukan apa-apa untuk membangkitkan kepuasan kita dan
yang sepenuhnya dapat dinalar.
Pada tahun 529, Kaisar Justinian menutup sekolah filsafat kuno
di Atena, benteng terakhir paganisme intelektual. Guru besar terakhirnya
adalah Proclus (412-485), murid Plotinus yang paling
bersemangat. Filsafat pagan menyurut dan tampak dikalahkan oleh
agama baru itu, Kristen. Akan tetapi, empat tahun kemudian muncul
empat risalah mistik yang disebut-sebut ditulis oleh Denys dari
Aeropagus, orang Atena pertama yang menjadi pengikut Paulus.
Sebenarnya, risalah-risalah itu ditulis oleh seorang Kristen Yunani
abad keenam yang ingin mempertahankan anonimitasnya. Namun,
nama samaran itu memiliki kekuatan simbolik yang lebih penting
daripada identitas pengarangnya sendiri: Denys-samaran ini berhasil
membaptis pandangan-pandangan Neoplatonisme dan menyandingkan
Tuhan Yunani dengan Tuhan Semitik Alkitab.
Denys juga merupakan pewaris para patriark Kapadokia. Seperti
halnya Basil, dia memandang serius pembedaan antara kerygma dengan
dogma. Dalam salah satu suratnya, dia menegaskan bahwa ada
dua tradisi teologis, keduanya berasal dari para nabi. Injil kerygmatik
sudah jelas dan diketahui; injil dogmatik bersifat tertutup dan mistik.
Namun, keduanya saling tergantung dan esensial bagi keyakinan
Kristen. Yang satu merupakan "permulaan simbolik dan bersyarat",
yang lainnya "bersifat filosofis dan bisa dibuktikan—dan yang tak
terucap terjalin dengan apa yang terucapkan."47 Kerygma menarik
perhatian karena kebenarannya yang nyata dan jelas, tetapi tradisi
dogma yang diam atau tersembunyi merupakan misteri yang memerlukan
inisiasi: "la mempengaruhi dan memantapkan jiwa bersama
Tuhan melalui inisiasi yang tidak mengajarkan apa-apa,"48 demikian
Denys menegaskan dengan kata-kata yang mengingatkan orang
kembali kepada Aristoteles. Ada kebenaran agama yang tidak dapat
diungkapkan secara memadai oleh kata-kata, oleh wacana rasional
atau logis. la hanya bisa diungkapkan secara simbolik, melalui bahasa
dan isyarat-isyarat liturgi, atau melalui doktrin yang merupakan "tiraitirai
suci" yang menyembunyikan makna tak terlukiskan dari penglihatan,
tetapi juga menyesuaikan Tuhan yang misterius dengan keterbatasan
manusia dan mengungkapkan Realitas dalam istilah-istilah
yang bisa dipahami secara imajinatif, jika tidak secara konseptual.49
178
Trinitas: Tuhan Kristen
Makna tersembunyi atau esoterik bukan ditujukan bagi kalangan
elit saja, tetapi untuk semua umat Kristen. Denys tidak mengajukan
sebuah disiplin musykil yang hanya cocok bagi para pendeta dan
rahib saja. Liturgi, yang dilaksanakan semua yang mengimaninya,
merupakan jalan utama menuju Tuhan dan mendominasi teologinya.
Alasan mengapa kebenaran-kebenaran ini disembunyikan di belakang
sebuah tabir pelindung bukanlah untuk menjauhkan manusia, melainkan
untuk menaikkan seluruh orang Kristen dari persepsi indriawi
dan konsep-konsep ke taraf realitas Tuhan yang tak terungkapkan
itu sendiri. Kerendahan hati yang telah mengilhami Kapadokian untuk
mengklaim bahwa semua teologi pastilah mengandung kelemahan,
bagi Denys justru menjadi sebuah cara pasti untuk naik menuju
Tuhan.
Sebenarnya, Denys sama sekali tidak menyukai penggunaan
istilah "Tuhan"—mungkin karena istilah itu telah memperoleh begitu
banyak konotasi antropomorfis yang tak layak. Dia lebih suka menggunakan
istilah theurgy dari Proclus, yang pada dasarnya bersifat
liturgis: theurgy di dalam dunia pagan merupakan penyerapan mana
ilahi melalui pengurbanan dan penyucian. Denys menerapkan ini
kepada ucapan Tuhan yang, bila dipahami dengan baik, juga dapat
melepaskan energeiai ilahi yang melekat pada simbol-simbol yang
diwahyukan. Dia sependapat dengan Kapadokian bahwa semua kata
dan konsep kita untuk Tuhan tidaklah memadai dan tidak boleh
diambil sebagai deskripsi akurat tentang realitas yang sebenarnya
berada di luar lingkup kita. Bahkan kata "Tuhan" itu sendiri keliru,
sebab Tuhan berada "di atas Tuhan," sebuah "misteri yang melampaui
wujud."50 Orang Kristen harus menyadari bahwa Tuhan bukanlah
Wujud Tertinggi, yang berada pada puncak hierarki di atas wujudwujud
lain yang lebih rendah. Benda-benda dan manusia tidak berseberangan
dengan Tuhan sebagai realitas yang terpisah atau wujud
alternatif, yang bisa menjadi objek pengetahuan. Tuhan bukanlah
satu dari sekian hal yang ada dan sama sekali tidak sama dengan
segala sesuatu yang ada dalam pengalaman kita. Sebenarnya, adalah
lebih akurat untuk menyebut Tuhan sebagai "Tiada": bahkan tidak
mesti menyebutnya suatu Trinitas sebab dia "bukanlah kesatuan
maupun trinitas dalam pengertian yang kita ketahui."51 Dia berada di
atas segala nama sebagaimana halnya dia berada di atas segala
wujud.52 Sungguhpun demikian, kita dapat menggunakan ketidakmampuan
kita untuk berbicara tentang Tuhan sebagai metode untuk
179
Sejarah Tuhan
mencapai kemanunggalan dengannya, yang tidak kurang dari
"deifikasi" (theosis) hakikat kita sendiri. Tuhan telah mewahyukan
sebagian dari Namanya kepada kita di dalam kitab suci, seperti
"Bapa", "Putra", dan "Roh", namun tujuan dari hal ini bukanlah untuk
menanamkan informasi tentang dia, melainkan untuk mengantarkan
manusia kepadanya dan membuat mereka mampu untuk ikut memiliki
sifatnya yang suci.
Pada setiap bab dalam risalahnya, The Divine Names, Denys
mengawali dengan sebuah kebenaran kerygmatik yang diwahyukan
oleh Tuhan: kebaikannya, kebijaksanaannya, perlindungannya, dan
sebagainya. Denys kemudian melanjutkan dengan memperlihatkan
bahwa meskipun Tuhan telah mewahyukan sesuatu tentang dirinya
dalam sifat-sifat semacam itu, apa yang diwahyukan itu bukanlah
dirinya sendiri. Jika kita benar-benar ingin memahami Tuhan, kita
harus menyangkal sifat-sifat dan nama-nama itu. Jadi kita mesti
mengatakan bahwa dia adalah "Tuhan" dan "bukan-Tuhan" sekaligus,
"baik" kemudian segera mengatakan bahwa dia "bukan-baik". Kejutan
paradoks ini, sebuah proses yang mencakup pengetahuan maupun
ketidaktahuan, akan mengangkat kita dari dunia ide-ide yang fana
menuju realitas yang tak dapat diungkapkan itu sendiri. Dengan
demikian, kita memulai dengan mengatakan bahwa:
ada pemahaman, nalar, pengetahuan, sentuhan, persepsi, imajinasi,
nama, dan banyak hal lainnya mengenai dia. Akan tetapi, dia tidak
bisa dipahami dan tak ada yang dapat diucapkan mengenai dirinya,
dia tidak bisa dinamai. Dia bukanlah salah satu dari apa yang ada.53
Oleh karena itu, membaca kitab suci bukanlah sebuah proses
menemukan fakta-fakta tentang Tuhan, melainkan mesti menjadi
sebuah disiplin paradoksikal yang mengubah kerygma menjadi
dogma. Metode ini adalah sebuah theurgy, penyerapan kekuatan
ilahi yang memampukan kita naik menuju Tuhan itu sendiri dan,
seperti yang selalu diajarkan oleh kaum Platonis, menjadikan diri
kita sendiri ilahiah. Ini merupakan metode yang membuat kita
berhenti berpikir! "Kita mesti meninggalkan semua konsepsi kita
tentang yang ilahi. Kita memberhentikan seluruh aktivitas pikiran
kita."54 Kita bahkan mesti meninggalkan pengingkaran kita terhadap
sifat-sifat Tuhan. Baru kemudian kita akan mencapai kemanunggalan
memabukkan dengan Tuhan.
180
Trinitas: Tuhan Kristen
Ketika Denys bercerita tentang kemabukan karena Tuhan, dia
tidak merujuk pada keadaan pikiran tertentu atau bentuk kesadaran
alternatif yang dicapai melalui latihan Yoga yang tak jelas. Keadaan
ini dapat diraih setiap orang Kristen melalui metode doa atau theoria
yang paradoksikal, yang akan membuat kita berhenti berbicara dan
membawa kita ke dalam keheningan: "Ketika kita masuk ke dalam
kegelapan yang berada di luar akal, kita bukan hanya akan kehilangan
kata-kata, namun bahkan sama sekali bisu dan tidak mengetahui."55
Seperti Gregory dari Nyssa, Denys menemukan banyak pelajaran
dari kisah naiknya Musa ke Gunung Sinai. Ketika Musa telah mendaki
gunung itu, dia tidak melihat Tuhan di puncaknya, tetapi dibawa ke
tempat di mana Tuhan berada. Dia dikelilingi kabut tebal dan tak
dapat melihat apa-apa: jadi segala yang bisa kita lihat atau pahami
hanya merupakan simbol (kata yang digunakan pleh Denys adalah
"paradigma") yang menyingkapkan kehadiran sebuah realitas yang
melampaui semua pemikiran. Musa telah menembus ke dalam gelapnya
ketidaktahuan itu dan kemudian mencapai kemanunggalan
dengan sesuatu yang melampaui semua pemahaman: kita akan meraih
kemabukan serupa yang akan "mengeluarkan kita dari diri kita
sendiri" dan menyatukan kita dengan Tuhan.
Hal ini hanya mungkin karena Tuhan datang menemui kita,
seperti yang terjadi di atas gunung itu. Di sini Denys berbeda dari
Neoplatonisme, yang mempersepsikan Tuhan sebagai statis dan jauh,
sama sekali tidak responsif terhadap upaya manusia. Tuhan para
filosof Yunani tidak sadar akan para mistikus yang acap berusaha
untuk mencapai kesatuan yang memabukkan dengannya, sedangkan
Tuhan Alkitab peduli kepada manusia. Tuhan juga mengalami
"ekstasi" yang membawanya keluar dari dirinya untuk tiba pada
alam makhluk yang rentan:
Dan kita harus berani menegaskan (karena ini adalah kebenaran) bahwa
Pencipta alam ini sendiri, dalam kerinduannya yang indah dan baik
terhadap alam ... dibawa keluar dirinya karena kepeduliannya kepada
segala sesuatu yang wujud ... dan dengan demikian keluar dari
takhtanya yang transenden di atas segala sesuatu untuk berdiam di
dalam hati segala sesuatu, melalui kekuatan ekstatik yang ada di atas
wujud sambil tetap berada dalam dirinya sendiri.56
181
Sejarah Tuhan
Emanasi telah menjadi pencurahan cinta yang hangat dan sukarela,
bukan sebuah proses yang automatis. Negasi dan paradoks Denys
bukanlah sesuatu yang kita lakukan, tetapi merupakan sesuatu yang
teriadi pada diri kita.
Bagi Plotinus, ekstasi merupakan peristiwa keterpesonaan yang
sangat jarang terjadi: dia hanya mengalaminya sebanyak dua atau
tiga kali di sepanjang hidupnya. Denys melihat ekstasi sebagai
keadaan konstan setiap orang Kristen. Ini merupakan pesan tersembunyi
dan esoterik dari kitab suci dan liturgi, diungkap lewat isyarat
terkecil. Maka ketika si pendeta meninggalkan altar pada awal misa
untuk berjalan di tengah jamaah, memercikkan mereka dengan air
suci sebelum kembali ke ruang altar, ini bukanlah sekadar purifikasi—
meskipun memang demikian. Tindakan itu meniru ekstasi ilahi, seperti
Tuhan yang meninggalkan kesendiriannya dan menggabungkan
diri dengan makhluk. Barangkali cara terbaik untuk memandang
teologi Denys adalah dengan melihatnya sebagai tarian spiritual antara
apa yang bisa kita tegaskan mengenai Tuhan dengan apresiasi bahwa
apa pun yang bisa kita katakan tentang dia pastilah bersifat simbolik
semata. Seperti dalam Yudaisme, Tuhan Denys memiliki dua aspek:
yang satu menoleh kepada kita dan memanifestasikan dirinya di
dunia sedangkan yang lain berada dalam dirinya sendiri dan tetap
tidak bisa dipahami. Dia "tetap berada dalam dirinya" dalam misteri
abadi, pada saat yang sama dia memenuhi langit dan bumi. Dia
bukanlah wujud lain, yang ditambahkan pada dunia.
Metode Denys dianggap biasa dalam teologi Yunani. Akan tetapi,
di Barat, para teolog akan terus berbicara dan menjelaskan. Beberapa
di antara mereka membayangkan bahwa ketika mereka mengatakan
"Tuhan", maka realitas ilahi sebenarnya bersatu dengan ide di dalam
pikiran mereka. Sebagian lainnya menisbahkan pikiran dan gagasan
mereka sendiri kepada Tuhan—mengatakan bahwa Tuhan menghendaki
ini, melarang itu, atau telah merencanakan yang lain—dalam
cara yang mengandung bahaya keberhalaan. Akan tetapi, Tuhan
Yunani Ortodoks tetap misterius, dan Trinitas akan terus mengingatkan
orang Kristen Timur pada sifat kesementaraan doktrin-doktrin mereka.
Akhirnya, orang Yunani memutuskan bahwa sebuah teologi autentik
harus memenuhi dua kriteria Denys: mesti hening dan paradoks.
Orang Yunani dan Latin secara signifikan juga mengembangkan
pandangan yang berbeda tentang keilahian Kristus. Konsep Yunani
tentang inkarnasi dirumuskan oleh Maximus the Confessor (kl. 580-
182
Trinitas: Tuhan Kristen
662) yang dikenal sebagai bapak teologi Byzantium. Teologi ini
kira-kira lebih dekat kepada cita-cita kaum Buddha dibandingkan
kepada pandangan Barat. Maximus percaya bahwa manusia hanya
dapat mencapai kesejatian diri jika mereka dapat bersatu dengan
Tuhan, persis seperti yang diyakini oleh orang Buddha bahwa
pencerahan merupakan tujuan kemanusiaan yang sejati. "Tuhan"
dengan demikian bukanlah sebuah pilihan ekstra, sebuah realitas
asing di luar diri yang ditambahkan pada kondisi kemanusiaan.
Manusia mempunyai potensi untuk mencapai keilahian dan menjadi
manusia yang utuh hanya jika hal ini tercapai. Logos menjadi manusia
bukan demi memperbaiki dosa Adam; bahkan Inkarnasi akan tetap
terjadi seandainya pun Adam tidak membuat dosa. Manusia diciptakan
dalam kemiripan dengan logos dan akan mencapai potensi mereka
yang sepenuhnya hanya jika kemiripan ini telah disempurnakan.
Di Gunung Tabor, kegemilangan kemanusiaan Yesus memperlihatkan
kepada kita kondisi manusia yang menuhan, kondisi yang
dapat diraih oleh kita semua. Firman telah dijadikan daging agar
"seluruh manusia akan menjadi Tuhan, dituhankan melalui berkat
Allah—manusia utuh, jiwa dan raga, secara alamiah dan Tuhan utuh,
jiwa dan raga, karena berkat."57 Seperti halnya pencerahan dan ke-
Buddha-an tidak melibatkan campur tangan sebuah realitas adialami,
melainkan merupakan peningkatan kekuatan-kekuatan yang alamiah
bagi manusia, demikian pula Kristus yang menuhan memperlihatkan
kepada kita keadaan yang dapat kita peroleh melalui berkat Allah.
Orang Kristen memuliakan Yesus Manusia-Tuhan lewat cara yang kurang
lebih sama dengan orang Buddha mengagungkan citra Gautama yang
tercerahkan: dia menjadi contoh pertama kemanusiaan yang benarbenar
penuh dan dimuliakan.
Kalau pandangan Yunani tentang Inkarnasi membawa Kristen
menjadi lebih dekat kepada tradisi Timur, pandangan Barat tentang
Yesus menempuh jalan yang lebih eksentrik. Teologi klasik dipaparkan
oleh Uskup Anselm dari Canterbury (1033-1109), dalam risalahnya
Why God Became Man. Menurutnya, dosa merupakan kesalahan yang
amat besar sehingga pertobatan menjadi penting agar rencana-rencana
Tuhan terhadap manusia tidak terhalangi. Firman telah dijadikan
daging untuk melakukan perbaikan atas nama kita. Keadilan Tuhan
menuntut pelunasan utang oleh seseorang yang memiliki pribadi
ketuhanan dan kemanusiaan sekaligus: akibat besarnya pelanggaran
itu maka hanya seorang Anak Tuhan saja yang bisa memberi
183
Sejarah Tuhan
penyelamatan bagi kita. Akan tetapi, karena yang bertanggung jawab
adalah seorang manusia, sang penebus juga harus menjpakan anggota
ras manusia. Inilah skema legalistik dan rapi yang melukiskan pikiran
Tuhan, memutuskan dan menimbang keadaan seakan-akan dia adalah
manusia biasa. Skema ini juga memperkuat citra tentang Tuhan yang
keras, yang hanya dapat dipuaskan melalui kematian diam-diam
anaknya sendiri, yang ditawarkan sebagai sejenis pengurbanan
manusia.
Doktrin Trinitas telah sering disalahpahami di dunia Barat. Orangorang
cenderung membayangkan adanya tiga figur suci atau sama
sekali mengabaikan doktrin itu dan mengidentifikasikan "Allah" dengan
Tuhan Bapa dan memandang Yesus sebagai pendamping ilahi—
tidak lagi dalam peringkat yang setara. Umat Islam dan Yahudi
menganggap doktrin itu membingungkan dan bahkan menghujat.
Sungguhpun demikian, akan kita lihat nanti bahwa ternyata baik
mistik Yudaisme maupun Islam telah mengembangkan konsepsi
keilahian yang teramat mirip. Gagasan tentang kenosis, ekstasi
pengosongan diri, misalnya, akan menjadi krusial dalam Kabbalah
maupun sufisme. Dalam Trinitas, Bapa menyalurkan segala yang
ada pada dirinya kepada Putra, menyerahkan segala sesuatu—bahkan
kemungkinan untuk mengungkapkan diri dalam Firman yang lain.
Begitu Firman telah diucapkan, Tuhan Bapa menjadi hening: tak
ada yang bisa kita katakan tentang dia sebab satu-satunya Tuhan
yang bisa kita ketahui hanyalah logos atau Putra. Karena itu, Bapa
tidak memiliki identitas, tak ada "Aku" dalam pengertian biasa, dan
membingungkan pengertian kita tentang kepribadian. Sumber asal
Ada adalah Tiada yang telah diungkap tidak hanya oleh Denys,
tetapi juga oleh Plotinus, Philo, dan bahkan Buddha. Karena Bapa
biasanya ditampilkan sebagai pencarian Akhir dari Kristen, perjalanan
Kristen menjadi gerakan maju yang tak bertujuan. Gagasan tentang
suatu Tuhan yang personal atau personalisasi Yang Mutlak telah
menjadi bagian penting dari umat manusia: orang Hindu dan Buddha
telah memberikan konsesi kepada peribadatan bhakti yang bersifat
personalistik. Namun, paradigma atau simbol Trinitas menyarankan
bahwa personalisme mesti ditransendensikan dan bahwa tidaklah
cukup untuk membayangkan Tuhan sebagai manusia yang diperluas,
berperilaku dan bereaksi dengan cara yang sama seperti kita.
Doktrin Inkarnasi dapat dipandang sebagai usaha lain untuk
menetralkan bahaya keberhalaan. Begitu "Tuhan" dilihat sebagai
184
Trinitas: Tuhan Kristen
realitas yang sama sekali lain "di luar sana", dia dengan mudah akan
menjadi sekadar berhala dan proyeksi, yang membuat manusia
mengeksternalisasi dan menyembah praduga dan hasrat mereka
sendiri. Tradisi-tradisi keagamaan yang lain telah berupaya mencegah
hal ini dengan menekankan bahwa Yang Mutlak itu bagaimanapun
terjalin dengan kondisi manusia, seperti dalam paradigma Brahman-
Atman. Arius—kemudian Nestorius dan Eutyches—kesemuanya ingin
membuat Yesus entah manusia atau ilahi, dan mereka berkeras
sebagiannya karena kecenderungan untuk tetap memisahkan kemanusiaan
dan keilahian dalam tataran terpisah. Benar, jalan keluar
yang mereka tempuh lebih bersifat rasional, namun dogma—sebagai
lawan dari kerygma—tidak mesti terbatas pada apa-apa yang bisa
diungkapkan sepenuhnya, seperti puisi atau musik. Doktrin Inkarnasi—
seperti yang secara serampangan dikemukakan oleh Athanasius
dan Maximus—merupakan upaya mengartikulasikan pandangan
universal bahwa "Tuhan" dan manusia haruslah tak terpisah. Di Barat,
di mana Inkarnasi tidak diformulasikan dengan cara ini, terdapat
kecenderungan untuk memandang Tuhan tetap bersifat eksternal
terhadap manusia dan sebagai realitas alternatif bagi dunia yang kita
kenal. Akibatnya, sangat mudah untuk menjadikan "Tuhan" ini sekadar
sebagai sebuah proyeksi—yang belakangan malah sudah ditinggalkan.
Namun dengan membuat Yesus sebagai satu-satunya avatar, kita
telah menyaksikan bahwa orang Kristen telah mengambil pandangan
eksklusif tentang kebenaran agama: Yesus adalah Firman Tuhan yang
Pertama dan Terakhir bagi umat manusia, membuat wahyu-wahyu
masa depan tak diperlukan lagi. Akibatnya, sebagaimana juga orang
Yahudi, mereka guncang ketika pada abad ketujuh di Arabia, muncul
seorang nabi yang mengklaim telah menerima langsung wahyu dari
Tuhan mereka dan membawa kitab suci baru bagi umatnya. Sungguhpun
demikian, versi baru monoteisme itu, yang akhirnya dikenal sebagai
"Islam", menyebar dengan kecepatan yang sangat mengagumkan
ke seantero Timur Tengah dan Afrika Utara. Banyak dari pengikut
barunya yang antusias di kawasan-kawasan ini dengan lega melepas
Trinitarianisme Yunani, yang mengungkapkan misteri Tuhan dalam
idiom yang asing bagi mereka, dan menganut pandangan yang lebih
Semitik tentang realitas ilahi.[]
185
Keesaan: Tuhan Islam
Sekitar tahun 610, seorang pedagang Arab dari kota Makkah
yang ramai di Hijaz, yang tak pernah membaca Alkitab dan
mungkin tak pernah mendengar tentang Yesaya, Yeremia,
dan Yehezkiel, mengalami suatu kejadian ajaib yang sangat mirip
dengan pengalaman mereka. Setiap tahun Muhammad ibn Abdullah,
anggota suku pedagang Quraisy di Makkah, biasa mengajak istrinya
ke Gua Hira yang tidak jauh dari kota itu untuk melaksanakan
penyendirian spiritual selama bulan Ramadhan. Ini adalah praktik
yang lazim dilakukan di kalangan penduduk jazirah Arab. Muhammad
menghabiskan waktu untuk berdoa kepada Tuhan serta membagikan
makanan dan sedekah kepada fakir miskin yang mengunjunginya
selama periode suci itu. Dia mungkin juga banyak melewatkan waktu
dengan beban pikiran yang menggelisahkan. Kita mengetahui dari
kariernya di belakang hari bahwa Muhammad sangat prihatin akan
keruntuhan moral yang mengkhawatirkan di Makkah, di tengah
keberhasilan spektakuler yang belum lama diraih kota itu.
Dalam dua generasi terdahulu, kaum Quraisy masih menjalani
kehidupan nomadik yang keras di tanah Arab, seperti suku-suku
Badui yang lain: setiap hari dilalui dengan perjuangan untuk mempertahankan
diri. Akan tetapi, selama tahun-tahun terakhir abad keenam,
mereka telah meraih keberhasilan besar dalam perdagangan dan
menjadikan Makkah kawasan pemukiman paling penting di Arab.
186
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
nurulkariem@yahoo.com
Keesaan: Tuhan Islam
Kini jumlah kekayaan mereka telah melampaui impian-impian mereka
yang paling liar. Namun, gaya hidup mereka yang berubah drastis
ini mengimplikasikan bahwa nilai-nilai kesukuan lama telah tergeser
oleh kapitalisme tak berperasaan yang merajalela. Orang-orang merasa
kehilangan orientasi. Muhammad tahu bahwa kaum Quraisy berada
dalam arah yang berbahaya dan perlu menemukan ideologi yang
dapat membantu mereka menyesuaikan diri dengan kondisi yang baru.
Pada masa itu, setiap pemecahan politik cenderung bersifat
keagamaan. Muhammad sadar bahwa kaum Quraisy sedang menjadikan
uang sebagai agama baru. Hal ini tidak mengherankan, karena
mereka tentu merasakan bahwa kemakmuran baru itu telah "menyelamatkan"
mereka dari kehidupan nomadik yang penuh risiko,
melindungi mereka dari kekurangan gizi dan wabah pertikaian antarsuku
di kawasan semenanjung Arabia yang membuat orang-orang
Badui setiap hari berhadapan dengan bahaya kepunahan. Kini, mereka
hampir selalu mempunyai persediaan pangan yang cukup. Makkah
kini menjadi pusat perdagangan dan keuangan internasional. Mereka
merasa telah menjadi penentu nasib mereka sendiri, dan sebagiannya
bahkan meyakini bahwa kemakmuran itu akan memberi mereka
kehidupan yang abadi. Namun, Muhammad merasa bahwa kultus
baru keswasembadaan (istaqa) ini akan mengakibatkan perpecahan
suku.
Pada masa-masa nomadik yang lalu, kepentingan suku selalu
harus didahulukan daripada kepentingan pribadi: setiap anggota suku
mengetahui bahwa mereka saling bergantung satu sama lain untuk
mempertahankan hidup. Akibatnya mereka mempunyai kewajiban
untuk memperhatikan orang miskin dan lemah dalam kelompok
etnik mereka. Kini, individualisme telah menggantikan nilai-nilai
komunal dan persaingan berkembang menjadi norma. Masing-masing
individu mulai mengumpulkan kekayaan pribadi dan tidak peduli
kepada orang-orang Quraisy yang lemah. Setiap klan, atau kelompok
keluarga suku yang lebih kecil, saling bertikai untuk mendapat bagian
dalam kemakmuran Makkah, dan sebagian dari klan yang kurang
beruntung (seperti klan Muhammad sendiri, yakni klan Bani Hasyim)
merasa bahwa kelangsungan hidup mereka tengah terancam.
Muhammad yakin bahwa jika kaum Quraisy tidak meletakkan nilai
transenden lain di pusat kehidupan mereka dan menaklukkan egoisme
dan ketamakan mereka, maka suku itu akan terpecah belah secara
moral dan politik akibat perselisihan yang keras.
187
Sejarah Tuhan
Situasi di bagian lain jazirah Arabia juga suram. Selama berabadabad,
suku-suku Badui di kawasan Hijaz dan Nejed telah hidup
dalam persaingan tajam satu sama lain demi memperebutkan
kebutuhan-kebutuhan pokok. Untuk membantu masyarakat menanamkan
semangat komunal yang esensial bagi pertahanan hidup, orang
Arab telah mengembangkan sebuah ideologi yang disebut muruwah,
suatu konsep etik yang banyak mengandung fungsi agama. Dalam
pengertian konvensional, orang Arab hanya memiliki sedikit waktu
bagi agama. Mereka mempunyai sekumpulan dewa-dewa pagan
dan beribadat di tempat-tempat suci para dewa itu, namun tidak
mengembangkan mitologi yang menjelaskan relevansi dewa-dewa
dan tempat-tempat suci ini bagi kehidupan ruhani. Mereka tak
memiliki pandangan tentang kehidupan setelah mati, tetapi percaya
bahwa dahr, yang dapat diterjemahkan sebagai "waktu" dan "nasib",
sangatlah penting—sebuah sikap yang barangkali esensial dalam
masyarakat yang angka kematiannya begitu tinggi.
Para sarjana Barat sering menerjemahkan muruwah sebagai
"kejantanan", namun kata itu memiliki cakupan pengertian yang
jauh lebih luas: muruwah bisa berarti keberanian dalam peperangan,
kesabaran dan ketabahan dalam penderitaan, dan kesetiaan mutlak
kepada suku. Nilai-nilai muruwah menuntut seorang Arab untuk
mematuhi sayyid atau pemimpinnya setiap saat, tanpa peduli
keselamatan dirinya sendiri: dia harus mendedikasikan diri kepada
tugas-tugas mulia melawan semua kejahatan yang dilakukan terhadap
suku dan melindungi anggota-anggotanya yang lemah. Untuk menjamin
kelangsungan hidup suku, sayyid membagi kekayaan dan harta
miliknya secara merata dan membalas kematian satu anggotanya dengan
membunuh satu anggota suku si pelaku pembunuhan. Di sini
kita dapat melihat etika komunal secara sangat jelas: tak ada kewajiban
untuk menghukum pembunuh itu sendiri karena seorang individu
bisa hilang tanpa jejak dalam komunitas, seperti masyarakat Arab
sebelum datangnya Islam. Sebagai gantinya, satu anggota suku musuh
dipandang setara saja dengan yang lainnya untuk menegakkan
maksud semacam itu. Balas dendam atau utang nyawa balas nyawa
merupakan satu-satunya cara untuk menjamin sedikit keamanan sosial
di wilayah yang tak mengenal kekuasaan sentral ini, di mana setiap
kelompok suku merupakan hukum bagi dirinya sendiri dan tak terdapat
sesuatu yang bisa dipersamakan dengan angkatan kepolisian zaman
sekarang. Jika seorang pemimpin suku gagal membalas dendam,
188
Keesaan: Tuhan Islam
sukunya akan kehilangan martabat sehingga suku-suku lain akan
merasa bebas untuk membunuh anggota sukunya tanpa dihukum.
Hukum balas, dengan demikian telah menjadi bentuk keadilan yang
lazim. Ini berarti bahwa tak ada satu suku pun yang dengan gampang
dapat memperoleh yang derajat lebih tinggi daripada yang lain. Ini
juga berarti bahwa berbagai suku dapat dengan mudah terlibat dalam
lingkaran kekerasan tanpa akhir, di mana satu penuntutan balas akan
menimbulkan pembalasan yang lain jika orang-orang merasa bahwa
balas dendam itu dilakukan secara tidak proporsional terhadap kesalahan
asalnya.
Meskipun tak diragukan lagi kebrutalannya, muruwah tetap memiliki
banyak kelebihan. Muruwah sangat menekankan egalitarianisme
dan ketidakpedulian pada materi, yang, lagi-lagi, barangkali
esensial dalam wilayah yang tidak memiliki persediaan kebutuhan
pokok dalam jumlah yang memadai: kedermawanan merupakan kebajikan
yang penting dan mengajarkan orang-orang Arab untuk tidak
mengkhawatirkan hari esok. Sifat-sifat ini, sebagaimana akan kita
saksikan, penting maknanya bagi Islam. Muruwah telah berdampak
baik bagi orang Arab selama berabad-abad, namun sejak abad keenam
konsep itu tak lagi mampu menjawab kondisi modemitas. Selama
fase terakhir periode pra-Islam, yang oleh kaum Muslim disebut
periode jahiliyyah (masa kebodohan), ketidakpuasan dan kekosongan
spiritual telah menyebar luas. Orang Arab dikepung dari semua sisi
oleh dua imperium besar, Persia Sassanian dan Byzantium. Ide-ide
modern mulai menembus masuk ke Arab dari wilayah-wilayah yang
berpenghuni; para saudagar yang bepergian ke Suriah atau Irak
membawa pulang kisah-kisah mengagumkan tentang kehebatan
peradaban.
Namun, tampaknya mereka ditakdirkan untuk terus hidup dalam
barbarisme. Peperangan antarsuku yang tak henti-hentinya terjadi
membuat mereka tak mampu mengumpulkan sumber daya mereka
yang hanya sedikit itu dan menjadi orang Arab bersatu. Mereka tak
dapat menentukan nasib sendiri dan mendirikan sebuah peradaban
sendiri. Sebaliknya mereka justru senantiasa terbuka untuk dieksploitasi
oleh kekuatan-kekuatan besar: buktinya, wilayah yang lebih
subur dan canggih di Arab Selatan yang kini dikenal sebagai Yaman
(yang memiliki keuntungan dari hujan muson) telah menjadi sekadar
satu provinsi dalam wilayah kekuasaan Persia. Pada saat yang
sama, ide-ide baru yang menembus kawasan itu memperkenalkan
189
Sejarah Tuhan
individualisme yang meruntuhkan etos komunal lama. Doktrin Kristen
tentang kehidupan sesudah mati, misalnya, membuat nasib abadi
setiap individu menjadi nilai yang suci: bagaimana ini bisa dicocokkan
dengan idealisme kesukuan yang menempatkan individu di bawah
kepentingan kelompok dan mengajarkan bahwa satu-satunya
keabadian manusia terletak pada keberlangsungan hidup suku?
Muhammad adalah seorang jenius yang sangat luar biasa. Tatkala
wafat pada tahun 632, dia telah berhasil menyatukan hampir semua
suku Arab menjadi sebuah komunitas baru, atau ummah. Dia telah
mempersembahkan kepada orang-orang Arab sebuah spiritualitas
yang secara unik sesuai dengan tradisi mereka dan yang membukakan
kunci bagi sumber kekuatan yang besar sehingga dalam waktu seratus
tahun mereka telah mendirikan imperium sendiri yang luas membentang
dari Himalaya hingga Pirenia, dan membangun sebuah peradaban
yang unik. Namun, ketika Muhammad duduk berdoa di gua kecil
Hira selama masa ibadahnya pada bulan Ramadhan tahun 610, dia
tidak membayangkan kesuksesan fenomenal seperti itu. Sebagaimana
kebanyakan orang Arab, Muhammad percaya bahwa Allah, Tuhan
Tertinggi dalam keyakinan Arab kuno, yang namanya secara sederhana
berarti "Tuhan'!, identik dengan Tuhan yang disembah oleh
orang-orang Yahudi dan Kristen. Dia juga percaya bahwa hanya
seorang nabi dari Tuhan ini yang akan mampu memecahkan masalah
masyarakatnya, tetapi tak sedikit pun terbetik dalam pikirannya bahwa
dirinyalah yang akan menjadi nabi itu. Orang Arab pun secara prihatin
sadar bahwa Allah belum pernah mengutus kepada mereka seorang
nabi atau menurunkan kitab suci bagi mereka, meski tempat suci
baginya telah ada di tengah-tengah mereka sejak masa yang sudah
tak dapat diingat lagi. Pada abad ketujuh, kebanyakan orang Arab
percaya bahwa Ka'bah, bangunan sangat tua berbentuk kubus besar
yang terletak di jantung Makkah, pada awalnya didirikan demi
pengabdian kepada Allah, walaupun pada saat itu tempat tersebut
diisi oleh dewa Hubal orang Nabatea. Semua penduduk Makkah
sangat bangga akan Ka'bah yang merupakan tempat suci paling
penting di Arabia. Setiap tahun orang-orang Arab dari segala penjuru
semenanjung melaksanakan ziarah ke Makkah, untuk menyelenggarakan
ritus-ritus tradisional selama beberapa hari. Semua kekerasan
dilarang di sekeliling tempat suci Ka'bah, sehingga mereka dapat
berdagang dengan damai satu sama lain di sana, karena mengetahui
bahwa permusuhan-permusuhan lama untuk sementara harus ditunda.
190
Keesaan: Tuhan Islam
Kaum Quraisy menyadari bahwa tanpa tempat suci itu mereka tak
akan meraih kesuksesan berniaga dan bahwa sebagian besar prestise
mereka di kalangan suku-suku bergantung pada penjagaan terhadap
Ka'bah dan pada pelestarian kesuciannya yang ada di bawah tanggung
jawab mereka. Namun meski Allah jelas-jelas telah mengistimewakan
kaum Quraisy untuk tugas ini, dia tidak pernah mengirim kepada
mereka seorang utusan, seperti Ibrahim, Musa, atau Isa, dan orang
Arab tak memiliki kitab suci dalam bahasa mereka sendiri.
Oleh karena itu, tersebar luas rasa inferioritas spiritual di antara
mereka. Orang Yahudi dan Kristen, mitra dagang yang sering berhubungan
dengan orang-orang Arab, acap mencela mereka sebagai
orang barbar yang tidak memperoleh wahyu dari Tuhan. Orang
Arab merasakan campuran rasa benci dan hormat kepada orangorang
yang memiliki pengetahuan yang tak mereka punyai ini.
Yudaisme dan Kristen tidak mendapat banyak kemajuan di kawasan
itu, meskipun orang Arab mengakui bahwa bentuk agama yang
progresif ini sebenarnya lebih unggul daripada paganisme tradisional
mereka. Ada beberapa suku Yahudi yang tidak jelas asal usulnya di
pemukiman Yatsrib (kemudian menjadi Madinah) dan Fadak, hingga
ke utara Makkah, serta beberapa suku utara di perbatasan antara
imperium Persia dan Byzantium yang telah beralih menganut aliran
Monofisit atau Kristen Nestorian. Akan tetapi, orang Badui sangat
independen, mereka bertekad untuk tidak jatuh ke bawah salah satu
kekuatan adidaya seperti saudara-saudara mereka di Yaman dan sangat
menyadari bahwa baik orang Persia maupun Byzantium telah menggunakan
agama Yahudi dan Kristen untuk mengembangkan polapola
imperial mereka di kawasan itu. Mereka barangkali juga menyadari
secara instingtif bahwa mereka telah mengalami dislokasi kultural
yang cukup parah, seiring erosi tradisi-tradisi mereka sendiri. Mereka
sama sekali tak merasa menginginkan sebuah ideologi baru, apalagi
yang terungkap dalam bahasa dan tradisi asing.
Sebagian orang Arab tampaknya telah berupaya menemukan
bentuk monoteisme yang lebih netral dan tidak ternoda kaitan imperialistik.
Sejarahwan Kristen Palestina, Sozomenos, mengemukakan
kepada kita bahwa pada awal abad kelima beberapa orang Arab di
Suriah telah menemukan kembali apa yang mereka sebut agama asli
Ibrahim, yang berkembang sebelum Tuhan menurunkan Taurat atau
Injil dan, dengan demikian, bukan Yahudi atau Kristen. Tidak lama
sebelum Muhammad menerima panggilan kenabiannya sendiri,
191
Sejarah Tuhan
penulis biografinya yang pertama, Muhammad ibn Ishaq (w. 767),
menjelaskan kepada kita bahwa empat orang tokoh Quraisy Makkah
memutuskan untuk mencari hanifiyyah, agama asli Ibrahim. Sebagian
sarjana Barat telah menyatakan bahwa sekte hanifiyyah yang kecil
ini adalah sebuah fiksi agama yang menyimbolkan kegelisahan
spiritual zaman jahiliah, tetapi pasti memiliki dasar pijakan yang
faktual: Tiga di antara keempat hanif itu cukup dikenal oleh generasi
pertama Muslim: Ubaidillah ibn Jahsy, keponakan Muhammad;
Waraqah bin Naufal, yang akhirnya beragama Kristen; dan Zaid ibn
Amr, paman Umar bin Khattab, salah seorang sahabat dekat Muhammad
dan khalifah kedua dalam pemerintahan Islam. Ada sebuah kisah
bahwa pada suatu hari, sebelum meninggalkan Makkah menuju Suriah
dan Irak untuk mencari agama Ibrahim, Zaid berdiri di sisi Ka'bah,
bersandar ke bangunan suci itu dan berkata kepada orang Quraisy
yang sedang melakukan ritus mengelilinginya dalam cara yang sudah
dilakukan sejak lama: "Wahai Quraisy, demi yang jiwa Zaid berada
di tangannya, tak ada seorang pun dari kalian yang mengikuti agama
Ibrahim kecuali aku." Kemudian dengan sedih dia menambahkan,
"Ya Tuhan, andaikan aku tahu bagaimana engkau ingin disembah,
niscaya aku akan menyembahmu dengan cara itu; namun aku tidak
tahu."1
Kerinduan Zaid terhadap wahyu ilahi akhirnya terpenuhi di Gua
Hira pada tahun 610 di malam ketujuh belas bulan Ramadhan, tatkala
Muhammad dibangunkan dari tidur dan merasakan dirinya didekap
oleh kehadiran ilahiah yang dahsyat. Belakangan dia menceritakan
pengalaman luar biasa ini dalam istilah-istilah khas Arab. Dia berkata
bahwa satu malaikat menampakkan diri kepadanya dan memberinya
sebuah perintah singkat: "Bacalah!" (iqra'!). Seperti halnya nabi-nabi
Ibrani yang sering merasa berat mengucapkan Firman Tuhan,
Muhammad menolak dan memprotes, "Aku bukan seorang pembaca!"
Dia bukanlah seorang kahin, seorang peramal ekstatik Arab yang
mengaku fasih membaca nubuat-nubuat yang diilhamkan. Akan tetapi,
Muhammad berkata, malaikat itu kemudian mendekapnya semakin
kuat, sehingga dia merasa seolah-olah napasnya akan meninggalkan
tubuhnya. Persis pada saat Muhammad merasa seakan tak mampu
lagi bertahan, malaikat itu melepaskannya dan kembali memerintahkan,
"Bacalah!" (iqra'!). Muhammad lagi-lagi menolak dan malaikat itu
pun mendekapnya lagi hingga dia merasa telah mencapai batas
daya tahannya. Akhirnya, di akhir dekapan dahsyat yang ketiga,
192
Keesaan: Tuhan Islam
Muhammad merasakan kata-kata pertama dari sebuah kitab suci baru
mengalir keluar dari mulutnya:
Bacalah dengan nama Tuhanmu, yang telah menciptakan—
menciptakan manusia dari segumpal darah! Bacalah, dan
Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar [manusia] dengan
perantaraan kalam—Dia mengajarkan manusia apa yang tidak
diketahuinya.2
Firman Tuhan telah diucapkan untuk pertama kalinya dalam
bahasa Arab, dan kitab suci ini akhirnya akan disebut qur'an Bacaan.
Muhammad merasa dirinya berada dalam ketakutan dan
perubahan, bergidik memikirkan bahwa dia mungkin telah menjadi
sekadar seorang kahin tak terhormat yang dimintakan pendapatnya
oleh orang-orang ketika mereka kehilangan unta. Seorang kabin
diduga dikuasai oleh jin, sejenis makhluk halus yang dipercayai
menghuni daratan Arab, yang bisa berubah-ubah wujud dan menyesatkan
manusia. Para penyair juga percaya bahwa diri mereka dikuasai
oleh jin-jin pribadi mereka. Hasan ibn Tsabit, seorang penyair Yatsrib
yang kemudian masuk Islam, berkata bahwa ketika dia pertama kali
mendapat dorongan untuk menjadi penyair, jinnya menampakkan
diri kepadanya, mengempaskannya ke tanah, dan mendorong katakata
ilham keluar dari mulutnya. Hanya inilah bentuk pengilhaman
yang dikenal oleh Muhammad. Bayangan bahwa dia mungkin telah
menjadi majnun, dikuasai jin, memenuhi dirinya dengan rasa putus
asa seakan-akan keinginannya untuk hidup pupus sudah. Dia sangat
tidak menyenangi para kabin itu, yang biasanya mengeluarkan nubuat
berupa kata-kata kosong yang tak masuk akal, dan dia pun sangat
berhati-hati untuk membedakan Al-Quran dari syair-syair Arab konvensional.
Kini, sembari bergegas keluar dari gua, Muhammad merasa
seakan ingin mengempaskan dirinya dari puncak bukit. Namun, di
sisi bukit dia kembali melihat sesosok makhluk yang, kemudian,
diidentifikasinya sebagai Malaikat Jibril:
Ketika aku berada di tengah jalan perbukitan, aku mendengar suara
dari langit berkata: "Hai Muhammad! Engkau adalah utusan Tuhan dan
aku adalah Jibril." Aku menengadahkan kepala ke arah langit untuk
melihat siapa yang berbicara, dan, kulihat Jibril dalam rupa seorang
manusia dengan kaki di kedua sisi ufuk ... aku berdiri memandangnya,
tak bergerak surut atau maju; kemudian aku memalingkan wajah
193
Sejarah Tuhan
darinya, namun ke bagian langit mana pun kulayangkan pandangan,
dia tetap terlihat.3
Di dalam Islam, Jibril sering diidentifikasikan sebaga Ruh Suci
pembawa wahyu, perantara yang melaluinya Tuhan berkomunikasi
dengan manusia. Dia bukanlah malaikat naturalistik, namun hadir di
mana-mana sehingga mustahil bisa melarikan din darinya. Muhammad
telah mendapatkan pemahaman luar biasa tentang realitas ilahi, yang
oleh nabi-nabi Ibrani disebut kaddosh, kesucian, keberbedaan Tuhan
dan segala sesuatu. Ketika mengalaminya, mereka juga telah merasa
begitu dekat dengan kematian dan berada dalam ketegangan fisik
dan mental. Akan tetapi, tidak seperti Yesaya atau Yeremia, Muhammad
tidak memiliki penghibur berupa tradisi yang telah mapan untuk
menyokongnya. Pengalaman yang menakutkan itu seolah-olah jatuh
menimpanya secara tiba-tiba dan meninggalkannya dalam keadaan
tercekam. Dalam deritanya, secara instingtif dia berpaling kepada
istrinya, Khadijah.
Berjalan tertatih sambil gemetaran hebat, Muhammad menjatuhkan
diri ke pangkuan istrinya, "Selimuti aku, selimuti aku!" serunya,
memohon istrinya untuk melindungi dirinya. Tatkala rasa takut mulai
menghilang, Muhammad bertanya kepada Khadijah apakah dirinya
betul-betul telah menjadi majnun. Khadijah bersegera memberi ketegasan:
"Engkau adalah orang yang baik dan penuh perhatian kepada
sanak saudaramu. Engkau menolong fakir miskin dan orang yang
kesulitan, dan ikut memikul beban mereka. Engkau berupaya mengembalikan
akhlak mulia yang nyaris hilang dari kaummu. Engkau
menghormati tamu dan membantu orang-orang yang susah. Tak
mungkin engkau (majnun)."4 Tuhan tidak bertindak dengan sewenang-
wenang. Khadijah menganjurkan agar mereka berkonsultasi
dengan sepupunya, Waraqah, yang saat itu penganut Kristen dan
mempelajari kitab suci. Waraqah sama sekali tidak sangsi: Muhammad
telah menerima wahyu dari Tuhan Musa dan nabi-nabi lain, dan
telah menjadi utusan ilahi bagi bangsa Arab. Akhirnya, setelah melalui
periode beberapa tahun, Muhammad menjadi yakin bahwa memang
demikianlah halnya dan mulai mendakwahi kaum Quraisy, menghadirkan
bagi mereka sebuah kitab suci dalam bahasa mereka sendiri.
Namun, tidak seperti Taurat yang menurut kisah biblikal diwahyukan
kepada Musa dalam satu waktu secara sekaligus di Gunung Sinai,
Al-Quran diwahyukan kepada Muhammad secara sepenggal-sepenggal,
194
Keesaan: Tuhan Islam
sebaris demi sebaris dan seayat demi seayat dalam kurun waktu dua
puluh tiga tahun. Pewahyuan itu terus terjadi dalam pengalaman
yang memberatkan. "Tak pernah aku menerima wahyu tanpa perasaan
bahwa jiwaku seolah-olah akan tercerabut dari diriku," ujar
Muhammad beberapa tahun kemudian.5 Dia hams menyimak firmanfirman
suci itu dengan penuh perhatian, berusaha mendapatkan visi
dan arti penting yang tidak selalu sampai kepadanya dalam bentuk
verbal yang jelas. Kadang-kadang, katanya, kandungan pesan ilahi
itu sangat jelas: dia seolah-olah melihat Jibril dan mendengar apa
yang diucapkannya. Akan tetapi, pada waktu lain, wahyu itu sangat
sulit diartikulasikan: "Kadangkala ia datang kepadaku bagaikan gema
sebuah genta, dan itulah yang paling sulit; gema itu menyurut ketika
aku telah sadar akan pesan yang disampaikan."6 Para penulis biografi
pertama pada periode klasik sering memperlihatkan Muhammad
menyimak secara tekun apa yang mungkin mesti kita sebut ungkapan
alam bawah sadar dengan autoritas dan integritas yang secara misterius
bukan merupakan bagian dari dirinya—persis seperti seorang penyair
menjelaskan proses "penyimakan" sebuah puisi yang secara perlahan
muncul dari ruang pikiran yang tersembunyi. Di dalam Al-Quran,
Tuhan memerintahkan Muhammad untuk mendengarkan makna yang
tidak koheren itu dengan saksama dan dengan apa yang disebut
oleh Wordsworth sebagai "kepasifan yang bijaksana."7 Dia tidak boleh
tergesa-gesa memaksakan kata atau makna konseptual tertentu pada
wahyu itu sebelum maknanya yang sejati terungkap pada saat yang
tepat:
Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al-Quran
karena hendak cepat-cepat (menguasai)-nya. Sesungguhnya atas
tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu
pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya
maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas
tanggungan Kamilah penjelasannya.8
Sebagaimana semua bentuk kreativitas, ini juga merupakan proses
yang sulit. Muhammad sering masuk ke keadaan trans dan kadangkadang
seakan kehilangan kesadaran: dia sering jadi berkeringat,
bahkan di hari yang dingin, dan merasakan beban batin yang berat
seperti duka yang mendorongnya untuk merunduk meletakkan kepala
di antara kedua lututnya, sebuah posisi yang diambil oleh sebagian
195
Sejarah Tuhan
mistikus Yahudi kontemporer tatkala mereka masuk ke keadaan
kesadaran yang berubah—meskipun Muhammad tentunya tidak
mengetahui hal ini.
Tidak mengherankan jika Muhammad merasakan wahyu sebagai
ketegangan yang begitu besar: dia bukan hanya sedang mengupayakan
sebuah solusi politik yang sama sekali baru bagi umatnya, melainkan
juga sedang menyusun salah satu karya sastra dan spiritual klasik
terbesar sepanjang zaman. Dia yakin bahwa dia tengah menyusun
Firman Tuhan yang tak terucapkan ke dalam bahasa Arab, karena
Al-Quran bersifat sentral bagi spiritualitas Islam sebagaimana halnya
Yesus, sang logos, bagi Kristen. Kita mengetahui lebih banyak tentang
Muhammad dibanding para pendiri agama besar lainnya, dan, di
dalam Al-Quran, yang waktu turun berbagai surah atau bagiannya
dapat diketahui dengan tingkat akurasi yang masuk akal, kita dapat
melihat bagaimana visi Muhammad berevolusi secara perlahan dan
menjadi semakin universal dalam cakupannya. Pada awalnya dia
tidak melihat lingkup tugas yang harus dipikulnya, karena hal itu
diperlihatkan kepadanya sedikit demi sedikit, seiring responsnya
terhadap logika batin peristiwa-peristiwa yang terjadi. Di dalam Al-
Quran, kita bisa menemukan komentar orang-orang sezaman tentang
awal kedatangan Islam yang unik dalam sejarah agama. Di dalam
kitab suci ini, Tuhan tampaknya menjelaskan tentang perkembangan
situasi: dia menjawab para pengkritik Muhammad, menguraikan makna
suatu peperangan atau konflik yang terjadi di dalam masyarakat
Islam generasi pertama, dan menunjukkan dimensi ilahiah kehidupan
manusia.
Al-Quran tidak turun kepada Muhammad dalam susunan seperti
yang kita jumpai pada masa sekarang, tetapi dalam susunan yang
lebih acak, sesuai peristiwa-peristiwa yang datang dan penyimakannya
atas makna yang lebih dalam. Setiap kali bagian baru diwahyukan,
Muhammad, yang tidak bisa membaca atau menulis, akan mengucapkannya
keras-keras. Kaum Muslim pun menghafalnya sedangkan
beberapa sahabat yang bisa baca-tulis menyalinnya. Sekitar dua puluh
tahun setelah wafatnya Muhammad, kompilasi resmi pertama atas
wahyu ini diselesaikan. Para editor meletakkan surah-surah terpanjang
pada bagian awal dan yang tersingkat di bagian akhir. Susunan seperti
ini tidaklah seacak kelihatannya, karena Al-Quran bukanlah sebuah
narasi atau argumen yang membutuhkan tatanan berurutan. Susunan
itu merefleksikan berbagai tema: kehadiran Tuhan di dunia, kehidupan
196
para nabi, atau Hari Akhir. Bagi orang yang tidak bisa mengapresiasi
keindahan bahasa Arab yang luar biasa, Al-Quran tampak membosankan
dan bertele-tele karena sering mengulang-ulang tema yang sama.
Namun, Al-Quran tidak dimaksudkan untuk menjadi bahan kajian
secara pribadi, melainkan untuk pembacaan liturgis. Ketika kaum
Muslim mendengar sebuah surah dibacakan di dalam masjid, mereka
diingatkan kembali kepada semua ajaran inti keimanan mereka.
Ketika mulai berdakwah di Makkah, Muhammad hanya memiliki
konsep yang sangat sederhana tentang perannya. Dia tidak berpikir
bahwa dirinya tengah membangun sebuah agama universal, melainkan
keyakinan kuno yang mengajarkan keesaan Tuhan kepada orangorang
Quraisy. Pada mulanya dia bahkan tak pernah mengira harus
berdakwah kepada suku-suku Arab selain penduduk Makkah dan
sekitarnya.9 Dia tak pernah bermimpi akan membangun sebuah teokrasi
dan mungkin sama sekali tidak mengetahui apa teokrasi itu:
dia sendiri tak mesti memiliki fungsi politik di dalam pemerintahan,
kecuali sebagai seorang nadzir, pemberi peringatan.10 Allah telah
mengutusnya untuk memperingatkan kaum Quraisy tentang situasi
berbahaya yang tengah mereka hadapi. Akan tetapi, pesan awal
yang disampaikannya bukanlah tentang musibah dan bencana, melainkan
tentang harapan yang membahagiakan. Muhammad tidak harus
membuktikan eksistensi Tuhan kepada kaum Quraisy. Mereka secara
implisit telah beriman kepada Allah, yang menciptakan langit dan
bumi, dan kebanyakan dari mereka meyakininya sebagai Tuhan yang
disembah oleh orang Yahudi maupun Kristen. Keberadaannya telah
diterima begitu saja. Sebagaimana firman Tuhan kepada Muhammad
pada sebuah surah awal di dalam Al-Quran:
Dan sesungguhnyajika kamu tanyakan kepada mereka-. "Siapakah
yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan
bulan?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah, "maka betapakab mereka
(dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).
Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: "Siapakah
yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu
bumi sesudah matinya?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah, "tetapi
kebanyakan mereka tidak memahami-(nya).11
Persoalannya adalah, kaum Quraisy tidak memikirkan implikasi
kepercayaan mereka itu. Tuhan telah menciptakan mereka dari setetes
air mani, seperti dijelaskan oleh wahyu yang pertama diturunkan;
Keesaan: Tuhan Islam
197
Sejarah Tuhan
mereka bergantung kepada rezeki dan perlindungan dari Tuhan,
namun mereka masih menganggap diri sebagai pusat jagat raya
berdasarkan praduga yang tidak realistis (yatqa) dan rasa sombong
berlebihan (istaghna)12 tanpa memedulikan tanggung jawab mereka
sebagai anggota masyarakat Arab yang terhormat.
Oleh karena itu, semua ayat pertama Al-Quran menganjurkan
kaum Quraisy agar menyadari rahmat Tuhan yang dapat mereka
lihat ke mana pun mata mereka memandang. Mereka akan sadar
betapa banyak mereka masih berutang kepada Tuhan di tengah
kesuksesan besar yang telah mereka capai, dan akan mengapresiasi
kebergantungan mutlak mereka kepada Pencipta tatanan alam:
Binasalah manusia; alangkah amat sangat kekafirannya!
Dari apakah Allah menciptakannya?
Dari setetes mani, Allah menciptakannya lalu menentukannya. Kemudian
Dia memudahkan jalannya, kemudian Dia mematikannya dan
memasukkannya ke dalam kubur, kemudian bila Dia menghendaki,
Dia membangkitkannya kembali.
Sekali-kali jangan; manusia itu belum melaksanakan apa yang
diperintahkan Allah kepadanya.
Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya
Kami telah benar-benar mencurahkan air (dari langit), kemudian
Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan
biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran, zaitun danpohon
kurma, kebun-kebun yang lebat, dan buah-buahan serta rumputrumputan,
untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang
ternakmu.13
Oleh karena itu, yang jadi persoalan bukanlah pengakuan atas
keberadaan Tuhan. Di dalam Al-Quran, "orang yang ingkar" (kafir bi
ni'mah Allah) bukanlah orang ateis dalam pengertian yang lazim
kita pahami atas kata tersebut, yakni orang yang tidak percaya kepada
Tuhan, melainkan orang yang tidak bersyukur kepadanya, yang mampu
melihat dengan jelas apa yang telah dilimpahkan Allah kepadanya,
tetapi menolak untuk mengagungkannya dengan semangat pembangkangan
yang tak berterima kasih.
Al-Quran tidak mengajarkan sesuatu yang baru kepada kaum
Quraish. Bahkan, kitab itu dengan teguh mengklaim sebagai "pengingat"
akan hal-hal yang telah diketahui, yang diungkapkannya dengan
lebih jelas. Kadang-kadang Al-Quran membuka suatu topik dengan
198
Keesaan: Tuhan Islam
anak kalimat: "Apakah kalian tidak melihat ...?" atau "Apakah kalian
tidak berpikir ...?" Firman Tuhan tidak sekadar mengeluarkan perintahperintah
yang arbitrer dari atas, tetapi mengajak orang-orang Quraisy
untuk berdialog. Al-Quran, misalnya, memperingatkan mereka bahwa
Ka'bah, rumah Allah, sangat berpengaruh terhadap keberhasilan mereka
yang pada hakikatnya merupakan karunia Tuhan. Kaum Quraisy
senang menyelenggarakan thawaf mengelilingi tempat suci itu, tetapi
ketika mereka meletakkan diri dan keberhasilan material mereka
sendiri di pusat kehidupan, mereka lupa akan makna ritus-ritus kuno
ini. Mereka harus melihat "tanda-tanda" (ayat) rahmat dan kekuasaan
Tuhan di alam semesta. Jika mereka gagal mewujudkan kembali
rahmat Tuhan dalam masyarakat mereka sendiri, mereka takkan dapat
menangkap hakikat dari segala sesuatu. Oleh karena itu, para pengikut
Muhammad diperintahkan untuk menunaikan ibadah shalat.
Gerakan-gerakan eksternal ini akan membantu seorang Muslim menanamkan
sikap batin dan menetapkan kembali arah kehidupan mereka.
Agama Muhammad dikenal dengan nama islam, kepasrahan eksistensial
yang diharapkan untuk diberikan setiap Muslim kepada Allah:
seorang muslim adalah seseorang yang menyerahkan segenap dirinya
kepada Sang Pencipta. Kaum Quraisy terkejut ketika melihat umat
Muslim generasi pertama melakukan shalat: mereka tidak bisa
menerima bahwa anggota suku Quraisy yang selama berabad-abad
telah membanggakan independensi Badui harus tersungkur bersujud
di atas tanah seperti seorang budak. Hal ini mengakibatkan kaum
Muslim harus menarik diri ke lembah-lembah kecil tersembunyi di
sekitar kota untuk melaksanakan shalat secara rahasia. Reaksi kaum
Quraisy memperlihatkan bahwa Muhammad telah mendiagnosis spirit
mereka dengan sangat tepat.
Dalam praktiknya, islam berarti bahwa kaum Muslim memiliki
kewajiban untuk menciptakan masyarakat yang adil dan setara di
mana orang-orang miskin dan lemah diperlakukan secara layak. Pesan
moral Al-Quran yang pertama sederhana saja: janganlah menimbun
kekayaan dan mencari keuntungan bagi diri sendiri, tetapi bagilah
kemakmuran secara merata dengan menyedekahkan sebagian harta
kepada fakir miskin.14 Zakat dan shalat merupakan dua dari lima
rukun atau prinsip ajaran Islam. Seperti halnya nabi-nabi Ibrani,
Muhammad menyiarkan sebuah etika yang bisa kita sebut sosialis
sebagai konsekuensi dari penyembahan kepada satu Tuhan. Tak ada
doktrin-doktrin tentang Tuhan yang bersifat wajib: bahkan, Al-Quran
199
sangat mewaspadai spekulasi teologis, mengesampingkannya sebagai
zhanna, yaitu menduga-duga tentang sesuatu yang tak mungkin
diketahui atau dibuktikan oleh siapa pun. Doktrin Kristen tentang
Inkarnasi dan Trinitas tampaknya merupakan contoh pertama zhanna
dan tidak mengherankan jika umat Muslim memandang ajaran-ajaran
itu sebagai penghujatan. Sebaliknya, sebagaimana di dalam Yudaisme,
Tuhan dialami sebagai dorongan untuk menegakkan moral. Meskipun
hampir tak pernah berhubungan dengan orang Yahudi atau Nasrani
maupun kitab-kitab suci mereka, Muhammad telah langsung menerobos
ke dalam inti monoteisme historis.
Akan tetapi, di dalam Al-Quran, Allah tampil lebih impersonal
daripada YHWH. Dia tidak dicirikan oleh sedih dan senang seperti
Tuhan biblikal. Kita hanya mungkin memahami sesuatu mengenai
Tuhan melalui "tanda-tanda" alam, dan begitu transendennya Tuhan
sehingga kita hanya bisa membicarakannya melalui "perumpamaan."15
Oleh karena itu, Al-Quran berulang-ulang mengimbau kaum Muslim
untuk melihat alam sebagai penampakan Tuhan (epiphany); mereka
harus menggunakan upaya imajinatif untuk melihat melalui dunia
yang beraneka ini wujud asal yang utuh, realitas transenden yang
menapasi segala sesuatu. Kaum Muslim diajak untuk menumbuhkan
sikap sakramental atau simbolik:
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya
malam dan siang, bahtera yang berlayardi laut membawa apa yang
berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit
berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati
(kering)-nya, dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan
bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda [ayat] (keesaan dan kebesaran
Allah) bagi kaum yang memikirkan.16
Al-Quran selalu menekankan perlunya penggunaan akal dalam
menguraikan "tanda" atau "pesan" dari Tuhan. Kaum Muslim tidak
boleh merendahkan akal mereka, tetapi harus mengamati alam dengan
penuh perhatian dan keingintahuan. Sikap inilah yang membuat
umat Muslim generasi berikutnya mampu membangun tradisi ilmu
pengetahuan alam yang baik, yang tak pernah dianggap sebagai
ancaman terhadap agama sebagaimana yang terjadi di dunia Kristen.
Kajian tentang sistem kerja alam menunjukkan bahwa alam ini memiliki
dimensi dan sumber transenden, yang hanya dapat kita bicarakan
200
Sejarah Tuhan
Keesaan: Tuhan Islam
melalui tanda-tanda dan simbol-simbol: bahkan kisah para nabi, ajaran
tentang Hari Kiamat, dan kesenangan-kesenangan surgawi tidak boleh
diinterpretasikan secara harfiah, tetapi sebagai perumpamaan tentang
realitas yang lebih tinggi dan tak terlukiskan.
Namun, yang paling besar dari semua tanda adalah Al-Quran itu
sendiri: bahkan bagian-bagian terkecilnya yang disebut ayat. Orang
Barat memandang Al-Quran sebagai kitab yang sulit, dan ini terutama
berkaitan dengan masalah penerjemahan. Bahasa Arab memang sulit
dan terasa janggal ketika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris,
misalnya, dan lebih-lebih lagi karena Al-Quran yang memiliki gaya
bahasa padat, penuh kiasan, dan ungkapan-ungkapan yang tidak
langsung. Surah-surah pertama khususnya memberikan kesan bahwa
bahasa manusia tertatih-tatih dan kepayahan untuk menyampaikan
pesan ilahi, Kaum Muslim sering mengatakan bahwa ketika mereka
membaca terjemahan Al-Quran, mereka merasa seperti membaca
kitab yang berbeda karena tak ada lagi kandungan keindahan bahasa
Arabnya yang tersampaikan. Sebagaimana tersirat dari namanya, Al-
Quran ditujukan untuk dibaca dengan suara keras, dan pengaruh
yang timbul dari bunyi bahasa itu merupakan bagian penting dari
kitab suci ini. Kaum Muslim mengatakan bahwa tatkala mereka
mendengar Al-Quran dibacakan di masjid, mereka merasa dilingkupi
oleh suara yang berdimensi ilahiah, nyaris seperti Muhammad ketika
didekap oleh Jibril di Gua Hira atau ketika dia melihat malaikat memenuhi
seluruh penjuru ufuk. Al-Quran bukanlah sebuah kitab yang
dibaca sekadar untuk memperoleh informasi. Membaca Al-Quran
dimaksudkan untuk memetik rasa tentang yang ilahi, dan karenanya
tidak untuk dibaca dengan tergesa-gesa:
Dan demikianlah Kami menurunkan Al-Quran dalam bahasa Arab,
dan Kami telab menerangkan dengan berulang-ulang di dalamnya
sebagian dari ancaman, agar mereka bertakwa atau (agar) Al-Quran
itu menimbulkan pengajaran bagi mereka.
Maka Mahatinggi Allah Raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah
kamu tergesa-gesa membaca Al-Quran sebelum disempurnakan
mewahyukannya kepadamu, dan katakanlah: "Ya tuhanku, tambahkanlah
kepadaku ilmu pengetahuan."17
Dengan mendekati Al-Quran dalam cara yang benar, kaum Muslim
mengakui bahwa mereka betul-betul mengalami rasa transendensi,
tentang realitas dan kekuatan tertinggi di balik fenomena dunia fana
201
Sejarah Tuhan
yang rentan dan sementara. Oleh karena itu, membaca Al-Quran
merupakan latihan spiritual yang sukar dipahami oleh orang Kristen
karena mereka tak memiliki bahasa sakral seperti halnya orangorang
Yahudi, Hindu, dan Muslim. Yesuslah yang menjadi Firman
Tuhan, dan tak ada yang suci dalam Perjanjian Baru yang berbahasa
Yunani itu. Akan tetapi, orang Yahudi mempunyai sikap yang sama
terhadap Taurat. Tatkala mereka mengkaji lima kitab pertama dari
Alkitab, mereka tidak sekadar melayangkan pandangan ke halaman
demi halaman. Mereka sering melantunkan firman-firman itu dengan
suara keras, menikmati kata-kata yang diyakini telah diucapkan oleh
Tuhan sendiri ketika dia memperlihatkan dirinya kepada Musa di
Sinai. Kadangkala mereka berayun ke belakang dan ke depan, seperti
nyala api di depan embusan napas sang Ruh. Tak diragukan lagi
bahwa orang Yahudi yang membaca Alkitab mereka dengan cara
seperti ini memperoleh pengalaman yang berbeda tentang kitab
suci dibanding orang Kristen yang memandang Lima Kitab Musa
sebagai bagian yang membosankan dan tak jelas.
Para penulis biografi awal Muhammad sering menggambarkan
ketakjuban dan keterkejutan yang dialami orang-orang Arab ketika
mereka pertama kali mendengarkan Al-Quran. Banyak yang berpindah
agama seketika itu juga, karena percaya bahwa hanya Tuhanlah
yang bisa menyusun langgam bahasa dengan keindahan yang
menakjubkan itu. Sering pula seorang penganut baru menggambarkan
pengalaman itu sebagai rasukan ilahi yang mengalirkan kerinduan
terpendam dan membebaskan desakan-desakan perasaan. Demikianlah
pengakuan pemuda Quraisy, seperti Umar ibn Khattab yang
pernah menjadi musuh paling berbahaya bagi Muhammad; dia dahulunya
penyembah setia dewa-dewa paganisme kuno dan siap untuk
membunuh Nabi. Akan tetapi, tokoh Muslim yang bisa diibaratkan
sebagai Saulus dari Tarsus ini beralih agama bukan karena melihat
Yesus sang Firman, melainkan karena Al-Quran. Ada dua versi tentang
kisah konversi Umar, keduanya berharga untuk dicatat. Versi pertama
mengisahkan Umar mendapati saudara perempuannya, yang telah
masuk Islam secara diam-diam, tengah menyimak pembacaan sebuah
surah baru. "Omong kosong apa itu?" dia membentak dengan keras
sembari menyerbu masuk ke dalam rumah, dan mengempaskan
Fatimah yang malang ke tanah. Namun ketika dia melihat saudara
perempuannya berdarah, Umar mungkin merasa bersalah, raut wajahnya
berubah. Dia memungut naskah yang tak sengaja terjatuh karena
202
Keesaan: Tuhan Islam
takut dari tangan pembaca Al-Quran yang didatangkan Fatimah ke
rumah itu. Karena Umar termasuk di antara sedikit orang Quraisy
yang bisa baca-tulis, dia pun mulai membacanya. Umar diakui memiliki
autoritas dalam soal syair lisan bahasa Arab dan sering dimintai
pendapat oleh para penyair tentang makna yang tepat dari bahasa
itu, namun Umar belum pernah menjumpai sesuatu yang serupa dengan
Al-Quran. "Betapa agung dan indahnya kalimat ini!" dia berkata
dengan penuh rasa takjub, dan pada saat itu juga dia berpindah
menganut agama Allah.18
Keindahan kata-kata Al-Quran telah menembus kebencian dan
prasangka Umar ibn Khattab menuju pusat ketundukan yang belum
pernah disadarinya. Kita semua telah memiliki pengalaman yang
mirip, ketika sebuah puisi menyentuh rasa pengakuan yang berada
pada tingkat yang lebih dalam daripada akal. Dalam versi lain tentang
masuk Islamnya Umar, dikisahkan bahwa pada suatu malam dia
bertemu Muhammad di Ka'bah, yang tengah melantunkan Al-Quran
dengan suara perlahan di depan tempat suci itu. Karena merasa
ingin mendengarkan firman-firman itu, Umar menyelinap ke bawah
tirai yang menutupi bangunan kubus besar itu dan berjalan menyelinap
hingga akhirnya tiba persis di depan Nabi. Seperti yang dikatakannya,
"Tak ada sesuatu pun di antara kami berdua kecuali tirai penutup
Ka'bah"—tak ada yang melindungi dirinya kecuali satu itu. Kemudian
kekuatan gaib dari bahasa Arab itu mulai berpengaruh: "Ketika aku
mendengar Al-Quran, hatiku menjadi lembut sehingga aku menangis
dan kubiarkan Islam menyelinap memasuki jiwaku."19 Al-Quran
menjadikan Tuhan bukan sebuah realitas mahaperkasa yang berada
"jauh di luar sana". Al-Quran menghadirkan Tuhan di dalam pikiran,
hati, dan wujud setiap orang yang beriman (mukmin).
Pengalaman Umar dan umat Muslim lainnya yang tergugah untuk
menganut Islam karena Al-Quran mungkin bisa diperbandingkan
dengan pengalaman seni seperti yang diketengahkan oleh George
Steiner dalam bukunya Real Presences: Is There Anything in What We
Say? Steiner berbicara tentang apa yang disebutnya "penjalaran seni,
sastra, dan musik serius" yang "mempertanyakan privasi terjauh eksistensi
kita," invasi atau pewartaan yang menerobos ke dalam "relung
kecil wujud kita" dan memerintahkan kita "ubahlah kehidupanmu!"
Setelah panggilan itu, relung tersebut "tak lagi dapat dihuni dalam
cara yang sama seperti sebelumnya."20 Muslim seperti Umar tampaknya
mendapat pengalaman guncangan perasaan yang serupa, desakan
203
Sejarah Tuhan
yang membangunkan dan mengusik, yang memampukan mereka
menjalani keterputusan yang menyakitkan dengan tradisi masa lalu.
Bahkan orang-orang Quraisy yang telah menolak Islam tak luput
terguncang oleh Al-Quran dan menemukannya berada di luar semua
kategori yang telah mereka kenal: tak ada sama sekali bagian Al-Quran
yang mirip dengan inspirasi kahin atau penyair; juga sama sekali
berbeda dari jampi tukang sihir. Beberapa kisah menunjukkan orangorang
kuat Quraisy yang tetap bersikukuh dalam sikap menentang
tampak gemetar ketika mendengar pembacaan sebuah surah. Muhammad
seakan-akan telah menciptakan bentuk sastra baru yang belum siap
diterima oleh sebagian orang namun mengguncangkan sebagian lainnya.
Tanpa pengalaman tentang Al-Quran ini, hampir tidak mungkin
bagi Islam untuk dapat mengakar. Kita telah menyaksikan bahwa
orang Israel kuno membutuhkan waktu sekitar 700 tahun untuk memutuskan
keterikatan dengan keyakinan lama mereka dan menerima
monoteisme, tetapi Muhammad berhasil membantu orang Arab untuk
melalui transisi yang sulit ini hanya dalam waktu dua puluh tiga
tahun. Muhammad sebagai penyair dan nabi, dan Al-Quran sebagai
naskah dan teofani, sungguh merupakan keadaan yang dengan sangat
tepat mencontohkan konkurensi mendalam antara seni dan agama.
Dalam tahun-tahun pertama misi kenabiannya, Muhammad berhasil
menarik banyak pengikut dari generasi yang lebih muda, yang
telah dikecewakan oleh etos kapitalistik Makkah, serta dari kelompokkelompok
pinggiran dan tak beruntung, yang mencakup kaum wanita,
para budak, dan anggota suku-suku yang lebih lemah. Pada suatu
waktu, demikian sumber-sumber awal menyampaikan kepada kita,
kelihatan seakan-akan seluruh Makkah bersedia menerima agama
Allah yang baru diperkenalkan oleh Muhammad. Orang-orang kaya
yang sudah mapan, yang lebih dari sekadar senang dengan keadaan
status quo, sudah tentu bersikap tak peduli, namun tak ada perselisihan
resmi dengan kaum Quraisy hingga ketika Muhammad melarang
kaum Muslim untuk menyembah dewa-dewa pagan. Selama tiga
tahun pertama tampaknya Muhammad tidak menekankan kandungan
monoteistik dari risalahnya, dan orang-orang mungkin membayangkan
bahwa mereka dapat terus menyembah dewa Arab tradisional selain
Allah, sebagaimana yang biasa mereka lakukan. Namun, tatkala kultuskultus
kuno ini mulai dicela sebagai pemberhalaan, Muhammad kehilangan
banyak pengikutnya dan Islam kemudian menjadi keyakinan
minoritas yang dianggap rendah dan dibenci.
204
Keesaan: Tuhan Islam
Kita telah melihat bahwa kepercayaan kepada hanya satu Tuhan
menuntut perubahan kesadaran yang menyakitkan. Seperti halnya
orang-orang Kristen awal, kaum Muslim generasi pertama dituduh
sebagai penganut "ateisme" yang membahayakan masyarakat. Di
Makkah, di mana peradaban kota masih baru dan tentunya tampak
sebagai keberhasilan yang rentan bagi kaum Quraisy yang amat
bangga akan kecukupan dirinya, banyak yang merasakan ketakutan
dan kegelisahan yang sama seperti dirasakan penduduk Roma yang
pada awalnya menolak Kristen. Kaum Quraisy tampaknya merasa
keterputusan dengan dewa-dewa leluhur mereka sebagai ancaman
besar, dan tak lama kemudian nyawa Muhammad sendiri pun terancam.
Para sarjana Barat biasanya menghubungkan keterputusan yang
dialami kaum Quraisy ini dengan peristiwa fiktif Ayat-ayat Setan,
yang menjadi terkenal sejak kasus tragis Salman Rushdie.
Ada tiga sesembahan Arab kuno yang secara khusus disenangi
oleh orang-orang Arab Hijaz, yaitu Al-Lat (yang secara sederhana
berarti "Dewi") dan Al-Uzza (Yang Perkasa), masing-masing memiliki
kuil suci di Thaif dan Nakhlah, sebelah tenggara Makkah, dan Manat
(Sang Penentu), yang kuil sucinya bertempat di Qudaid, di pesisir
Laut Merah. Sesembahan ini tidak sepenuhnya dipersonalisasikan
seperti Juno atau Pallas Athene. Mereka sering disebut banat Allah,
yang arti harfiahnya Anak Perempuan Allah, tetapi tidak merupakan
sesembahan yang telah berkembang sepenuhnya. Orang Arab menggunakan
istilah kekeluargaan seperti itu untuk menyatakan suatu
hubungan yang abstrak: dengan demikian, banat al-dahr (harfiahnya
"putri-putri nasib") sekadar bermakna ketidakberuntungan atau pasang
surut kehidupan. Istilah banat Allah mungkin sekadar merujuk kepada
"wujud-wujud suci". Sesembahan ini tidak diwakili oleh patung yang
realistik di dalam kuil-kuil, tetapi oleh batu-batu besar yang berdiri
tegak, seperti yang terdapat di kalangan orang Kanaan kuno. Batu
itu tidak disembah oleh orang-orang Arab secara langsung, tetapi
hanya menjadi sebuah fokus keilahian. Seperti Makkah dengan
Ka'bahnya, kuil-kuil di Thaif, Nakhlah, dan Qudaid telah menjadi
lambang spiritual yang penting di dalam hati orang-orang Arab. Nenek
moyang mereka telah beribadah di sana sejak zaman antah-berantah,
dan ini mereka memberi rasa ketersambungan yang melegakan.
Kisah Ayat-ayat Setan tidak disebutkan di dalam Al-Quran maupun
sumber-sumber lisan dan tertulis yang terdahulu. Kisah ini juga tidak
tercantum di dalam Sirah Ibn Ishaq, biografi Nabi yang paling autoritatif,
205
Sejarah Tuhan
tetapi hanya ditemukan di dalam karya sejarahwan abad kesepuluh,
Abu Ja'far Al-Thabari (w. 923). Dia menceritakan kepada kita bahwa
Muhammad mengkhawatirkan keretakan hubungan yang terjadi antara
dirinya dengan sebagian besar anggota suku sejak dia melarang
pemujaan terhadap dewi-dewi mereka. Lalu, Muhammad mengucapkan
beberapa bait janggal yang mengizinkan banat Allah diagungkan
sebagai perantara, seperti halnya para malaikat. Dalam bait-bait
yang disebut sebagai "Ayat-ayat Setan" ini—karena konon diinspirasikan
oleh "setan"—ketiga dewi itu tidak dipandang setara dengan
Allah tetapi merupakan wujud spiritual lebih rendah yang bisa
memohon kepada Allah, atas nama manusia. Akan tetapi, Al-Thabari
kemudian berkata bahwa Jibril memperingatkan kepada Muhammad
bahwa bait-bait tersebut berasal dari setan dan harus dikeluarkan
dari Al-Quran untuk digantikan oleh ayat-ayat berikut ini yang menyatakan
bahwa banat Allah hanyalah proyeksi dan isapan jempol
imajinasi:
Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap
Al-Lata dan Al-Uzza, dan Manah yang ketiga, yang paling terkemudian
(sebagai anak perempuan Allah) ....
Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak
kamu mengadakannya; Allah tidak menurunkan satu keterangan
pun untuk (menyembah)-nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
sangkaan-sangkaan, dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka,
dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan
mereka.21
Ini adalah ayat-ayat yang paling radikal di antara semua ayat Al-
Quran yang mencela dewa-dewa pagan leluhur kaum Quraisy. Setelah
ayat ini dicantumkan di dalam Al-Quran maka tak ada lagi kesempatan
rekonsiliasi dengan kaum Quraisy. Mulai saat ini, Muhammad menjadi
seorang monoteis yang keras, dan syirk (secara harfiah berarti menyekutukan
Allah dengan sesuatu yang lain) menjadi dosa paling besar
dalam pandangan Islam.
Muhammad tidak memberi konsesi apa pun terhadap politeisme
dalam peristiwa Ayat-ayat Setan—kalaupun peristiwa ini memang
pernah terjadi. Juga tidak tepat untuk membayangkan bahwa keterlibatan
"setan" itu membuat Al-Quran untuk sesaat telah dinodai
oleh kejahatan: di dalam Islam, setan merupakan karakter yang lebih
206
Keesaan: Tuhan Islam
dapat dikendalikan dibandingkan dengan.di dalam Kristen. Al-Quran
menyatakan kepada kita bahwa setan-setan itu akan diampuni di
Hari Akhir, dan orang Arab sering menggunakan kata "syaithan"
untuk menyebut penggoda manusia atau godaan yang alamiah.22
Peristiwa itu bisa memberi indikasi tentang kesulitan yang tentu
dialami oleh Muhammad ketika dia berusaha menurunkan taraf pesan
suci yang tak terlukiskan ke dalam bahasa manusia: peristiwa itu dikaitkan
dengan ayat-ayat Al-Quran kanonikal yang menyatakan bahwa
sebagian besar nabi-nabi lain juga pernah melakukan kekeliruan
ucap yang serupa ketika menyampaikan pesan ilahi, namun Tuhan
selalu meluruskan kesalahan mereka dan menurunkan wahyu yang
baru dan lebih unggul sebagai penggantinya. Cara pandang alternatif
dan lebih sekular terhadap hal ini adalah dengan melihat bahwa
Muhammad merevisi karyanya di bawah bimbingan wawasan baru
tak ubahnya seperti seorang pekerja kreatif seni. Sumber-sumber itu
menunjukkan bahwa Muhammad secara mutlak menolak berkompromi
dengan kaum Quraisy dalam soal keberhalaan. Dia adalah seorang
yang pragmatis dan siap membuat konsesi dalam hal-hal yang
dianggapnya tidak esensial. Akan tetapi, setiap kali kaum Quraisy
memintanya untuk mengadopsi solusi yang memadukan tauhid dengan
pemberhalaan, membiarkan mereka menyembah dewa-dewa leluhur
mereka, sementara dia dan kaum Muslim menyembah Allah saja,
Muhammad dengan keras menolak usulan itu. Seperti yang difirmankan
di dalam Al-Quran: Aku tak akan menyembah apa yang kalian
sembah, dan kalian tak akan menyembah apa yang aku sembah ,..
bagimu agamamu dan bagiku agamaku/25 Kaum Muslim hanya akan
tunduk kepada Allah saja dan tidak akan menyerah kepada objekobjek
ibadat yang keliru—apakah itu dewa-dewa maupun nilai-nilai—
seperti dianjurkan oleh orang-orang Quraisy.
Persepsi tentang keunikan Tuhan merupakan basis moralitas Al-
Quran. Menyembah benda-benda material atau meletakkan kepercayaan
pada wujud yang lebih rendah adalah syirk (keberhalaan).
Al-Quran menumpahkan celaan terhadap dewa-dewa pagan dalam
cara yang sangat mirip dengan kitab suci Yahudi: dewa-dewa itu
sama sekali tak bisa berbuat apa-apa. Dewa-dewa itu tak mampu
memberikan makanan atau rezeki; tidak ada gunanya meletakkan
mereka sebagai pusat dalam kehidupan seseorang karena mereka
tidaklah berdaya. Sebaliknya, seorang Muslim juga harus yakin bahwa
Allah adalah Realitas Tertinggi dan Unik:
207
Sejarah Tuhan
Katakanlah: "Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada
pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan
Dia."24
Penganut Kristen seperti Athanasius juga berkeyakinan bahwa
hanya Sang Pencipta, sumber segala wujud, yang memiliki kekuatan
penebusan. Mereka telah mengungkapkan pandangan ini dalam
doktrin Trinitas dan Inkarnasi. Al-Quran kembali kepada gagasan
Semitik tentang ketunggalan ilahi dan menolak membayangkan bahwa
Tuhan dapat "memperanakkan" seorang putra. Tak ada Tuhan kecuali
Allah, Pencipta langit dan bumi. Hanya Allah yang dapat menyelamatkan
manusia dan menganugerahkan rezeki fisik maupun spiritual
yang dibutuhkan manusia. Hanya dengan mengakuinya sebagai Al-
Shamad, "Penyebab yang Tidak Disebabkan atas segala sesuatu,"
kaum Muslim dapat mencapai sebuah dimensi realitas yang melampaui
waktu dan sejarah, yang akan menghindarkan mereka dari perselisihan
kesukuan yang memecah-belah masyarakat. Muhammad
mengetahui bahwa monoteisme bertentangan dengan tribalisme: satu
Tuhan yang menjadi fokus semua peribadatan akan mempersatukan
masyarakat maupun individu.
Namun, tak ada pandangan tentang Tuhan yang simplistik. Tuhan
yang tunggal ini bukanlah suatu wujud seperti diri kita sendiri yang
dapat kita ketahui dan pahami. Frasa "Allahu Akbar" (Tuhan Mahabesar!),
yang menyeru kaum Muslim untuk melaksanakan shalat,
menekankan perbedaan Tuhan dengan semua realitas lain, juga antara
Tuhan dalam dirinya sendiri (Al-Dzat) dengan apa pun yang bisa
kita katakan tentang dia. Sungguhpun demikian, Tuhan yang tidak
bisa dipahami dan dijangkau ini telah berkehendak untuk membuat
dirinya diketahui. Di dalam sebuah hadis qudsi, Tuhan berfirman
kepada Muhammad: "Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi;
Aku ingin dikenal. Kemudian Aku ciptakan alam agar Aku bisa
dikenal."25 Dengan merenungkan tanda-tanda (ayat) alam dan ayatayat
Al-Quran, kaum Muslim dapat memperoleh kilasan aspek keilahian
yang telah dituangkan di alam semesta, yang oleh Al-Quran disebut
sebagai Wajah Allah (wajh Allah).
Seperti kedua agama yang lebih tua, Islam menekankan bahwa
kita hanya bisa melihat Tuhan melalui aktivitasnya, yang menyesuaikan
wujudnya yang tak terlukiskan itu dengan pemahaman kita yang
208
terbatas. Al-Quran memerintahkan kaum Muslim untuk menanamkan
kesadaran yang tak terputus tentang Wajah atau Zat Tuhan yang
melingkupi mereka dari semua sisi: Ke manapun engkau berpaling,
maka di sana akan ada Wajah Allah.26 Al-Quran memandang Tuhan
sebagai yang Mutlak, pemilik eksistensi sejati: Semua yang ada di
bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai
kebesaran dan kemuliaan.21 Di dalam Al-Quran, disebutkan
sembilan puluh sembilan nama atau sifat Tuhan. Ini menekankan
bahwa dia "lebih besar", sumber dari semua kualitas positif yang
kita jumpai di alam semesta. Dengan demikian, dunia menjadi ada
hanya karena dia adalah Al-Ghani (kaya dan tak terbatas); memberi
kehidupan (Al-Muhyi); mengetahui segala sesuatu (Al-'Alim), berbicara
(Al-Kalim); tanpa dia, karenanya, takkan ada kehidupan, pengetahuan,
atau kata-kata. Ini merupakan penegasan bahwa hanya Allah
yang memiliki eksistensi yang sejati dan nilai positif. Sungguhpun
demikian, tak jarang sifat-sifat itu kelihatannya seperti bertentangan
satu sama lain. Misalnya, Tuhan adalah Al-Qahhar, yang mendominasi
dan mematahkan tulang musuh-musuhnya, dan Al-Halim, yang sangat
melindungi; Dia adalah Al-Qabid, yang menyempitkan, dan Al-Basit,
yang melapangkan; Dia adalah Al-Khafidh, yang merendahkan, dan
Al-Rafi', yang mengagungkan. Nama-nama Tuhan memainkan peran
sentral dalam peribadatan Muslim: nama-nama itu dibaca, dihitung
pada bulir-bulir tasbih, dan diucapkan seperti mantra. Semua ini
mengingatkan kaum Muslim bahwa Tuhan yang mereka sembah
tidak bisa dicakup oleh kategori-kategori manusia dan mengelak
dari definisi yang sederhana.
Rukun Islam yang pertama adalah syahadat, pengakuan keimanan
seorang Muslim: "Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah
dan bahwa Muhammad utusan Allah." Ini bukan sekadar penegasan
atas eksistensi Tuhan tetapi sebuah pengakuan bahwa Allah merupakan
satu-satunya realitas sejati, satu-satunya bentuk eksistensi sejati.
Dia adalah satu-satunya realitas, keindahan, atau kesempurnaan sejati:
semua wujud yang terlihat ada dan memiliki sifat-sifat seperti ini
hanya meminjam keberadaan dan sifat tersebut dari wujud esensial
ini. Mengucapkan penegasan ini menuntut kaum Muslim untuk mengintegrasikan
kehidupan mereka dengan menjadikan Allah sebagai
fokus dan prioritas tunggal mereka. Penegasan tentang keesaan Allah
bukan sekadar penyangkalan atas kelayakan dewa-dewa, seperti
banat Allah untuk disembah.
209
Keesaan: Tuhan Islam
Sejarah Tuhan
Mengatakan bahwa Allah itu satu bukan sekadar sebuah definisi
numerik, melainkan seruan untuk menjadikan keesaan itu sebagai
faktor pengendali kehidupan individu dan masyarakat. Keesaan Tuhan
dapat terpantul dalam diri yang benar-benar terintegrasi. Akan tetapi,
keesaan ilahi juga menuntut kaum Muslim untuk menghargai aspirasi
keagamaan lain. Karena hanya ada satu Tuhan, maka semua agama
wahyu pasti berasal darinya. Kepercayaan pada Realitas tunggal
dan tertinggi bisa dikondisikan secara kultural dan diungkapkan oleh
masyarakat yang berbeda dengan cara-cara yang berbeda, tetapi
fokus semua peribadatan sejati harus diinspirasikan oleh, dan diarahkan
kepada, wujud yang oleh orang-orang Arab selalu disebut Allah.
Salah satu nama Tuhan yang disebutkan di dalam Al-Quran adalah
Al-Nur, cahaya. Dalam ayat-ayat yang terkenal ini, Tuhan adalah
sumber semua pengetahuan dan sarana yang melaluinya manusia
dapat menangkap kilasan tentang yang transenden:
Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan
cahaya Allah, adalah seperti [ka], sebuah lubang yang tak tembus,
yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan)
kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang
dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya,
(yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu)
dan tidak pula di sebelah baratnya, yang minyaknya (saja) hampirhampir
menerangi walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas
cahaya?28
Sisipan ka merupakan pengingat akan watak simbolik yang
mendasar dalam setiap pembicaraan Al-Quran tentang Tuhan. Al-
Nur, oleh karena itu, bukanlah Tuhan itu sendiri, tetapi merujuk
kepada pencerahan yang dikaruniakannya pada suatu wahyu khusus
(pelita) yang bersinar di hati seseorang (lubang). Cahaya itu sendiri
tidak bisa disamakan sepenuhnya dengan salah seorang pembawanya,
tetapi berlaku sama untuk semua. Sebagaimana ditafsirkan oleh para
mufasir Muslim sejak hari-hari awal Islam, cahaya merupakan simbol
yang sangat baik bagi Realitas ilahi, yang mentransendensi ruang
dan waktu. Citra pohon zaitun di dalam ayat ini telah ditafsirkan
sebagai perumpamaan bagi kesinambungan wahyu, yang tumbuh
dari satu "akar" dan bercabang menjadi berbagai pengalaman keagamaan
yang tidak bisa diidentifikasi atau dibatasi pada satu tradisi
atau lokasi tertentu: ia tidak berasal dari Timur maupun dari Barat.
210
Keesaan: Tuhan Islam
Ketika Waraqah ibn Naufal yang beragama Kristen itu telah
menyatakan bahwa Muhammad adalah seorang nabi sejati, baik dirinya
sendiri maupun Muhammad tidak berharap agar dia masuk Islam.
Muhammad tak pernah meminta orang Yahudi atau Kristen untuk
menganut agama Allah kecuali jika mereka sendiri yang betul-betul
menginginkannya, karena mereka telah memiliki kitab suci tersendiri
yang juga autentik. Al-Quran tidak memandang pewahyuan sebagai
pembatalan pesan-pesan dan pandangan-pandangan dari nabi terdahulu,
tetapi justru menekankan kesinambungan pengalaman keagamaan
umat manusia. Hal ini perlu ditegaskan karena toleransi bukanlah
suatu kebajikan yang oleh banyak orang Barat masa kini dirasakan
pantas untuk dinisbahkan kepada Islam. Namun sejak awal, cara
pandang kaum Muslim terhadap wahyu tidaklah seeksklusif pandangan
orang Yahudi atau Kristen. Sikap tidak toleran dalam Islam yang
banyak dicela orang pada masa kini tidak tumbuh dari visi yang
bersaing tentang Tuhan, tetapi dari sumber yang lain:29 kaum Muslim
tidak toleran terhadap ketidakadilan, apakah itu dilakukan oleh
pemimpin mereka sendiri—seperti Syah Muhammad Reza Pahlevi
dari Iran—atau oleh negara-negara kuat di Barat. Al-Quran tidak
mencela tradisi keagamaan lain sebagai hal yang keliru atau tidak
lengkap, tetapi menunjukkan bahwa setiap nabi baru selalu meneguhkan
dan melanjutkan pandangan para pendahulunya. Al-Quran
mengajarkan bahwa Tuhan telah mengirim para utusan kepada setiap
umat manusia di muka bumi: sebuah hadis menyebutkan adanya
124.000 nabi seperti itu, sebuah angka simbolik yang menunjukkan
ketakterbatasan. Al-Quran berulang-ulang menyatakan bahwa yang
disampaikannya bukanlah suatu risalah yang sama sekali baru dan
bahwa kaum Muslim harus menekankan keserumpunan mereka
dengan agama-agama yang lebih tua:
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan
cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di
antara mereka, dan katakanlah: "Kami beriman kepada (kitab-kitab)
yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu;
dan kami hanya kepada-Nya berserah diri."30
Secara alamiah, Al-Quran memilih nabi-nabi yang terkenal di
kalangan orang Arab—seperti Ibrahim, Nuh, Musa dan Isa, yang
juga merupakan nabi-nabi Yahudi dan Kristen. Dalam kitab ini juga
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR. 211 nurulkariem@yahoo.com
Sejarah Tuhan
disebutkan tentang Nabi Hud dan Saleh, yang telah diutus kepada
orang-orang Arab kuno Madian dan Tsamud. Kaum Muslim zaman
sekarang meyakini bahwa andaikan Muhammad telah mengenal
orang Hindu dan Buddha, tentu beliau akan memasukkan pula guruguru
religius mereka: setelah Nabi wafat mereka akan diberi kebebasan
beragama sepenuhnya di dalam imperium Islam, sebagaimana
yang berlaku bagi orang Yahudi dan Kristen. Berdasarkan prinsip
yang sama, kaum Muslim berpendapat, Al-Quran juga akan menghormati
para saman dan orang suci Indian Amerika atau orang Aborigin
Australia.
Keyakinan Muhammad akan kesinambungan pengalaman keagamaan
segera mendapat ujian. Setelah perpecahan dengan kaum
Quraisy, kehidupan menjadi sulit bagi umat Muslim di Makkah. Para
budak dan orang-orang merdeka yang tidak memiliki perlindungan
kesukuan harus menjalani siksaan berat sehingga sebagiannya menemui
ajal di bawah perlakuan itu. Klan Hasyim diboikot dari ketersediaan
pangan dalam upaya untuk membuat mereka tunduk. Dalam
masa pengucilan inilah Khadijah, istri tercinta Muhammad, meninggal
dunia. Akhirnya, nyawa Muhammad sendiri juga terancam. Kaum
pagan Arab di pemukiman utara Yatsrib mengundang kaum Muslim
untuk meninggalkan klan mereka dan beremigrasi ke sana. Ini benarbenar
merupakan langkah yang belum pernah diambil oleh seorang
Arab: suku telah menjadi nilai yang suci bagi orang Arab, penyeberangan
semacam itu dipandang melanggar prinsip yang mendasar.
Yatsrib sendiri telah tercabik-cabik oleh perang yang terus berkecamuk
di antara berbagai kelompok suku, dan banyak kaum pagan
yang siap menerima Islam sebagai solusi spiritual dan politik bagi
persoalan yang mereka hadapi. Tiga suku Yahudi yang besar di
pemukiman itu telah mempersiapkan pikiran kaum pagan untuk
menerima monoteisme. Ini berarti mereka tidak akan setersinggung
kaum Quraisy ketika dewa-dewa mereka direndahkan. Maka pada
musim panas tahun 622, sekitar tujuh puluh orang Muslim dan keluarga
mereka berangkat menuju Yatsrib.
Setahun sebelum hijrah ke Yatsrib (atau Madinah, Kota, sebagaimana
disebut oleh umat Muslim), Muhammad telah mengadaptasikan
agamanya agar menjadi lebih dekat kepada Yudaisme sebagaimana
yang dipahaminya. Setelah bertahun-tahun bekerja sendirian, dia
tentunya menanti kesempatan untuk hidup berdampingan dengan
para penganut tradisi yang lebih tua dan mapan. Kemudian kaum
212
Keesaan: Tuhan Islam
Muslim diperintahkan untuk berpuasa pada Hari Penebusan Dosa
bagi umat Yahudi. Orang Muslim dapat menikah dengan wanita
Yahudi dan harus mematuhi beberapa aturan tentang makanan. Di
atas semua itu, kaum Muslim kini shalat menghadap ke Yerusalem
sebagaimana kaum Yahudi dan Kristen. Orang Yahudi Madinah adalah
yang pertama bersedia memberikan kesempatan kepada Muhammad:
kehidupan di oase itu telah menjadi sangat berat, dan seperti kebanyakan
kaum pagan Madinah, mereka siap untuk memberi peluang
baginya, terutama karena beliau bersikap sangat positif terhadap
keyakinan mereka. Namun akhirnya, mereka beralih menentang
Muhammad dan bergabung dengan kaum pagan yang memusuhi
para pendatang baru dari Makkah itu. Kaum Yahudi memiliki alasan
keagamaan dalam penolakan mereka: mereka berkeyakinan bahwa
era kenabian telah berakhir. Mereka memang menanti seorang Mesias,
namun tidak seorang pun dari kalangan Yahudi maupun Kristen
pada tahap itu yang menduga bahwa sang Mesias itu adalah seorang
nabi. Selain itu, mereka juga dimotivasi oleh pertimbangan-pertimbangan
politik: di masa lalu mereka telah memegang kekuasaan di
oase itu dengan cara berpihak kepada salah satu suku Arab yang
tengah bertikai. Namun, Muhammad telah menggabungkan sukusuku
ini dengan kaum Quraisy untuk membentuk ummah Muslim
yang baru, sejenis suku-super yang di dalamnya orang Yahudi ikut
menjadi anggota. Begitu melihat posisi mereka mengalami kemunduran
di Madinah, orang-orang Yahudi mengambil sikap bermusuhan.
Mereka biasa berkumpul di masjid "untuk mendengarkan kisah-kisah
kaum Muslim sambil tertawa dan mengejek mereka."31 Sangat mudah
bagi mereka, dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi tentang
kitab suci, untuk menemukan celah-celah dalam kisah-kisah Al-
Quran—yang beberapa di antaranya sangat berbeda dari versi biblikal.
Mereka juga mencemooh kenabian Muhammad, mengatakan bahwa
sangatlah aneh jika seorang manusia yang mengaku nabi tidak mampu
menemukan untanya yang hilang.
Penolakan Yahudi terhadap Muhammad mungkin merupakan
kekecewaan terbesar dalam hidupnya, dan menempatkan seluruh
posisi keagamaannya dalam tanda tanya. Akan tetapi, sebagian Yahudi
bersikap bersahabat dan bergabung dengan umat Muslim secara
terhormat. Mereka mendiskusikan Alkitab dengan Muhammad dan
menunjukkan kepadanya bagaimana cara menangkis kritik orangorang
Yahudi lainnya. Pengetahuan baru tentang kitab suci ini juga
213
membantu Muhammad mengembangkan pandangan-pandangannya
sendiri. Untuk pertama kalinya Muhammad mempelajari kronologi
pasti para nabi, yang sebelumnya masih samar baginya. Kini, dia dapat
melihat pentingnya Ibrahim hidup sebelum era Musa atau Isa.
Sebelumnya Muhammad mungkin berpikir bahwa orang Yahudi dan
Kristen itu menganut satu agama yang sama, tetapi kini dia telah
belajar bahwa di antara mereka terdapat perbedaan pandangan yang
serius. Bagi pengamat luar seperti orang-orang Arab, tampaknya tak
banyak pilihan di antara kedua posisi itu, dan tampak masuk akal
pula untuk membayangkan bahwa pengikut Taurat dan Injil telah
memasukkan unsur-unsur yang tidak autentik ke dalam hanifiyyah—
agama murni Ibrahim—seperti Hukum Lisan yang dikembangkan
oleh para rabi dan doktrin Trinitas yang tak bisa diterima itu. Muhammad
juga belajar bahwa di dalam kitab suci mereka sendiri, bangsa Yahudi
disebut sebagai kaum yang tidak beriman, yang telah beralih kepada
keberhalaan dengan menyembah patung Lembu Emas. Polemik
tentang bangsa Yahudi di dalam Al-Quran cukup panjang lebar dan
memperlihatkan betapa kaum Muslim telah merasa terancam akibat
penolakan Yahudi ini, meskipun Al-Quran tetap mengajarkan bahwa
tidak semua "kaum yang menerima wahyu terdahulu"32 telah terjerumus
ke dalam kesesatan dan bahwa pada dasarnya semua agama
itu satu.
Dari orang-orang Yahudi Madinah yang bersikap bersahabat,
Muhammad juga belajar tentang kisah Ismail, putra sulung Ibrahim.
Di dalam Alkitab, Ibrahim mempunyai anak laki-laki dari selirnya
Hajar yang, ketika Sarah melahirkan Ishak, menjadi sangat cemburu
dan menuntut agar Ibrahim mengusir Hajar dan Ismail. Untuk menghibur
Ibrahim, Tuhan berjanji bahwa Ismail juga akan menjadi bapak
sebuah bangsa yang besar. Orang Yahudi Arab telah menambahkan
legenda-legenda lokal mereka sendiri kepada kisah itu dengan menyatakan
bahwa Ibrahim meninggalkan Hajar dan Ismail di lembah
Makkah, dan Tuhan memberi perlindungan kepada mereka di sana
dengan cara memancarkan mata air suci Zamzam ketika anak kecil
itu nyaris mati kehausan. Kemudian, Ibrahim mengunjungi Ismail
dan mereka berdua mendirikan Ka'bah, bangunan suci pertama bagi
Tuhan Yang Esa. Ismail telah menjadi bapak bangsa Arab, dan, seperti
halnya orang-orang Yahudi, mereka juga keturunan Ibrahim. Ini tentu
merupakan sesuatu yang menyenangkan untuk didengar oleh
Muhammad: setelah mempersembahkan kepada orang Arab kitab
214
Sejarah Tuhan
Keesaan: Tuhan Islam
suci dalam bahasa mereka sendiri, sekarang dia pun telah menemukan
akar keimanan mereka dalam keyakinan para leluhur.
Pada Januari 624, ketika semakin jelas bahwa permusuhan orang
Yahudi Madinah bersifat permanen, agama baru ini menegaskan
kemandiriannya. Kaum Muslim diperintahkan untuk melaksanakan
shalat dengan berkiblat ke Ka'bah, bukan lagi ke Yerusalem. Perubahan
arah kiblat shalat ini telah disebut sebagai langkah keagamaan
Muhammad yang paling kreatif. Dengan menghadapkan diri ke arah
Ka'bah, yang bebas dari pengaruh kedua wahyu terdahulu, kaum
Muslim secara tegas menyatakan bahwa mereka tidak beraliansi dengan
agama mana pun yang sudah ada sebelumnya, tetapi menyerahkan
diri mereka hanya kepada Allah semata. Mereka justru kembali
ke agama primordial Ibrahim, muslim pertama yang menyerahkan
diri kepada Allah dan mendirikan rumah sucinya:
Dan mereka berkata: "Hendaklah kamu menjadi penganut agama
Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk."Katakanlah:
"Tidak, bahkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus. Dan
bukanlah dia (Ibrahim) darigolongan orang musyrik."
Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah
dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan
kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak cucunya, dan apa
yang diberikan kepada Musa dan lsa serta apa yang diberikan kepada
nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorang
pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya."33
Sungguh adalah perbuatan syirk jika orang lebih memilih tafsiran
tentang kebenaran yang semata berasal dari manusia daripada Tuhan
itu sendiri.
Kaum Muslim menghitung awal kalender mereka tidak dari tahun
kelahiran Muhammad atau dari tahun turunnya wahyu pertama—
karena memang tak ada sesuatu yang baru dalam hal-hal ini—
melainkan dari tahun terjadinya peristiwa Hijrah (migrasi ke Madinah)
ketika kaum Muslim mulai menjalankan rencana ilahi dalam sejarah
dengan menjadikan Islam sebuah realitas politik. Kita telah menyaksikan
bahwa Al-Quran mengajarkan bahwa semua umat beragama
mengemban tugas menegakkan masyarakat yang adil dan merata,
dan kaum Muslim berupaya menjalankan panggilan politis ini dengan
sangat serius. Sejak awal Muhammad tidak pernah bermaksud menjadi
seorang pemimpin politik, tetapi kejadian-kejadian yang tak pernah
215
Sejarah Tuhan
terduga sebelumnya telah mendorongnya masuk ke dalam solusi
politik yang sepenuhnya baru bagi orang Arab. Selama sepuluh
tahun antara Hijrah hingga wafatnya pada tahun 632, Muhammad
dan kaum Muslim generasi pertama terlibat dalam pertempuran tragis
untuk bertahan melawan musuh-musuh di Madinah dan kaum Quraisy
di Makkah, yang semuanya begitu bernafsu untuk menghancurkan
ummah.
Di Barat, Muhammad sering ditampilkan sebagai panglima perang,
yang mendesakkan Islam kepada dunia yang enggan menerimanya
dengan kekuatan militer. Namun kenyataannya sungguh berbeda.
Muhammad berperang untuk mempertahankan nyawanya, sambil
mengembangkan sebuah teologi peperangan demi keadilan menurut
Al-Quran yang tentunya bisa disepakati kebanyakan orang Kristen,
dan tidak pernah memaksa siapa pun untuk berpindah ke agamanya.
Al-Quran pun dengan tegas menyatakan bahwa "tak ada paksaan
dalam beragama." Di dalam Al-Quran perang dipandang sebagai sesuatu
yang mesti dijauhi: satu-satunya perang yang diizinkan adalah
perang untuk mempertahankan diri. Kadangkala perang diperlukan
untuk menegakkan nilai-nilai yang pantas, sebagaimana orang Kristen
meyakini tentang perlunya perang melawan Hitler. Muhammad memiliki
bakat politik tingkat tinggi. Di akhir hayatnya, mayoritas sukusuku
Arab telah bergabung ke dalam ummah, meskipun, seperti yang
diketahui persis oleh Muhammad, islam mereka kebanyakan masih
bersifat nominal atau di permukaan saja. Pada tahun 630, Makkah
membuka pintu gerbangnya kepada Muhammad yang berhasil mengambil
alih kota itu tanpa pertumpahan darah. Pada tahun 632, beberapa
saat sebelum wafat, Muhammad melaksanakan apa yang disebutnya
Hujjatul Wada' (Haji Perpisahan). Dalam kesempatan itu, beliau
melakukan Islamisasi atas ritus hajj kaum pagan Arab kuno dan
menjadikan ziarah yang sangat disenangi orang-orang Arab ini sebagai
rukun Islam yang kelima.
Setiap Muslim berkewajiban melaksanakan ibadah haji setidaktidaknya
satu kali dalam seumur hidup jika mampu. Secara alamiah
para jamaah haji akan mengenang Muhammad, tetapi ritus-ritus itu
telah ditafsirkan untuk mengingatkan mereka kembali kepada Ibrahim,
Hajar, dan Ismail daripada Nabi mereka sendiri. Meski kelihatan
ganjil bagi orang luar—seperti halnya ritus religius dan sosial asing
lainnya—ritus ini mampu membangkitkan pengalaman keagamaan
yang kuat dan dengan sempurna mengekspresikan aspek-aspek
216
Keesaan: Tuhan Islam
komunal dan personal dari spiritualitas Islam. Pada masa sekarang,
banyak di antara jamaah haji yang berkumpul pada waktu tertentu di
Makkah bukanlah orang Arab, namun mereka telah mampu mengubah
upacara Arab kuno itu menjadi tradisi mereka sendiri. Ketika
berkumpul di Ka'bah, mengenakan pakaian ihram yang menghilangkan
semua perbedaan ras atau kelas sosial, mereka merasa terbebas
dari jerat egoistik kehidupan sehari-hari dan menyatu di dalam sebuah
komunitas yang memiliki satu fokus dan orientasi. Mereka bersamasama
menggemakan: "Aku memenuhi panggilan-Mu, Ya Allah,"
sebelum berthawaf mengelilingi bangunan suci itu. Makna esensial
dari ritus ini dipaparkan dengan baik oleh Ali Syari'ati, filosof Iran
kontemporer:
Tatkala berthawaf dan bergerak mendekati Ka'bah, engkau akan
merasa bagaikan anak sungai yang bergabung dengan sebuah sungai
besar. Dihanyutkan ombak, kautak bisa menyentuh tanah. Engkau tibatiba
mengambang, terbawa oleh arus itu. Ketika semakin mendekat
ke pusat, tekanan dari keramaian orang mendesak begitu kuat sehingga
engkau seakan-akan diberi sebuah kehidupan baru. Kini engkau menjadi
bagian dari Orang Banyak; kini engkau adalah seorang Manusia, hidup
dan abadi ... Ka'bah adalah mentari dunia yang wajahnya menarik
engkau masuk ke dalam orbitnya. Engkau telah menjadi bagian dari
sistem universal ini. Dengan berthawaf mengelilingi Allah, engkau akan
segera terlupa pada did sendiri ... Engkau telah berubah menjadi
partikel yang perlahan-lahan lebur dan sirna. Ini adalah puncak cinta
absolut.34
Orang Yahudi dan Kristen juga telah menekankan spiritualitas
komunitas. Ibadah haji menawarkan kepada setiap individu Muslim
pengalaman integrasi personal dalam konteks ummah, dengan Tuhan
sebagai porosnya. Seperti dalam kebanyakan agama, perdamaian
dan keselarasan merupakan tema-tema ziarah yang penting, dan
ketika jamaah haji memasuki tempat suci itu, kekerasan dalam berbagai
bentuknya dilarang. Jamaah haji bahkan tidak diperbolehkan membunuh
serangga atau mengucapkan kata yang kasar. Oleh sebab itu,
seluruh Dunia Islam merasa terkejut ketika pada musim haji tahun
1987, jamaah dari Iran menyulut kerusuhan sehingga 402 orang
terbunuh dan 649 orang luka-luka.
Muhammad wafat secara tiba-tiba setelah menderita sakit yang
tidak lama pada tahun 632. Setelah wafatnya, beberapa orang Badui
217
berusaha melepaskan diri dari ummah, tetapi kesatuan politik di
Arabia tetap terjaga. Akhirnya, suku-suku yang keras kepala pun
menerima agama Tuhan yang satu: keberhasilan Muhammad yang
menakjubkan itu telah menunjukkan kepada orang-orang Arab bahwa
paganisme yang telah melayani mereka dengan baik selama berabadabad
sudah tidak sesuai lagi untuk dunia modern. Agama Allah memperkenalkan
etos kasih sayang yang merupakan ciri agama yang
lebih maju: persaudaraan dan keadilan sosial merupakan kebajikan
yang diutamakannya. Egalitarianisme yang kuat akan senantiasa mencirikan
cita-cita Islam.
Dalam masa kehidupan Muhammad, cita-cita ini juga mencakup
persamaan gender. Pada zaman sekarang telah menjadi kecenderungan
umum di Barat untuk menggambarkan Islam sebagai agama yang
secara inheren bersifat misoginis, tetapi, sebagaimana Kristen, agama
Allah pada dasarnya berpandangan positif terhadap perempuan. Pada
masa jahiliah, periode pra-Islam, bangsa Arab telah melestarikan
sikap terhadap perempuan yang telah berlaku sejak sebelum Zaman
Kapak. Poligami, misalnya, menjadi kelaziman, dan istri-istri tetap
tinggal di rumah bapaknya. Kaum wanita elit memiliki kekuasaan
dan prestise yang besar—istri pertama Muhammad, Khadijah, misalnya,
adalah pedagang yang berhasil—tetapi mayoritas memiliki kedudukan
yang setara dengan budak; mereka tak memiliki hak politik
maupun hak asasi, dan pembunuhan bayi perempuan berlaku di
mana-mana. Kaum wanita termasuk di antara para pengikut awal
Muhammad, dan emansipasi mereka menjadi proyek yang diprioritaskannya.
Al-Quran secara tegas melarang pembunuhan anak-anak
perempuan dan mencela orang-orang Arab yang bersedih jika mendapat
anak perempuan. Al-Quran juga memberikan perempuan hakhak
hukum dalam soal warisan dan perceraian: kebanyakan wanita
Barat tak memiliki sesuatu yang setara dengan ini hingga abad
kesembilan belas.
Muhammad mendorong wanita untuk berperan aktif dalam urusanurusan
ummah. Mereka berani mengungkapkan pendapat, karena
yakin bahwa suara mereka akan diperhatikan. Dalam suatu kesempatan,
misalnya, kaum wanita Madinah pernah mengeluh kepada
Nabi bahwa kaum pria melebihi mereka dalam mempelajari Al-
Quran dan meminta beliau untuk membantu mereka mengejar ketertinggalan
itu. Ini dipenuhi oleh Muhammad. Salah satu pertanyaan
mereka yang paling penting adalah mengapa Al-Quran hanya
218
Sejarah Tuhan
Keesaan: Tuhan Islam
menyapa kaum pria saja padahal wanita juga taat kepada Tuhan.
Hasilnya adalah turunnya wahyu yang menyapa kaum wanita seperti
halnya kaum pria dan menekankan persamaan moral dan spiritual
kedua jenis itu.35 Sejak itu Al-Quran cukup sering menyapa kaum
wanita secara eksplisit, sesuatu yang jarang terjadi di dalam kitab
suci Yahudi maupun Nasrani.
Sayangnya, sebagaimana yang terjadi pada Kristen, agama kemudian
dibajak oleh kaum pria yang menafsirkan teks-teks itu dengan
cara yang berpandangan negatif terhadap kaum wanita. Al-Quran
tidak menetapkan hijab kecuali atas istri Muhammad, sebagai penanda
atas status mereka. Akan tetapi, begitu Islam menempati posisinya
di dalam dunia berperadaban, kaum Muslim mengadopsi adat Oikumene
yang menempatkan kaum wanita pada status warga kelas dua.
Mereka mengadopsi kebiasaan Persia dan Kristen Byzantium untuk
menutup wajah kaum wanita dan mengurung mereka di dalam harem.
Dengan cara ini kaum wanita menjadi terpinggirkan. Pada masa kekhalifahan
Abbasiyah (750-1258), kedudukan kaum wanita Muslim
menjadi sama jeleknya dengan rekan-rekan mereka di kalangan masyarakat
Yahudi dan Kristen. Pada masa sekarang, para feminis Muslim
menuntut kaum pria untuk kembali kepada semangat asli Al-Quran.
Ini mengingatkan kita bahwa, seperti agama-agama lain, Islam
dapat ditafsirkan ke dalam sejumlah cara yang berbeda; akibatnya
berkembanglah berbagai sekte dan aliran. Yang pertama di antaranya
—yakni antara Sunnah dan Syiah—terbentuk dalam persaingan memperebutkan
kepemimpinan politik setelah mangkatnya Muhammad
yang terjadi secara tiba-tiba itu. Abu Bakar, sahabat dekat Muhammad,
mendapat dukungan mayoritas, namun sebagian orang yakin bahwa
sebenarnya Nabi sendiri telah menghendaki Ali ibn Abi Thalib, saudara
sepupu dan menantunya, untuk menjadi penggantinya (khalifah).
Ali sendiri menerima kepemimpinan Abu Bakar, tetapi selama beberapa
tahun kemudian dia tampaknya telah menjadi fokus kesetiaan
orang-orang yang tidak menyetujui kebijakan tiga khalifah pertama:
Abu Bakar, Umar ibn Khattab, dan Usman ibn Affan. Akhirnya Ali
menjadi khalifah keempat pada tahun 656: orang Syiah menyebutnya
Imam atau Pemimpin pertama ummah.
Karena menyangkut soal kepemimpinan, perpecahan Sunni dan
Syii lebih bersifat politik ketimbang doktrinal, dan ini menandai
makna penting politik di dalam Islam, termasuk konsepsinya tentang
Tuhan. Syiah Ali (para pengikut Ali) tetap menjadi minoritas dan
219
Sejarah Tuhan
mengembangkan keteguhan menentang, ditipologikan oleh figur
tragis Husain ibn Ali, cucu Muhammad, yang menolak mengakui
Bani Umayah (yang merebut tampuk kekhalifahan setelah wafatnya
Ali ibn Abi Thalib). Husain dibunuh bersama dengan sejumlah kecil
pendukungnya oleh khalifah Yazid pada tahun 680 di Padang Karbala,
dekat Kufah di wilayah Irak modern. Semua umat Muslim menganggap
pembunuhan tak bermoral atas Husain ini sebagai horor yang
menakutkan. Husain menjadi pahlawan di kalangan Syiah dan pengingat
akan perlunya menentang tirani sekalipun hingga mengurbankan
nyawa. Pada masa itu, kaum Muslim telah mulai mendirikan imperium
mereka. Empat khalifah pertama telah memusatkan perhatian pada
penyebaran Islam ke imperium Persia dan Byzantium yang kala itu
tengah mengalami kemunduran. Baru kemudian di bawah pemerintahan
Umayah, ekspansi berlanjut hingga mencapai'kawasan Asia dan
Afrika Utara. Ekspansi itu kini tidak saja diilhami oleh agama, tetapi
juga oleh semangat imperialisme Arab.
Tak seorang pun di dalam imperium baru itu dipaksa menganut
Islam; bahkan, selama satu abad setelah wafatnya Muhammad,
perpindahan agama tidak terlalu diupayakan dan, sekitar tahun 700,
justru dilarang secara hukum: kaum Muslim pada saat itu berkeyakinan
bahwa Islam diturunkan hanya untuk orang Arab, seperti halnya
Yudaisme hanya untuk anak-anak Yakub. Sebagai Ahli Kitab, orang
Yahudi dan Kristen diberi kebebasan beragama sebagai dzimmi,
kelompok minoritas yang dilindungi. Ketika khalifah Abbasiyah mulai
mengupayakan perpindahan agama, banyak orang Semit dan Aria
yang hidup di dalam imperium bersemangat menerima agama baru
itu. Keberhasilan ini bagi Islam sama formatifnya dengan penyaliban
Yesus di dalam Kristen.
Politik bukanlah sesuatu yang berada di luar kehidupan keagamaan
pribadi seorang Muslim, seperti dalam Kristen yang menaruh
curiga terhadap kesuksesan duniawi. Kaum Muslim memandang diri
mereka berkewajiban untuk mewujudkan masyarakat yang adil sesuai
dengan kehendak Tuhan. Ummah memiliki makna sakramental
sebagai "tanda" bahwa Tuhan telah merahmati upaya membebaskan
manusia dari penindasan dan ketidakadilan; kesehatan politik ummah
dalam spiritualitas kaum Muslim menempati posisi yang hampir sama
dengan suatu pilihan teologis (Katolik, Protestan, Metodis, Baptis)
dalam kehidupan seorang Kristen. Jika orang Kristen merasa aneh
dengan pandangan politik Muslim, mereka mesti.sadar bahwa
220
Keesaan: Tuhan Islam
kegemaran mereka untuk terlibat dalam perdebatan teologis yang
musykil kelihatan sama anehnya menurut pandangan orang Yahudi
dan Muslim.
Oleh karena itu, pada tahun-tahun awal sejarah Islam, spekulasi
tentang kodrat Tuhan sering lahir dari perbincangan politik tentang
kekhalifahan dan kekuasaan. Perdebatan intelektual tentang siapa
dan bagaimana seseorang harus memimpin ummah merupakan perdebatan
penting dalam Islam yang dapat disetarakan dengan perdebatan
soal manusia Yesus dan hakikatnya di dalam Kristen. Setelah
periode empat khalifah pertama, kaum Muslim menyadari bahwa
kini mereka hidup di dunia yang sangat berbeda dari masyarakat
Madinah yang kecil dan terus-terusan berperang itu. Kini mereka
adalah penguasa di sebuah imperium yang terus berkembang, dan
pemimpin-pemimpin mereka tampak termotivasi oleh keduniaan
dan ketamakan. Para aristokrat dan penghuni istana hidup dalam
kemewahan dan korupsi, sangat berbeda dari kehidupan sederhana
yang dijalani Nabi dan para Sahabatnya. Kaum Muslim yang paling
saleh menentang pihak penguasa dengan pesan sosialis Al-Quran
dan berupaya menjadikan Islam tetap relevan dengan kondisi baru
itu. Berbagai paham dan sekte-sekte yang berbeda bermunculan.
Solusi yang paling populer ditawarkan oleh para fuqaha dan
ahli hadis yang berupaya untuk kembali kepada idealisme Muhammad
dan khulafa' al-rasyidun. Ini mengakibatkan pembentukan hukum
syariat, undang-undang serupa Taurat yang didasarkan pada Al-Quran
serta kehidupan dan ucapan Nabi. Pada saat itu telah beredar sejumlah
besar tradisi lisan tentang ucapan (Hadis) dan perbuatan (Sunnah)
Muhammad dan para Sahabatnya. Tradisi-tradisi ini telah dikumpulkan
selama abad kedelapan dan kesembilan oleh sejumlah editor. Yang
paling terkemuka di antara mereka adalah Ismail Al-Bukhari dan
Muslim ibn Al-Hijjaj Al-Qusyairi. Karena Muhammad diyakini telah
berserah diri secara sempurna kepada Allah, dia menjadi teladan dalam
kehidupan sehari-hari kaum Muslim. Meneladani cara Muhammad
berbicara, mencintai, makan, membersihkan diri, dan beribadah, dapat
membantu kaum Muslim untuk menjalani kehidupan yang peka
terhadap keilahian. Dengan menjalani hidup seperti Nabi, mereka
berharap untuk mencapai ketundukan batin Nabi kepada Allah. Maka
ketika seorang Muslim mengikuti sunnah dengan saling mengucapkan
"Assalamu'alaikum" (semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu)
sebagaimana yang biasa dilakukan Nabi, ketika mereka bersikap
221
baik terhadap binatang, menyantuni anak yatim dan fakir miskin,
berbuat baik dan jujur dalam pergaulan mereka dengan orang lain
sebagai tindakan yang meneladani Nabi, mereka menjadi ingat kepada
Allah. Tindakan lahiriah ini tidak dipandang sebagai tujuan akhir,
melainkan hanya sebagai sarana untuk mencapai takwa, "kesadaran
akan Allah" yang diterangkan dalam Al-Quran dan dijalani oleh Nabi,
berupa ingatan yang tak henti-hentinya kepada Tuhan (zikir). Banyak
perdebatan di sekitar kesahihan Sunnah dan Hadis: sebagian di antaranya
dianggap lebih autentik daripada yang lain. Akan tetapi, sesungguhnya
persoalan keabsahan historis dapat dikesampingkan jika
dihadapkan dengan fakta betapa efektifnya tradisi-tradisi itu, yang
telah terbukti mampu menghadirkan rasa sakramental tentang yang
ilahi dalam kehidupan jutaan umat Muslim selama berabad-abad.
Hadis atau kumpulan ajaran Nabi selain berkenaan dengan persoalan
sehari-hari, juga menyangkut persoalan metafisika, kosmologi,
dan teologi. Sebagian dari ajaran ini diyakini merupakan firman Tuhan
sendiri kepada Muhammad (hadis qudsi). Hadis qudsi menekankan
kedekatan dan kehadiran Tuhan di dalam diri seorang yang beriman.
Salah satu hadis terkenal, misalnya, menguraikan tahapan-tahapan
pemahaman seorang Muslim tentang kehadiran ilahi yang seolah
hampir berinkarnasi dalam dirinya: dimulai dengan menaati perintahperintah
Al-Quran dan syariat, lalu meningkat ke arah amal baik
yang dilakukan secara sukarela:
Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan
(mengamalkan) apa yang paling Aku sukai dari yang Kuwajibkan
kepadanya. Dan tidaklah seorang hamba-Ku selalu mendekatkan
dirinya kepada-Ku dengan (mengamalkan) perbuatan-perbuatan
yang dianjurkan terkecuali Aku akan mencintainya. Maka jika Aku
mencintainya, Aku akan menjadi telinganya (yang dipergunakannya)
untuk mendengar, matanya untuk melihat, tangannya untuk
memegang, dan kakinya untuk berjalan.36
Sebagaimana dalam Yudaisme dan Kristen, Tuhan yang transenden
juga merupakan kehadiran imanen yang dapat ditemukan di dunia.
Seorang Muslim dapat menanamkan rasa kehadiran ilahi ini melalui
cara-cara yang sangat mirip dengan yang ditemukan oleh kedua
agama yang lebih tua itu.
Seorang Muslim yang menegakkan kesalehan berdasarkan teladan
Muhammad secara umum disebut sebagai ahl al-hadits, kaum
222
Sejarah Tuhan
Keesaan: Tuhan Islam
tradisionis. Mereka menarik bagi orang awam karena etika mereka
yang sangat egalitarian. Mereka menentang kemewahan pemerintahan
Dinasti Umayah dan Abbasiyah, tetapi bukan dalam bentuk taktiktaktik
revolusioner Syiah. Mereka tidak percaya bahwa khalifah
haruslah seorang yang memiliki kualitas spiritual yang luar biasa:
khalifah hanyalah seorang administrator pemerintahan. Sungguhpun
demikian, dengan menekankan kesucian Al-Quran dan Sunnah, setiap
Muslim memiliki sarana untuk berhubungan langsung dengan Tuhan
dan berpotensi untuk menjadi sangat kritis terhadap kekuatan absolut.
Tak dibutuhkan kasta pendeta untuk bertindak sebagai perantara.
Setiap Muslim bertanggung jawab di hadapan Tuhan atas nasib dan
peruntungannya sendiri.
Di atas segalanya, kaum tradisionis mengajarkan bahwa Al-Quran
adalah sebuah realitas abadi, seperti halnya Taurat atau Logos, yang
dalam beberapa hal menyangkut Tuhan itu sendiri; realitas itu telah
bersemayam di dalam pikirannya jauh sebekim waktu berawal.
Doktrin mereka tentang ketakterciptaan Al-Quran mengandung
pengertian bahwa ketika kitab itu dibaca, umat Muslim bisa secara
langsung mendengar Tuhan Yang Mahagaib. Al-Quran mewakili
kehadiran Tuhan di tengah-tengah mereka. Firmannya berada di
bibir mereka pada saat mereka membaca kata-kata suci di dalam
kitab itu, dan ketika mereka memegang mushaf Al-Quran, mereka
seakan-akan menyentuh kesucian itu sendiri. Orang Kristen terdahulu
memiliki gagasan tentang manusia Yesus dalam cara yang sama:
Apa yang telah ada sejak semula,
yang telah kami dengar,
yang telah kami lihat dengan mata kami,
yang telah kami saksikan
dan yang telah kami raba dengan tangan kami
tentang Firman hidup—
itulah yang kami tuliskan kepada kamu.37
Pembahasan tentang status pasti Yesus, sang Firman, telah sangat
menyibukkan orang Kristen. Kini kaum Muslim pun mulai memperdebatkan
sifat Al-Quran: dalam pengertian yang bagaimana naskah
berbahasa Arab itu menjadi Firman Tuhan? Sebagian Muslim memandang
pengagungan Al-Quran sebagai sesuatu yang berlebihan seperti
halnya kelompok Kristen yang tidak bisa menerima gagasan bahwa
Yesus adalah inkarnasi Logos.
223
Sejarah Tuhan
Akan tetapi, Syiah secara perlahan-lahan mengembangkan gagasan
yang lebih dekat kepada konsep Inkarnasi Kristen. Setelah kematian
Husain yang tragis, orang Syiah semakin yakin bahwa hanya
keturunan ayah Husain, yakni Ali ibn Abi Thalib, yang mesti memimpin
ummah, dan mereka menjadi sekte yang semakin terlihat jelas
di dalam Islam. Sebagai sepupu dan menantunya, Ali memiliki hubungan
darah ganda dengan Muhammad. Karena tidak seorang pun dari
putra Muhammad yang bertahan hidup, Ali menjadi kerabat laki-laki
utamanya. Di dalam Al-Quran, Nabi sering memohonkan rahmat
bagi keturunannya. Orang Syiah memperluas pengertian tentang
rahmat suci ini dan berkeyakinan bahwa hanya anggota keluarga
Nabi melalui garis keluarga Ali saja yang memiliki pengetahuan
('ilm) sejati tentang Tuhan. Hanya mereka yang mampu memberikan
bimbingan suci kepada ummah. Jika seorang keturunan Ali berkuasa,
kaum Muslim dapat berharap akan menapaki zaman keemasan bagi
keadilan dan ummah akan dibimbing sesuai dengan kehendak Tuhan.
Antusiasme terhadap pribadi Ali berkembang dalam cara yang
mengejutkan. Beberapa kelompok Syiah radikal meninggikan Ali
dan keturunannya ke tingkat yang bahkan lebih tinggi daripada
Muhammad sendiri dan memberi mereka status semi-ilahiah. Mereka
mengambil tradisi Persia kuno mengenai keluarga pilihan keturunandewa
yang akan mewarisi kemuliaan suci dari satu generasi ke
generasi. Menjelang akhir periode Umayah, sebagian orang Syiah
mulai berkeyakinan bahwa 'ilm yang autoritatif hanya dapat ditemukan
dalam satu garis keturunan Ali tertentu. Kaum Muslim hanya
mungkin mendapati pribadi yang dipilih oleh Tuhan sebagai imam
(pemimpin) sejati bagi ummah di dalam keluarga ini. Apakah pribadi
itu berkuasa secara politis atau tidak, bimbingannya tetap dibutuhkan
secara mutlak sehingga setiap Muslim berkewajiban untuk mencarinya
dan menerima kepemimpinannya. Karena imam-imam ini dipandang
sebagai sumber perpecahan, para khalifah menganggap mereka
musuh negara: menurut kaum Syiah, sebagian dari imam itu diracuni
dan sebagian lainnya terpaksa menyembunyikan diri. Ketika seorang
imam wafat, dia akan memilih satu di antara keturunannya untuk
menerima warisan 'ilm. Lambat laun, para imam itu dipuja sebagai
avatar ilahi: masing-masing mereka menjadi "bukti" (hujjah) kehadiran
Tuhan di bumi dan, dalam pengertian yang misterius, membuat
yang ilahi berinkarnasi di dalam diri manusia. Kata-katanya, keputusan
dan perintah-perintahnya berasal dari Tuhan. Sebagaimana orang
224
Keesaan: Tuhan Islam
Kristen memandang Yesus sebagai Jalan, Kebenaran, dan Cahaya
yang bisa membimbing manusia menuju Tuhan, orang Syiah memuja
imam-imam mereka sebagai Gerbang (bab) menuju Tuhan, Jalan
(sabil), dan Pembimbing setiap generasi.
Berbagai aliran Syiah mengurai silsilah suci itu secara berbedabeda.
Syiah Dua Belas Imam, misalnya, memuliakan dua belas
keturunan Ali lewat garis Husain, hingga pada tahun 939, imam
terakhir bersembunyi dan menghilang dari masyarakat; tak ada lagi
keturunan setelah dia, sehingga garis itu pun terputus. Syiah Ismailiyah,
yang dikenal pula sebagai Syiah Tujuh, meyakini bahwa imam
ketujuh dalam garis inilah yang merupakan imam terakhir. Paham
tentang Al-Mahdi muncul di kalangan Syiah Dua Belas yang meyakini
bahwa imam kedua belas atau imam yang gaib itu akan kembali
untuk menahbiskan zaman kegemilangan. Ini merupakan gagasan
yang berbahaya. Bukan hanya subversif secara polilis, tetapi gagasan
ini cenderung untuk ditafsirkan secara kasar dan gampangan. Oleh
karena itu, kalangan Syiah yang lebih ekstrem mengembangkan tradisi
esoterik berdasarkan penafsiran simbolik terhadap Al-Quran, seperti
yang akan kita saksikan pada bab mendatang. Keyakinan mereka
terlalu musykil bagi mayoritas Muslim, yang tidak dapat menerima
gagasan tentang inkarnasi, sehingga Syiah biasanya terdapat di
kalangan kelas yang lebih aristokratis dan intelektual. Sejak revolusi
Iran, orang Barat cenderung melihat Syiah sebagai sekte Islam yang
secara inheren bersifat fundamentalis. Ini penilaian yang tidak akurat.
Syiah telah berkembang menjadi tradisi yang canggih. Sesungguhnya,
Syiah memiliki banyak kesamaan dengan kaum Muslim yang secara
sistematik berupaya mengaplikasikan argumen-argumen rasional terhadap
Al-Quran. Kaum rasionalis ini, yang dikenal sebagai Mu'tazilah,
membentuk kelompok tersendiri; mereka juga memiliki komitmen
politik yang teguh: seperti kaum Syiah, orang-orang Mu'tazilah sangat
kritis terhadap gaya hidup mewah para penguasa dan sering aktif
secara politis menentang kemapanan.
Persoalan politik mengilhami perdebatan teologis tentang pengaturan
Tuhan atas urusan-urusan manusia. Para pendukung Dinasti
Umayah secara tidak jujur mengklaim bahwa perilaku tidak Islami
mereka bukan merupakan kesalahan mereka, melainkan karena Tuhan
telah menakdirkan mereka untuk menjadi jenis manusia yang demikian.
Al-Quran memiliki konsepsi yang sangat kukuh tentang kemahakuasaan
Tuhan, dan banyak teks yang bisa dipakai untuk mendukung
225
Sejarah Tuhan
pandangan predestinasi ini. Namun, Al-Quran secara seimbang menekankan
tentang tanggung jawab manusia: Sesungguhnya, Tuhan tidak
akan mengubah keadaan mereka kecuali mereka mengubahnya
sendiri. Oleh karena itu, para pengkritik kelompok penguasa menekankan
kehendak bebas dan tanggung jawab moral. Penganut
Mu'tazilah mengambil jalan tengah dan melepaskan diri (i'tazala)
dari posisi ekstrem. Mereka membela kehendak bebas dengan tujuan
memelihara watak etis manusia. Seorang Muslim yang meyakini bahwa
Tuhan berada di atas pandangan manusia tentang benar dan salah
berarti tidak mempercayai keadilannya. Tuhan yang melanggar semua
prinsip yang masuk akal hanya karena dia adalah Tuhan justru lebih
parah daripada seorang khalifah tiran. Sebagaimana kaum Syiah,
Mu'tazilah juga menyatakan bahwa keadilan adalah esensi Tuhan:
dia tidak dapat menzalimi seseorang; dia tidak dapat melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan akal.
Di sini mereka memasuki perbedaan pendapat dengan kaum
tradisionis yang berpandangan bahwa dengan menjadikan manusia
sebagai penentu dan pencipta perbuatannya sendiri maka orangorang
Mu'tazilah telah merendahkan kekuasaan Tuhan. Mereka
menuduh kaum Mu'tazilah telah menjadikan Tuhan terlalu rasional
dan sangat mirip dengan seorang manusia. Kelompok tradisionis
menganut doktrin predestinasi dengan maksud menekankan kodrat
Tuhan yang secara esensial tidak bisa dipahami: kalau kita mengklaim
dapat memahaminya, tentu itu bukanlah Tuhan tetapi sekadar proyeksi
pikiran manusia. Tuhan melampaui segala pandangan manusia tentang
kebaikan maupun kejahatan dan tidak terikat pada standar-standar
dan harapan kita: suatu tindakan dikatakan jahat atau tidak adil karena
Tuhan telah memutuskannya demikian, bukan karena nilai-nilai
manusia memiliki dimensi transenden yang juga berlaku pada Tuhan.
Kaum Mu'tazilah keliru menyatakan bahwa keadilan, yang sepenuhnya
merupakan idealisme manusia, merupakan esensi Tuhan.
Persoalan predestinasi dan kehendak bebas, yang juga menjadi
perdebatan di kalangan Kristen, memperlihatkan kesulitan utama
dalam gagasan tentang Tuhan yang personal. Tuhan yang impersonal,
semacam Brahman, dapat lebih mudah dikatakan berada di atas
kategori "baik" atau "buruk", yang dipandang sebagai cadar bagi
keilahian yang tak terpahamkan. Namun, konsepsi tentang Tuhan
yang secara misterius merupakan pribadi yang terlibat dalam sejarah
manusia membuat dirinya terbuka untuk dikritik. Terlalu mudah untuk
226
Keesaan: Tuhan Islam
menjadikan "Tuhan" ini sebagai tiran atau hakim atas seluruh kehidupan
dan membuat "dia" memenuhi harapan-harapan kita. Kita bisa
mengubah "Tuhan" menjadi pendukung Partai Republik, sosialis,
rasis, atau revolusioner, sesuai pandangan pribadi kita. Bahaya semacam
ini telah membuat sebagian orang memandang Tuhan personal
sebagai ide yang tidak agamis, karena hanya akan membenamkan
kita dalam prasangka dan pemutlakan ide-ide manusia.
Untuk menghindarkan bahaya ini, kaum tradisionis berpegang
pada pembedaan yang telah lama dikenal, yang juga pernah dipakai
oleh orang Yahudi maupun Kristen, antara esensi dan aktivitas Tuhan.
Mereka mengklaim bahwa sebagian dari sifat-sifat yang membuat
Tuhan yang transenden berhubungan dengan dunia—seperti berkuasa,
mengetahui, berkehendak, mendengar, melihat, berkata-kata,
yang semuanya diatributkan kepada Allah di dalam Al-Quran—sudah
ada bersamanya sejak semula dalam cara yang sama, seperti Al-
Quran yang bukan makhluk itu. Atribut-atribut itu berbeda dari esensi
Tuhan yang tidak bisa diketahui, yang akan selalu luput dari pemahaman
kita. Persis seperti yang dibayangkan oleh orang Yahudi
bahwa Hikmat Tuhan atau Taurat telah ada bersama Tuhan sejak
sebelum awal waktu, kaum Muslim kini mengembangkan gagasan
yang mirip untuk mengajarkan personalitas Tuhan dan untuk mengingatkan
kaum Muslim bahwa Tuhan tidak mungkin seutuhnya tercakup
oleh akal manusia.
Sekiranya khalifah Al-Ma'mun (813-832) tidak berpihak kepada
kaum Mu'tazilah dan berusaha menjadikan gagasan mereka sebagai
doktrin resmi umat Muslim, argumen yang musykil ini mungkin hanya
akan berpengaruh terhadap sedikit orang saja. Akan tetapi, ketika
khalifah itu mulai menyiksa kelompok tradisionis untuk memaksakan
teologi Mu'tazilah, orang awam dibuat ketakutan oleh sikap tidak
Islami ini. Ahmad ibn Hanbal (780-855), seorang tradisionis terkemuka
yang berhasil menyelamatkan diri dari inkuisisi Al-Ma'mun, menjadi
tokoh yang populer. Kesalehan dan karismanya—dia pernah berdoa
untuk para penyiksanya—menimbulkan tantangan terhadap kekhalifahan,
dan keyakinannya bahwa Al-Quran bukan makhluk telah
menjadi slogan bagi pemberontakan massal menentang rasionalisme
Mu'tazilah.
Ibn Hanbal tidak menyetujui diskusi rasional mengenai Tuhan.
Maka ketika tokoh Mu'tazilah moderat, Al-Huayan Al-Karabisi (w.
859), mengajukan sebuah solusi damai—bahwa Al-Quran sebagai
227
Sejarah Tuhan
firman Tuhan memang bukan makhluk, namun ketika dibaca oleh
manusia maka ia menjadi makhluk—Ibn Hanbal mencela doktrin itu.
Al-Karabisi siap untuk mengubah pandangannya, dan menyatakan
bahwa Al-Quran berbahasa Arab yang tertulis dan diucapkan adalah
bukan makhluk hanya sejauh ia menjadi bagian dari ucapan Allah
yang abadi. Akan tetapi, Ibn Hanbal menyatakan bahwa ini juga
tidak sah karena tidak berfaedah dan sangat riskan untuk berspekulasi
mengenai watak Al-Quran dalam cara rasionalistik seperti itu. Akal
bukanlah alat yang memadai untuk menyingkapkan rahasia Tuhan.
Dia menuduh Mu'tazilah telah menanggalkan misteri Tuhan dan
menjadikannya sekadar rumusan abstrak yang tak memiliki nilai
religius. Ketika Al-Quran menggunakan istilah yang antropomorfis
untuk menjelaskan aktivitas Tuhan di dunia atau ketika dikatakan
bahwa Tuhan "berbicara", "melihat" dan "duduk di atas singgasananya",
Ibn Hanbal berpendapat bahwa hal itu harus diinterpretasikan
secara harfiah tetapi "tanpa bertanya bagaimana" (bila kayfa). Ibn
Hanbal mungkin bisa diperbandingkan dengan orang Kristen radikal
semacam Athanasius, yang bersikeras dengan interpretasi ekstrem
atas doktrin Inkarnasi menentang pemikiran yang lebih rasional. Ibn
Hanbal selalu menekankan ketaktercerapan kodrat ilahi, yang memang
berada di luar jangkauan semua analisis logis dan konseptual.
Sungguhpun demikian, Al-Quran senantiasa menekankan pentingnya
akal dan penalaran, dan posisi Ibn Hanbal terlihat agak terlalu
lugu. Banyak umat Muslim memandang posisi itu sebagai penyimpangan
dan obskurantis. Jalan kompromi ditemukan oleh Abu Al-
Hasan ibn Ismail Al-Asy'ari (878-941). Sebelumnya, dia adalah penganut
Mu'tazilah tetapi beralih kepada tradisionisme berdasarkan mimpi
bertemu Nabi yang memerintahkannya untuk mempelajari hadis. Al-
Asy'ari lalu melangkah ke titik ekstrem lainnya, menjadi pengikut
tradisionis yang antusias, menentang Mu'tazilah dan menganggapnya
sebagai bahaya laten bagi Islam. Kemudian dia bermimpi lagi melihat
Nabi Muhammad bersikap agak marah dan berkata: "Aku tidak memerintahkanmu
meninggalkan argumen rasional tetapi supaya menggunakannya
untuk mendukung hadis shahih!38
Setelah itu, Al-Asy'ari memakai teknik-teknik rasionalis Mu'tazilah
untuk mendukung Ibn Hanbal. Pada saat orang Mu'tazilah mengklaim
bahwa wahyu Tuhan tak mungkin tidak bisa dinalar, Al-Asy'ari menggunakan
nalar dan logika untuk membuktikan bahwa Tuhan berada
di luar jangkauan penalaran kita. Orang Mu'tazilah bisa terjerumus
228
Keesaan: Tuhan Islam
mereduksi Tuhan ke dalam konsep yang koheren tetapi kering; Al-
Asy'ari ingin kembali kepada konsepsi ketuhanan yang utuh di dalam
Al-Quran meskipun tidak konsisten. Bahkan, sebagaimana Denys
Aeropagite, dia percaya bahwa paradoks justru akan meningkatkan
apresiasi kita terhadap Tuhan. Dia menolak mereduksi Tuhan ke
dalam konsep yang dapat didiskusikan dan dianalisis sebagaimana
gagasan manusia yang lain. Sifat-sifat Tuhan, seperti mengetahui,
berkuasa, hidup, dan sebagainya, adalah real; sifat-sifat itu telah ada
pada Tuhan sejak semula. Namun sifat-sifat itu berbeda dari hakikat
Tuhan, karena Tuhan pada esensinya adalah satu, sederhana, dan
unik. Dia tidak bisa dipandang sebagai suatu wujud yang kompleks
karena dia merupakan simplisitas itu sendiri; kita tidak bisa menganalisisnya
dengan cara mendefinisikan berbagai sifatnya atau menguraikannya
ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil. Al-Asy'ari menolak
setiap usaha untuk memecahkan paradoks itu: oleh karena itu, dia
bersikeras bahwa ketika Al-Quran menyatakan Tuhan "duduk di
atas singgasananya", kita harus menerima itu sebagai sebuah fakta
meskipun berada di luar pemahaman kita untuk mengonsepsikan
bagaimana Tuhan itu "duduk".
Al-Asy'ari mencoba menemukan jalan tengah antara obskurantisme
yang ceroboh dan rasionalisme yang ekstrem. Beberapa kaum literalis
mengatakan bahwa jika orang-orang yang diridai akan melihat Tuhan
di surga, seperti dinyatakan oleh Al-Quran, maka tentulah Tuhan
memiliki penampakan fisikal. Hisyam ibn Hakim melangkah lebih
jauh dengan menyatakan bahwa:
Allah mempunyai tubuh, dimensi-dimensi yang setara, tertentu, luas,
tinggi dan panjang, memancarkan cahaya, berukuran luas dalam tiga
dimensinya, di suatu tempat di luar tempat, seperti sebatang emas
murni, bersinar dari segala sisinya seperti mutiara bulat, memiliki warna,
rasa, aroma, dan sentuhan.39
Sebagian kalangan Syiah menerima pandangan semacam itu
karena kepercayaan mereka bahwa para imam merupakan inkarnasi
ilahi. Kaum Mu'tazilah berpendirian bahwa ketika Al-Quran berbicara
tentang tangan Tuhan, misalnya, maka ini harus ditafsirkan secara
kiasan sebagai merujuk kepada kebaikan dan kemurahannya. Al-Asy'ari
menentang kaum literalis dengan membuktikan bahwa Al-Quran
mengatakan kita hanya dapat berbicara tentang Tuhan dalam bahasa
simbolik. Akan tetapi, dia juga menentang penolakan mentah-mentah
229
Sejarah Tuhan
kaum tradisionis terhadap akal. Dia berpendapat bahwa Muhammad
tak pernah menghadapi persoalan semacam ini, kalau tidak tentu
dia akan memberikan petunjuk kepada umat Muslim; oleh karena
itu, semua Muslim berkewajiban menggunakan perangkat penafsiran
seperti analogi (qiyas) untuk memperoleh konsep ketuhanan yang
betul-betul religius.
Al-Asy'ari senantiasa mengupayakan posisi kompromistik, maka
dia pun berpendapat bahwa Al-Quran itu qadim dan merupakan
Firman Allah yang bukan makhluk, tetapi tinta, kertas, dan kata-kata
berbahasa Arab dari naskah itu adalah makhluk. Dia mencela doktrin
kehendak bebas dari Mu'tazilah, karena hanya Tuhanlah "pencipta"
perbuatan-perbuatan manusia, tetapi dia juga menentang pandangan
aliran tradisionis yang menyatakan bahwa manusia sama sekali tidak
bisa berkontribusi terhadap keselamatan diri mereka. Solusi Al-Asy'ari
agak berbelit-belit: Tuhan menciptakan perbuatan manusia, tetapi
mengizinkan manusia untuk mendapat pujian atau kecaman atas
perbuatan itu. Namun, tidak seperti Ibn Hanbal, Al-Asy'ari telah
bersiap untuk mengajukan pertanyaan dan menggali persoalanpersoalan
metafisika, walaupun pada akhirnya dia menyimpulkan
bahwa adalah keliru untuk berusaha memasukkan realitas misterius
dan tak terlukiskan yang kita sebut Tuhan itu ke dalam suatu sistem
koheren dan rasionalistik.
Al-Asy'ari telah membangun tradisi kalam (secara harfiah berarti
"kata" atau "pembahasan"), yang biasanya diterjemahkan sebagai
"teologi". Murid-muridnya pada abad kesepuluh dan kesebelas memperbaiki
metodologi kalam dan mengembangkan gagasan-gagasannya
lebih lanjut. Para pengikut Al-Asy'ari generasi awal ingin merancang
bingkai metafisika bagi suatu diskusi yang sahih tentang kekuasaan
Tuhan. Teolog terkemuka pertama dari aliran Asy'ariah adalah Abu
Bakr Al-Baqillani (w. 1013). Dalam risalahnya Al-Tauhid, dia sependapat
dengan Mu'tazilah bahwa manusia dapat membuktikan eksistensi
Tuhan secara logis melalui argumen-argumen rasional: bahkan
Al-Quran sendiri memperlihatkan bagaimana Ibrahim menemukan
Pencipta yang abadi melalui perenungan sistematik tentang alam.
Akan tetapi, Al-Baqillani menolak kemungkinan bahwa kita dapat
membedakan antara kebaikan dan kejahatan tanpa wahyu, karena
hal-hal semacam itu bukanlah kategori-kategori alamiah melainkan
telah diputuskan oleh Tuhan: Allah tidak bisa dibatasi oleh pandangan
kemanusiaan tentang baik dan buruk.
230
Keesaan: Tuhan Islam
Al-Baqillani mengembangkan sebuah teori yang dikenal sebagai
"atomisme" atau "okasionalisme" yang berupaya menemukan alasan
metafisikal bagi pengakuan keimanan seorang Muslim: bahwa tak
ada tuhan, tak ada realitas atau kepastian selain Allah. Dia mengklaim
bahwa segala yang ada di dunia secara mutlak bergantung kepada
perhatian langsung dari Tuhan. Seluruh alam direduksi kepada atomatom
individual yang tak terbilang jumlahnya; waktu dan ruang bersifat
diskontinu dan tak ada yang memiliki identitas spesifik bagi dirinya.
Alam fenomenal oleh Baqillani direduksi menjadi ketiadaan dengan
cara yang sama radikalnya dengan yang ditempuh oleh Athanasius.
Hanya Tuhan yang memiliki realitas, dan hanya dia yang dapat
membebaskan kita dari ketiadaan. Dialah yang menjaga keberlangsungan
alam semesta dan menganugerahkan eksistensi kepada
makhluk-Nya di setiap saat. Tak ada hukum alam yang menjelaskan
keberlangsungan kosmos. Walaupun kaum Muslim lainnya membuat
kemajuan besar dalam bidang sains, aliran Asy'ariah secara fundamental
justru bertentangan dengan ilmu alam, namun tetap memiliki
relevansi keagamaan. Asy'ariah merupakan upaya metafisikal untuk
menjelaskan kehadiran Tuhan dalam setiap perincian kehidupan sehari-
hari dan menjadi pengingat bahwa keimanan tidak tergantung
pada logika biasa. Jika digunakan sebagai sebuah disiplin, bukannya
pandangan faktual tentang realitas, penjelasan itu dapat membantu
kaum Muslim untuk mengembangkan kesadaran berketuhanan seperti
yang telah dijelaskan Al-Quran. Kelemahannya terletak pada penolakannya
atas bukti ilmiah dan interpretasinya yang terlalu harfiah
terhadap sikap religius yang pada dasarnya tak bisa dijelaskan. Paham
ini bisa mengakibatkan ketidakseimbangan antara cara pandang
seorang Muslim tentang Tuhan dengan caranya melihat persoalanpersoalan
lain. Baik kaum Mu'tazilah maupun Asy'ariah telah
berupaya, dalam cara yang berbeda, untuk mengaitkan pengalaman
keagamaan tentang Tuhan dengan penalaran rasional biasa. Hal ini
memang penting. Kaum Muslim mencoba menemukan apakah mungkin
berbicara tentang Tuhan seperti kita mendisklisikan persoalanpersoalan
lain. Telah kita saksikan bahwa orang Yunani telah tiba
pada keputusan bahwa jawabannya adalah tidak dan bahwa diam
merupakan satu-satunya bentuk teologi yang memadai. Pada akhirnya,
kebanyakan umat Muslim tiba pada kesimpulan yang sama.
Muhammad dan para Sahabatnya hidup dalam masyarakat yang
lebih primitif dibandingkan dengan masyarakat pada masa Al-Baqillani.
231
232
Impenum Islam telah tersebar ke dunia berperadaban, sehingga
kaum Muslim harus berhadapan dengan cara pandang tentang Tuhan
dan dunia yang secara intelektual memang lebih canggih. Muhammad
secara instingtif telah mengalami kembali perjumpaan orang Ibrani
kuno dengan yang ilahi, sedangkan generasi berikutnya harus menjalani
sebagian persoalan yang telah dijumpai oleh gereja-gereja Kristen.
Beberapa di antara mereka bahkan berpaling kepada teologi Inkarnasi,
sekalipun Al-Quran telah mencela sikap orang-orang Kristen
menuhankan Yesus. Perjalanan Islam telah memperlihatkan bahwa
gagasan tentang Tuhan yang transenden, namun personal cenderung
memunculkan jenis persoalan yang sama dan mengarah pada bentuk
pemecahan yang sama pula.
Eksperimen kalam telah membuktikan bahwa meskipun mungkin
untuk menggunakan metode-metode rasional untuk memperlihatkan
bahwa secara rasional "Tuhan" memang tidak bisa dijangkau oleh
akal, kenyataan ini tetap sulit diterima oleh sebagian Muslim. Kalam
tak pernah menjadi sepenting teologi di kalangan Kristen Barat.
Khalifah-khalifah Abbasiyah yang mendukung Mu'tazilah menemukan
bahwa mereka tidak mungkin memaksakan doktrin-doktrinnya kepada
kaum beriman. Rasionalisme terus mempengaruhi pemikir-pemikir
selanjutnya selama abad pertengahan, tetapi tetap merupakan kelompok
minoritas, dan kebanyakan Muslim tidak menaruh kepercayaan
pada usaha semacam itu. Sebagaimana Kristen dan Yahudi, Islam
lahir dari pengalaman Semitik, tetapi bertemu dengan rasionalisme
Yunani di pusat-pusat kebudayaan Helenis Timur Tengah. Sebagian
Muslim yang lain mengupayakan proses Helenisasi yang bahkan
lebih radikal terhadap konsepsi ketuhanan Islam dan memperkenalkan
unsur filosofis baru ke dalam ketiga agama monoteistik. Yudaisme,
Kristen, dan Islam akhirnya tiba pada kesimpulan yang berbeda,
tetapi sangat signifikan tentang keabsahan filsafat dan relevansinya
dengan misteri Tuhan. []
Sejarah Tuhan
Tuhan Para Filosof
Pada abad kesembilan orang Arab mulai bersentuhan dengan
sains dan filsafat Yunani. Hubungan ini membuahkan hasil
berupa kemajuan kultural yang, menurut orang Eropa, dapat
dilihat sebagai penghubung antara zaman Renaisans dan zaman
Pencerahan. Sebuah tim penerjemah, kebanyakan beranggotakan
orang Kristen Nestorian, menerjemahkan naskah-naskah Yunani ke
dalam bahasa Arab dan berhasil melaksanakan pekerjaan yang brilian.
Kaum Muslim Arab kini bisa mempelajari astronomi, kimia, kedokteran
dan matematika dengan sangat gemilang sehingga selama abad kesembilan
dan kesepuluh, dalam era pemerintahan Dinasti Abbasiyah,
mereka menghasilkan berbagai penemuan ilmiah yang mengungguli
periode sejarah mana pun sebelumnya.
Sejenis kelompok Muslim baru pun lahir, yang mengabdikan
diri kepada gagasan yang disebut falsafah (filsafat). Kata ini biasanya
diterjemahkan sebagai "filsafat", tetapi memiliki makna yang lebih
luas dan kaya: Seperti philosophes Prancis abad kedelapan, para
faylasuf (filosof) ingin hidup secara rasional sesuai hukum-hukum
yang mereka yakini mengatur kosmos, yang bisa dicermati pada
Kata faylasuf dan falsafah dipertahankan penulisannya untuk membedakan filsafat Islam
dengan filsafat lainnya. Untuk lebih jelasnya lihat Glosarium tentang definisi faylasuf
dan falsafah—peny.
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.
nurulkariem@yahoo.com
233
MR. Collection's
a
Sejarah Tuhan
setiap tingkatan realitas. Pada awalnya, mereka memusatkan perhatian
kepada ilmu-ilmu alam, namun kemudian, secara tak terelakkan,
mereka beralih kepada metafisika Yunani dan berupaya menerapkan
prinsip-prinsipnya ke dalam Islam. Mereka yakin bahwa Tuhan para
filosof Yunani identik dengan Allah. Orang Kristen Yunani juga telah
merasakan afinitas dengan Helenisme, tetapi menetapkan bahwa
Tuhan orang Yunani harus dimodifikasi oleh Tuhan Alkitab yang
lebih paradoksikal. Akhirnya, seperti akan kita lihat, mereka memalingkan
diri dari tradisi filsafat mereka sendiri karena meyakini bahwa
akal dan logika tidak banyak berkontribusi bagi kajian tentang Tuhan.
Namun, para faylasuf tiba pada kesimpulan yang berlawanan: mereka
percaya bahwa rasionalisme mempersembahkan bentuk agama yang
paling maju dan telah mengembangkan pandangan yang lebih tinggi.
tentang Tuhan daripada yang diwahyukan di dalam kitab suci.
Pada masa sekarang, orang secara umum memandang sains dan
filsafat sebagai dua hal yang bertentangan dengan agama. Akan
tetapi, para faylasuf biasanya adalah orang-orang saleh dan memandang
diri mereka sebagai putra-putra setia Nabi. Sebagai Muslim
yang baik, mereka sadar politik, tidak menyenangi gaya hidup mewah
kaum penguasa, dan ingin memperbarui masyarakat sesuai dengan
akal sehat. Mereka mengupayakan sesuatu yang penting: karena
studi ilmiah dan filosofis mereka didominasi oleh pemikiran Yunani,
mereka perlu menemukan keterkaitan antara iman mereka dan pandangan
yang lebih rasionalistik dan objektif ini. Sangatlah tidak tepat
untuk menurunkan Tuhan ke tingkat kategori intelektual tersendiri
dan memandang keimanan berada pada lingkup yang terpisah dari
persoalan kemanusiaan lainnya. Para faylasuf tidak bermaksud menghapuskan
agama, melainkan ingin menyucikannya dari apa yang
mereka pandang sebagai unsur-unsur primitif dan parokial. Mereka
tidak punya keraguan tentang keberadaan Tuhan—tetapi merasa
bahwa hal ini perlu dibuktikan secara logis untuk memperlihatkan
bahwa Allah selaras dengan nilai rasionalistik yang mereka pegang.
Akan tetapi, di sini terdapat beberapa persoalan. Kita telah melihat
bahwa Tuhan menurut para filosof Yunani sangat berbeda dari Tuhan
menurut wahyu: Tuhan Aristoteles atau Plotinus tak berwaktu dan
tak bergeming; dia tidak menaruh perhatian terhadap kejadian-kejadian
duniawi, tidak mewahyukan dirinya di dalam sejarah, tidak pernah
menciptakan alam, dan tidak akan mengadili di Hari Kiamat. Bahkan
sejarah, teofani utama menurut keyakinan monoteistik, telah disisihkan
234
Tuhan Para Filosof
oleh Aristoteles sebagai bidang kajian yang lebih rendah dibandingkan
filsafat. Tak ada awal, tengah, atau akhir, karena kosmos memancar
secara abadi dari Tuhan. Para faylasuf ingin melampaui sejarah, yang
sekadar ilusi, untuk menyingkap dunia ilahiah yang ideal dan tak
berubah. Meski ada penekanan pada rasionalitas, falsafah menuntut
keimanan tersendiri. Dibutuhkan keberanian besar untuk meyakini
bahwa kosmos, yang lebih menyerupai tempat kekacauan dan
penderitaan daripada tatanan yang bertujuan ini, sebenarnya diatur
oleh hukum akal. Mereka juga harus menumbuhkan rasa bermakna
di tengah bencana dan kegalauan yang sering terjadi di dunia sekitar
mereka. Ada keagungan dalam falsafah, yakni pencarian objektivitas
dan visi yang tak lekang oleh waktu. Mereka menginginkan sebuah
agama universal, yang tak dibatasi oleh manifestasi ketuhanan tertentu
atau berakar pada ruang dan waktu tertentu; mereka yakin adalah
kewajiban mereka untuk menerjemahkan ayat-ayat Al-Quran ke dalam
idiom lebih maju yang akan dikembangkan sepanjang masa oleh
pikiran-pikiran yang terbaik dan termulia di seluruh budaya. Alihalih
memandang Tuhan sebagai misteri, para faylasuf percaya bahwa
Tuhan adalah akal murni.
Kepercayaan terhadap alam yang sepenuhnya bersifat rasional
seperti ini tampak naif di zaman kita sekarang karena berbagai penemuan
ilmiah kemudian menunjukkan ketidaklaikan bukti tentang
eksistensi Tuhan yang diketengahkan oleh Aristoteles. Perspektif
ini tak mungin lagi dianut oleh siapa pun yang hidup pada abad kesembilan
dan kesepuluh, namun pengalaman falsafah tetap relevan
bagi persoalan keagamaan yang kita hadapi sekarang. Revolusi ilmiah
pada periode Dinasti Abbasiyah telah melibatkan para pesertanya
dalam kesibukan yang bukan sekadar berupa pengumpulan informasi
baru. Sebagaimana pada masa kita sekarang ini, penemuan ilmiah
menuntut penumbuhan mentalitas berbeda yang mengubah cara kita
memandang dunia. Sains menuntut kepercayaan fundamental tentang
adanya penjelasan rasional atas segala sesuatu; sains juga membutuhkan
imajinasi dan keberanian yang tidak berbeda' dengan kreativitas
keagamaan. Seperti nabi atau Sufi, seorang ilmuwan juga mendorong
dirinya berhadapan dengan wilayah realitas non-makhluk yang tak
tertembus dan tak terduga. Tak pelak lagi ini mempengaruhi persepsi
ketuhanan para faylasuf dan membuat mereka merevisi atau bahkan
meninggalkan kepercayaan lama yang dipegang orang-orang sezaman
mereka. Dalam cara yang sama, visi ilmiah pada masa kita sekarang
235
Sejarah Tuhan
ini telah banyak membuat teisme klasik menjadi mustahil bagi banyak
orang. Berpegang teguh pada teologi lama bukan hanya tanda kepengecutan,
tetapi juga dapat mengakibatkan hilangnya integritas. Para
faylasuf berupaya memadukan pandangan-pandangan baru mereka
dengan arus utama keyakinan Islam dan menghasilkan beberapa
gagasan revolusioner tentang Tuhan yang diilhami oleh Yunani. Sungguhpun
demikian, kegagalan besar konsepsi ketuhanan mereka yang
rasional mengandung pelajaran penting bagi kita mengenai hakikat
kebenaran agama.
Para faylasuf mengupayakan penggabungan yang lebih menyeluruh
antara filsafat Yunani dengan agama, melebihi kaum monoteis
mana pun sebelumnya. Kaum Mu'tazilah dan Asy'ariah juga telah
berusaha membangun jembatan yang menghubungkan wahyu dengan
akal, tetapi mereka lebih mendahulukan konsepsi ketuhanan menurut
wahyu. Kalam didasarkan pada pandangan tradisional monoteistik
tentang sejarah sebagai sebuah teofani. Kalam menyatakannya bahwa
kejadian-kejadian konkret dan partikular adalah krusial karena merupakan
satu-satunya kepastian yang kita miliki. Asy'ariah memang
menyangsikan adanya hukum-hukum universal dan prinsip-prinsip
abadi. Meskipun memiliki nilai imajinatif dan religius, atomisme ini
jelas asing bagi semangat ilmiah dan tidak dapat memuaskan para
faylasuf. Falsafah mereka mengabaikan sejarah yang konkret dan
partikular, namun menanamkan ketakziman terhadap hukum-hukum
universal yang ditolak kaum Asy'ariah. Tuhan mereka ditemukan
melalui argumen-argumen logis, bukan dalam wahyu partikular yang
diturunkan kepada individu-individu tertentu di berbagai zaman.
Pencarian terhadap kebenaran objektif dan universal ini menjadi karakteristik
kajian mereka dan mengondisikan cara mereka mengalami
realitas tertinggi. Tuhan yang tak pernah sama bagi setiap orang,
yang memberi atau menerima corak budaya tertentu, bukan merupakan
pemecahan yang memuaskan bagi pertanyaan fundamental dalam
agama: "Apakah tujuan akhir kehidupan?" Anda tidak bisa mendapatkan
pemecahan ilmiah yang memiliki aplikasi universal di laboratorium
dan menyembah Tuhan yang lama kelamaan dipandang sebagai
milik tunggal kaum Muslim. Sungguhpun demikian, kajian atas Al-
Quran telah menyingkapkan bahwa Muhammad sendiri telah memiliki
visi universal dan pernah mengajarkan bahwa semua agama yang
benar sesungguhnya berasal dari Tuhan. Para faylasuf tidak merasa
ada keharusan untuk menyingkirkan Al-Quran. Mereka justru berupaya
236
Tuhan Para Filosof
memperlihatkan hubungan antara agama dan filsafat: keduanya
merupakan jalan yang sah untuk menuju Tuhan, sesuai dengan kebutuhan
masing-masing individu. Mereka tidak menjumpai adanya pertentangan
fundamental antara wahyu dan sains, rasionalisme dan
iman. Mereka mengembangkan apa yang disebut sebagai filsafat
profetik. Mereka ingin menemukan inti kebenaran yang bersemayam
di hati semua agama historis yang beraneka ragam, yang sejak fajar
sejarah telah berupaya untuk mendefinisikan realitas Tuhan yang sama.
Falsafah diilhami oleh perjumpaan dengan sains dan metafisika
Yunani, namun tidak sepenuhnya bergantung kepada Helenisme.
Di wilayah-wilayah koloni Timur Tengah mereka, orang Yunani
cenderung mengikuti kurikulum standar sehingga walaupun terdapat
perbedaan penekanan dalam filsafat Helenistik, setiap siswa dianjurkan
membaca seperangkat naskah dalam urutan yang sudah ditentukan.
Hal ini menghasilkan sejenis kesatuan dan koherensi. Akan
tetapi, para faylasuf tidak menaati kurikulum ini, melainkan membaca
naskah apa saja yang tersedia bagi mereka. Ini tak pelak lagi membukakan
perspektif baru. Di samping pandangan keislaman dan
kearaban mereka yang khas, pemikiran mereka juga diwarnai oleh
pengaruh Persia, Hindu, dan Gnostik.
Yaqub ibn Ishaq Al-Kindi (w. kl. 870), Muslim pertama yang
menerapkan metode rasional terhadap Al-Quran, kerap dikaitkan
dengan kaum Mu'tazilah dan berbeda pendapat dengan Aristoteles
dalam beberapa isu pokok. Dia mendapat pendidikan di Basrah,
tetapi menetap di Bagdad dengan santunan dari Khalifah Al-Ma'mun.
Karya dan pengaruhnya sangat banyak, mencakup matematika, ilmu
alam, dan filsafat. Namun perhatiannya yang utama adalah agama.
Dengan latar belakangnya sebagai penganut Mu'tazilah, dia hanya
memandang filsafat sebagai alat bantu dalam memahami wahyu:
pengetahuan yang diwahyukan kepada para nabi selalu lebih unggul
daripada pandangan-pandangan kemanusiaan para filosof. Kebanyakan
para filosof pada zaman berikutnya tidak menyetujui perspektif
ini. Akan tetapi, Al-Kindi juga amat bersemangat untuk menemukan
kebenaran di dalam tradisi-tradisi agama lain. Kebenaran itu tunggal,
dan adalah tugas para filosof untuk mencarinya dalam bungkus budaya
atau bahasa apa pun yang telah diambilnya selama berabad-abad.
Kita tak usah malu meyakini kebenaran dan mengambilnya dari sumber
mana pun ia datang kepada kita, bahkan walaupun seandainya ia
237
Sejarah Tuhan
dihadirkan kepada kita oleh generasi terdahulu dan orang-orang asing.
Bagi siapa saja yang mencari kebenaran, tak ada nilai yang lebih tinggi
kecuali kebenaran itu sendiri; kebenaran tidak pernah merendahkan
atau menghinakan orang yang mencapainya, namun justru mengagungkan
dan menghormatinya.1
Di sini Al-Kindi bersesuaian dengan Al-Quran. Akan tetapi, Al-
Kindi melangkah lebih jauh karena dia tidak membatasi diri pada
nabi-nabi saja tetapi juga berpaling kepada para filosof Yunani. Dia
menggunakan argumen-argumen Aristoteles untuk membuktikan
eksistensi Penggerak Pertama. Dalam dunia yang rasional, Al-Kindi
berargumen, segala sesuatu pasti mempunyai sebab. Oleh karena
itu, mestilah ada suatu Penggerak yang Tak Digerakkan untuk
memulai menggelindingkan bola. Prinsip Pertama ini adalah Wujud
itu sendiri, tidak berubah, sempurna, tak dapat dihancurkan. Namun,
setelah tiba pada kesimpulan ini, Al-Kindi berpisah dari Aristoteles
dengan mengetengahkan doktrin Al-Quran tentang penciptaan dari
ketiadaan (ex nihilo). Aksi dapat didefinisikan sebagai mengadakan
sesuatu dari ketiadaan. Aksi ini, menurut Al-Kindi, bersifat prerogratif
bagi Tuhan. Dia adalah satu-satunya Wujud yang benar-benar dapat
melakukan aksi dalam pengertian yang seperti ini, dan dia pulalah
sebab nyata bagi seluruh aktivitas yang kita saksikan di dunia sekeliling
kita.
Falsafah menolak konsep penciptaan dari ketiadaan sehingga
Al-Kindi tidak bisa disebut sebagai seorang faylasuf. Akan tetapi,
Al-Kindi adalah pelopor dalam upaya Islam untuk menyelaraskan
kebenaran agama dengan metafisika sistematik. Murid-muridnya lebih
radikal lagi. Abu Bakar Muhammad Zakaria Al-Razi (w. kl. 930),
yang sering disebut sebagai seorang non-konformis terbesar dalam
sejarah Islam, menolak metafisika Aristoteles dan, seperti kaum
Gnostik, memandang penciptaan sebagai karya demiurge (pencipta
dunia material dalam keyakinan Gnostik): mated tidak dapat berasal
dari Tuhan yang sepenuhnya bersifat spiritual. Dia juga menolak
solusi Aristoteles tentang Penggerak Pertama, serta doktrin-doktrin
Al-Quran tentang wahyu dan kenabian. Menurutnya, hanya akal dan
filsafat yang bisa menyelamatkan kita. Oleh karena itu, Al-Razi
bukanlah seorang monoteis yang sebenarnya: dia mungkin seorang
pemikir bebas pertama yang memandang konsep ketuhanan tidak
bersesuaian dengan pandangan ilmiah. Al-Razi adalah seorang ahli
238
Tuhan Para Filosof
kedokteran brilian yang dermawan, yang pernah bekerja sebagai
kepala rumah sakit di kota asalnya Rayy di Iran selama beberapa
tahun.
Kebanyakan faylasuf tidak membawa rasionalisme mereka sampai
seekstrem itu. Dalam sebuah perdebatan dengan seorang Muslim
yang lebih konvensional, Al-Razi menyatakan bahwa seorang faylasuf
sejati tidak dapat bersandar pada tradisi yang sudah mapan, tetapi
mesti mengandalkan pikirannya sendiri karena hanya akal saja yang
mampu membawa kita kepada kebenaran. Bersandar kepada doktrindoktrin
wahyu tidak ada manfaatnya karena agama-agama itu berbeda.
Bagaimana seseorang dapat memastikan mana di antaranya yang
benar? Akan tetapi, penentangnya—yang, agak membingungkan,
juga bernama Al-Razi2—mengetengahkan sebuah poin penting.
Bagaimana dengan orang-orang awam? tanyanya. Kebanyakan mereka
tidak mampu untuk melakukan penalaran filosofis: apakah karena
itu mereka sesat, ditakdirkan salah dan tak mendapat petunjuk? Salah
satu alasan mengapa falsafah tetap menjadi sekte minoritas dalam
Islam adalah karena elitismenya. Falsafah terutama hanya menarik
bagi mereka yang memiliki derajat intelektualitas tertentu dan dengan
demikian bertentangan dengan semangat egalitarian yang mulai
menjadi ciri masyarakat Muslim.
Faylasuf Turki Abu Nasr Al-Farabi (w. 980) berhadapan dengan
persoalan massa yang tak berpendidikan, yang tidak cukup mampu
untuk menerima rasionalisme filosofis. Al-Farabi dapat dianggap
sebagai pendiri falsafah autentik dan menunjukkan universalitas
atraktif dari cita-cita Muslim ini. Dia dapat kita sebut sebagai seorang
Manusia Renaisans; dia bukan hanya seorang ahli kedokteran tetapi
juga seorang musisi dan mistikus. Dalam karyanya Ara'Ahl Al-Madinah
Al-Fadhilah, dia juga memperlihatkan kepedulian sosial dan politik
yang merupakan hal penting dalam spiritualitas Muslim. Dalam Republic,
Plato pernah mengemukakan bahwa suatu masyarakat yang baik
mesti dipimpin oleh seorang filosof yang memerintah sesuai dengan
prinsip-prinsip rasional dan mampu menjelaskan' prinsip-prinsip itu
kepada orang awam. Al-Farabi berpendapat bahwa Nabi Muhammad
Saw. adalah seorang pemimpin yang persis seperti dimaksudkan
Plato. Beliau telah mengungkapkan kebenaran universal dalam bentuk
imajinatif yang dapat dipahami orang awam, sehingga Islam secara
ideal cocok dengan masyarakat yang dicita-citakan Plato. Syiah mungkin
merupakan bentuk Islam yang paling cocok untuk menjalankan
239
Sejarah Tuhan
proyek ini, karena kultus mereka tentang imam sebagai pemimpin
yang arif. Meskipun mengamalkan ajaran Sufi, Al-Farabi memandang
wahyu sebagai proses yang sepenuhnya alamiah. Tuhan para filosof
Yunani yang jauh dari persoalan-persoalan manusia, tidak mungkin
"berbicara kepada" manusia dan campur tangan di dalam urusanurusan
keduniaan, seperti yang disiratkan oleh doktrin tradisional
tentang wahyu. Namun ini tidak berarti bahwa Tuhan jauh dari pokok
kajian Al-Farabi. Tuhan merupakan sesuatu yang sentral dalam filsafatnya,
dan risalahnya dimulai dengan pembahasan tentang Tuhan.
Tuhan dalam pandangan Al-Farabi sesuai dengan konsepsi Aristoteles
dan Plotinus: dialah Yang Pertama dari semua wujud. Seorang Kristen
Yunani yang terbiasa dengan filsafat mistis Denys Aeropagite akan
berkeberatan terhadap teori yang dengan begitu saja menganggap
Tuhan sebagai sekadar suatu wujud lain, meskipun dengan hakikat
yang lebih tinggi. Akan tetapi, Al-Farabi tetap dekat dengan Aristoteles.
Dia tidak percaya bahwa Tuhan dengan "tiba-tiba" saja memutuskan
untuk menciptakan alam, sebab hal seperti itu dapat menimbulkan
pemahaman bahwa Tuhan yang abadi dan statis ternyata telah
mengalami perubahan.
Seperti halnya orang-orang Yunani, Al-Farabi memandang mata
rantai wujud secara abadi memancar dari Yang Esa dalam sepuluh
emanasi atau "intelek" berturut-turut, yang masing-masingnya
membentuk satu bidang Ptolemis: langit terluar, lapisan bintangbintang
tetap, garis lintasan Saturnus, Yupiter, Mars, Matahari, Venus,
Merkurius, dan Bulan. Tatkala tiba pada dunia sublunar kita sendiri,
kita menjadi sadar akan hierarki wujud yang berevolusi dalam arah
berlawanan, dimulai dari benda-benda mati, meningkat kepada
tumbuh-tumbuhan dan hewan, lalu berpuncak pada manusia yang
jiwa dan akalnya berasal dari Akal ilahi, sedangkan tubuhnya berasal
dari bumi. Melalui proses purifikasi, seperti yang dijelaskan oleh
Plato dan Plotinus, manusia dapat membebaskan diri dari belenggu
duniawi dan kembali kepada Tuhan, sumber alamiahnya.
Memang di sini terdapat perbedaan yang nyata dengan visi Al-
Quran tentang realitas, namun Al-Farabi memandang filsafat sebagai
cara yang lebih unggul untuk memahami kebenaran yang telah
diekspresikan pada nabi secara metaforis dan puitis agar dapat menarik
orang banyak. Namun, falsafah tidak diperuntukkan bagi setiap orang.
Pada pertengahan abad kesepuluh, unsur esoterik mulai memasuki
Dunia Islam. Falsafah adalah satu di antara dispilin esoteris itu. Sufisme
240
Tuhan Para Filosof
dan Syiisme juga menafsirkan Islam secara berbeda dari kaum ulama,
para pemuka agama yang berpegang hanya pada Al-Quran dan
Hukum Suci. Para faylasuf, kaum Sufi dan Syiah merahasiakan doktrindoktrin
mereka bukan karena ingin menolak orang awam, tetapi
karena menyadari bahwa versi Islam mereka lebih berbau petualangan
dan banyak pembaruan yang mudah menimbulkan kesalahpahaman.
Tafsiran harfiah atau simplistik atas doktrin-doktrin falsafah, mitosmitos
Sufisme, atau Imamologi Syiah bisa membingungkan orangorang
yang tidak memiliki kapasitas, pengetahuan, atau mental untuk
memakai pendekatan simbolik, imajinatif, atau rasionalistik terhadap
kebenaran tertinggi. Dalam sekte-sekte esoterik ini, para pemula
secara hati-hati dipersiapkan untuk menerima ajaran-ajaran sulit ini
melalui latihan khusus pikiran dan hati. Telah kita saksikan bahwa
orang Kristen Yunani juga pernah mengembangkan pemahaman yang
sama, melalui pembedaan antara dogma dan kerygma. Barat tidak
mengembangkan tradisi esoterik, tetapi menganut interpretasi kerygmatik
tentang agama, yang dipandang sama bagi setiap orang. Alihalih
membiarkan orang yang dianggap menyimpang, Kristen Barat
justru menyiksa mereka dan berusaha menyapu bersih kelompok
yang berbeda pandangan. Di Dunia Islam, pemikir-pemikir esoterik
biasanya dibiarkan hidup bebas.
Doktrin Al-Farabi tentang emanasi akhirnya diterima secara umum
oleh para faylasuf. Para mistikus, seperti yang akan kita saksikan,
juga lebih menyukai ajaran tentang emanasi daripada doktrin penciptaan
ex nihilo. Kaum Sufi Muslim dan Kabbalis Yahudi tak pernah
memandang falsafah dan akal bertentangan dengan agama, mereka
justru sering menemukan bahwa pandangan para faylasuf merupakan
inspirasi bagi bentuk keagamaan mereka yang lebih imajinatif. Hal
ini secara khusus terbukti di dunia Syiah. Meski tetap merupakan
bentuk Islam yang minoritas, abad kesepuluh dikenal sebagai abad
kaum Syiah karena mereka berhasil menempatkan diri dalam posisi
pemimpin pada pos-pos politik tertentu di seluruh imperium. Keberhasilan
terbesar yang diraih Syiah adalah pendirian sebuah kekhalifahan
di Tunis pada tahun 909 sebagai oposisi kekhalifahan Sunni di
Bagdad. Ini merupakan prestasi sekte Ismailiyah, yang juga dikenal
sebagai Syiah Fatimiyah atau Syiah Tujuh untuk membedakan diri
mereka dari Syiah Dua Belas yang menerima autoritas dua belas
imam. Kaum Ismaili berpisah dari Syiah Dua Belas setelah kematian
Ja'far Al-Shadiq, imam keenam, pada tahun 765. Ja'far telah menetapkan
241
Sejarah Tuhan
putranya, Ismail, sebagai pengganti. Namun ketika Ismail wafat dalam
usia muda, Syiah Dua Belas menerima autoritas saudaranya, Musa,
sedangkan kaum Ismaili tetap setia kepada Ismail dan meyakini
bahwa garis keturunan telah berakhir pada dirinya. Kekhalifahan
mereka di Afrika Utara menjadi sangat kuat: pada tahun 973 mereka
memindahkan ibu kota ke Al-Qahirah, yang berkedudukan di Kairo
modern, tempat mereka mendirikan masjid agung Al-Azhar.
Namun, sikap memuliakan imam-imam bukan merupakan
antusiasme politik semata. Sebagaimana telah kita saksikan, kaum
Syiah yakin bahwa imam mereka menubuhkan kehadiran Tuhan di
bumi dalam cara-cara yang misterius. Kaum Syiah telah mengembangkan
kesalehan esoterik versi mereka sendiri yang diperoleh dari pembacaan
simbolik atas Al-Quran. Mereka meyakini bahwa Muhammad
telah menanamkan ilmu rahasia kepada sepupu dan menantunya,
Ali ibn Abi Thalib, dan bahwa ilmu inilah yang diwariskan kepada
para imam dalam garis keturunan langsungnya. Setiap imam itu mempunyai
"Cahaya Muhammad" (al-nur al-Mubammad), spirit kenabian
yang telah memampukan Muhammad berserah diri sepenuhnya
kepada Tuhan. Baik Nabi maupun para imam itu bukanlah Tuhan,
namun mereka telah secara penuh terbuka kepadanya sehingga dapat
dikatakan bahwa Tuhan telah bersama mereka dalam cara yang lebih
sempurna daripada kebersamaannya dengan manusia biasa. Kaum
Kristen Nestorian memegang pandangan yang mirip tentang Yesus.
Seperti halnya kaum Nestorian, orang Syiah memandang imam mereka
sebagai "kuil" atau "perbendaharaan" Tuhan, penuh dengan cahaya
pengetahuan ilahi yang mencerahkan. 'ilm ini tidak sekadar berupa
informasi rahasia, tetapi juga merupakan sarana pengubahan batin.
Di bawah bimbingan da'i-nya (pengarah spiritual), seorang murid
akan diangkat dari kemalasan dan ketidakpekaan melalui penampakan
yang jelas. Perubahan ini memampukannya memahami tafsiran esoterik
terhadap Al-Quran. Pengalaman primal ini merupakan tindak
penyadaran, seperti yang akan kita lihat dalam puisi berikut karya
Nasiri Al-Khusraw, seorang filosof Ismaili abad kesepuluh, yang
menguraikan tentang penampakannya atas sang Imam yang lantas
mengubah hidupnya:
Pernahkah kau dengar, laut yang mengalir dari api?
Pemahkah kau lihat, serigala menjadi singa?
Mentari bisa membuat kerikil, yang bahkan tangan alam pun
242
Tuhan Para Filosof
tak pernah mampu, berubah menjadi permata,
Akulah batu berharga itu, Matahariku adalah dia
yang dengan sinarnya dunia yang gulita menjadi penuh cahaya.
Dalam kecemburuan aku tak dapat menyebut nama [sang Imam]
di dalam syair ini, tapi hanya bisa mengatakan bahwa demi dia
Plato pun bersedia menjadi budak.
Dia adalah guru, penyembuh jiwa, pilihan Tuhan,
citra kebijaksanaan, mata air pengetahuan dan kebenaran.
Wahai Wajah Pengetahuan, Bentuk Kebaikan,
Hati Kebijaksanaan, Tujuan Manusia,
Wahai Sang Kebanggaan, aku berdiri di hadapanmu,
pucat, kurus, terbungkus jubah wol,
dan mencium tanganmu, seakan-akan itu adalah
makam nabi atau batu hitam Ka'bah.3
Seperti Yesus di Gunung Tabor mewakili manusia ketuhanan
bagi orang Kristen Ortodoks Yunani, dan seperti Buddha menubuhkan
pencerahan yang mungkin dicapai oleh semua manusia, demikian
pula watak kemanusiaan imam telah diubah oleh ketakwaan utuhnya
kepada Tuhan.
Kaum Ismaili merasa bahwa para faylasuf terlalu memusatkan
perhatian pada unsur-unsur eksternal dan rasionalistik agama dan
mengabaikan inti spiritualnya. Meski menentang pemikiran bebas
Al-Razi, mereka juga mengembangkan filsafat dan sains sendiri, yang
tidak dipandang sebagai tujuan akhir tetapi sebagai latihan spiritual
untuk memampukan mereka memahami makna batin Al-Quran.
Berkontemplasi tentang abstraksi sains dan matematika memurnikan
pikiran mereka dari tamsil indriawi dan membebaskan mereka dari
keterbatasan kesadaran sehari-hari. Alih-alih menggunakan sains untuk
memperoleh pemahaman akurat dan harfiah tentang realitas eksternal,
kaum Ismaili memanfaatkannya untuk mengembangkan imajinasi
mereka. Mereka beralih kepada mitos-mitos Zoroasterian Iran kuno,
menggabungkannya dengan beberapa gagasan Neoplatonis dan
mengembangkan persepsi baru tentang sejarah penyelamatan. Dapat
diingat kembali bahwa di dalam masyarakat yang lebih tradisional,
orang-orang percaya bahwa pengalaman mereka di dunia ini sebenarnya
merupakan pengulangan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi
di alam langit: doktrin Plato tentang bentuk-bentuk atau arketipe
abadi telah mengungkapkan keyakinan perenial ini dalam idiom
filsafat. Di Iran pra-Islam, misalnya, realitas dipandang memiliki aspek
243
Sejarah Tuhan
ganda: ada langit yang bisa dilihat (getik) dan langit surgawi (menok)
yang tak bisa dilihat lewat persepsi normal kita. Hal yang sama
berlaku untuk realitas-realitas yang lebih abstrak dan spiritual: setiap
doa atau amal baik yang kita kerjakan di dunia ini (getik) diduplikasikan
di alam langit yang akan memberinya realitas sejati dan
makna abadi.
Arketipe langit ini dirasakan kesejatiannya dalam cara yang sama,
seperti peristiwa dan bentuk-bentuk yang menghuni imajinasi kita
yang sering dirasakan lebih real dan signifikan dibandingkan dengan
eksistensi duniawi kita. Ini dapat dipandang sebagai upaya untuk
menjelaskan pendirian kita bahwa kehidupan kita dan dunia yang
kita alami memiliki makna dan nilai penting, meskipun ada bukti
menyedihkan yang menunjukkan kebalikannya. Pada abad kesepuluh,
kaum Ismaili menghidupkan kembali mitologi ini—yang telah ditinggalkan
oleh kaum Muslim Persia ketika mereka masuk Islam, namun
tetap menjadi bagian dari warisan kultural mereka—dan menggabungkannya
secara imajinatif dengan doktrin emanasi Platonis. Al-
Farabi telah mengemukakan adanya sepuluh emanasi antara Tuhan
dan alam materi yang mendiami bidang-bidang Ptolemis. Kini kaum
Ismaili menjadikan Nabi dan para imam sebagai "jiwa" dari skema
langit ini. Pada bidang "profetik" tertinggi dari Langit Pertama adalah
Muhammad; pada Langit Kedua Ali, dan ketujuh imam masing-masing
mendiami bidang-bidang berikutnya dalam urutan yang teratur. Akhirnya
di bidang yang terdekat dengan alam materi terdapat putri Muhammad,
Fatimah, istri Ali yang telah memungkinkan adanya garis suci ini.
Oleh karena itu, Fatimah adalah Ibu Islam dan bersesuaian dengan
Sophia, Hikmat ilahi. Citra pendewaan para imam ini mencerminkan
tafsiran kaum Ismaili tentang makna sejati sejarah Syiah yang bukan
merupakan serentetan peristiwa duniawi eksternal—banyak di
antaranya berupa tragedi. Kehidupan duniawi manusia-manusia
terkemuka ini berkaitan dengan kejadian-kejadian di alam menok,
tatanan arketipal.4
Kita tidak boleh tergesa-gesa mencela gagasan ini sebagai khayalan
belaka. Orang Barat zaman sekarang mengutamakan perhatian
pada akurasi objektif, tetapi kaum batini Ismaili, yang mencari dimensi
tersembunyi (batin) dari agama, terlibat dalam pencarian yang sangat
berbeda. Seperti penyair atau pelukis, mereka menggunakan simbolisme
yang tak banyak kaitannya dengan logika tetapi dirasakan
telah menyingkapkan realitas yang lebih dalam daripada yang dapat
244
Tuhan Para Filosof
dicerap oleh indra atau diungkapkan dalam konsep-konsep rasional.
Oleh karena itu, mereka mengembangkan metode membaca Al-
Quran yang mereka sebut ta'wil (secara harfiah berarti "membawa
kembali"). Mereka merasa bahwa metode ini akan membawa mereka
kembali kepada arketipe asli Al-Quran, yang telah difirmankan di
alam menok pada saat yang sama ketika Muhammad membacanya
di alam getik. Henri Corbin, ahli sejarah Syiah Iran kontemporer,
membandingkan disiplin takwil dengan keselarasan nada dalam
musik. Seorang Ismaili seakan-akan dapat mendengar "suara"—sebuah
ayat Al-Quran atau hadis—pada beberapa tingkatan di saat yang
sama; dia berupaya melatih diri untuk mendengarkan suara langit
beserta ucapan Arabnya. Usaha itu menenangkan daya kritis yang
riuh dan menyadarkannya akan kesunyian yang meliputi setiap kata
dalam cara yang sama, seperti seorang Hindu mendengar kesunyian
tak terucapkan yang meliputi suku kata suci QUM. Ketika mendengarkan
kesunyian itu, dia menjadi sadar akan jurang yang ada antara
perkataan dan gagasan tentang Tuhan serta realitas yang sebenarnya.5
Inilah latihan yang membantu kaum Muslim memahami Tuhan sebagaimana
layaknya dia dipahami, demikian menurut Abu Ya'qub
Al-Sijistani, pemikir Syiah Ismailiyah terkemuka (w. 971). Sebagian
kaum Muslim sering berbicara tentang Tuhan secara antropomorfis,
menjadikannya seperti manusia yang mahaperkasa, sedangkan yang
lain menanggalkannya dari seluruh makna religius dan mereduksinya
menjadi sebuah konsep. Sebaliknya, Al-Sijistani menganjurkan penggunaan
penyangkalan ganda. Menurutnya, kita mesti mulai dengan
menyatakan Tuhan secara negatif, misalnya dengan menyatakan
bahwa dia "bukan wujud" daripada "wujud", "tidak tahu" daripada
"mengetahui", dan seterusnya. Namun, kita harus segera menyangkal
penegasian yang abstrak ini dengan menyatakan bahwa Tuhan
"bukanlah tidak mengetahui" atau bahwa dia "bukan Tiada" dalam
pengertian normal kita atas kata tersebut. Dia tidak bersesuaian dengan
cara pengungkapan manusia mana pun. Dengan berulang-ulang menggunakan
disiplin linguistik ini, kaum batini akan menjadi sadar tentang
tidak memadainya bahasa untuk menyampaikan misteri Tuhan.
Hamid Al-Din Kirmani (w. 1021), pemikir Syiah Ismailiyah yang
belakangan, menjelaskan hebatnya kedamaian dan kepuasan yang
diperoleh dari latihan ini dalam karyanya Rahaf Al-Aql. Ini bukanlah
latihan otak yang kering dan picik, tetapi menanamkan rasa bermakna
dalam setiap detail kehidupan seorang Ismaili. Para penulis Ismailiyah
245
Sejarah Tuhan
sering berbicara tentang batin mereka dalam istilah-istilah iluminasi
dan transformasi. Takwil tidak dirancang untuk memberikan informasi
tentang Tuhan, tetapi untuk menciptakan rasa takjub yang mencerahkan
kaum batini pada tingkat yang lebih dalam daripada pemikiran
rasional. Takwil juga bukan sebuah pelarian. Kaum Ismaili umumnya
adalah aktivis politik. Bahkan Ja'far Al-Shadiq, imam keenam, telah
mendefinisikan iman sebagai tindakan. Menurut mereka, seperti
halnya Nabi dan para imam, seorang Mukmin harus menjadikan visinya
tentang Tuhan membawa pengaruh pada kehidupan di dunia.
Cita-cita ini juga dipegang teguh oleh Ikhwan Al-Shafa, Persaudaraan
Suci, sebuah kelompok esoterik yang berkembang di Basrah
selama abad kejayaan Syiah. Ikhwan mungkin merupakan anak cabang
Ismailiyah. Sebagaimana kaum Ismaili, mereka mengabdikan diri
pada pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya matematika dan
astrologi, dan juga pada aksi politik. Seperti kaum Ismaili, Ikhwan
juga mencari makna batin yang tersembunyi dalam kehidupan. Suratsurat
(rasail) mereka, yang telah menjadi ensiklopedi ilmu filsafat,
sangat terkenal dan tersebar luas hingga ke Spanyol yang jauh di sebelah
barat. Ikhwan juga memadukan sains dan mistisisme. Matematika
dipandang sebagai pengantar ke filsafat dan psikologi. Sejumlah
bilangan mengungkapkan berbagai kualitas yang inheren di dalam
jiwa dan merupakan metode konsentrasi yang membuat seorang
ahli mampu menyadari sistem kerja pikirannya. Sebagaimana St.
Agustinus yang memandang pengenalan diri sangat diperlukan bagi
pengenalan Tuhan, pemahaman diri yang mendalam juga menjadi
inti mistisisme Islam. Kaum Sufi, ahli mistik Sunni yang dengannya
kaum Syiah Ismailiyah merasa memiliki kaitan erat, memiliki sebuah
aksioma: "Siapa yang mengenal dirinya pasti akan mengenal Tuhannya."
Aksioma ini tertulis dalam surat pertama Ikhwan Al-Shafa.6
Ketika mereka berkontemplasi tentang bilangan-bilangan jiwa, mereka
terbawa kembali kepada Yang Esa, hakikat diri manusia di pusat
kedalaman jiwa. Ikhwan juga sangat dekat dengan para faylasuf.
Seperti halnya kaum rasionalis Muslim, mereka menekankan ketunggalan
kebenaran, yang harus dicari di mana saja. Seorang pencari
tidak boleh "menolak ilmu apa pun, mencela kitab apa pun, bergantung
secara fanatik pada satu keyakinan apa pun."7 Mereka mengembangkan
konsepsi ketuhanan Neoplatonis, yakni konsep Plotinus
tentang Yang Esa yang tak dapat dijangkau oleh pemahaman manusia.
Seperti para faylasuf, mereka lebih menyepakati doktrin emanasi
246
Tuhan Para Filosof
Platonis daripada doktrin tradisional Al-Quran tentang penciptaan ex
nihilo: dunia mengungkapkan akal ilahi, dan manusia dapat berpartisipasi
di dalam yang ilahi dan kembali kepada Yang Esa dengan
menyucikan kekuatan nalarnya.
Falsafah mencapai puncaknya dalam karya Abu Ali ibn Sina
(980-1037) yang di Barat dikenal dengan julukan Avicenna. Dilahirkan
di lingkungan keluarga pengikut Syiah di dekat Bukhara, Asia Tengah,
Ibn Sina juga dipengaruhi oleh kaum Ismaili yang sering datang dan
beradu argumentasi dengan ayahnya. Dia tumbuh sebagai anak yang
berbakat; ketika berusia enam belas tahun dia menjadi penasihat
bagi para ahli kedokteran penting, dan pada usia delapan belas
tahun dia telah menguasai matematika, logika, dan fisika. Namun,
dia mengalami kesulitan memahami filsafat Aristoteles dan baru memperoleh
kejelasan setelah membaca karya Al-Farabi Intentions of
Aristotle's Metaphysics. Dia hidup sebagai seorang dokter peripatetik,
berkelana ke seluruh pelosok negeri Islam, dan bergantung kepada
pemberi santunan. Pada suatu ketika, dia menjadi wazir di pemerintahan
Dinasti Buwaihi yang Syiah di wilayah Iran Barat dan Irak
Selatan sekarang. Sebagai intelektual yang brilian dan cemerlang,
Ibn Sina bersikap rendah hati. Dia juga seorang yang sensualis dan
konon meninggal dunia cukup muda pada usia 58 tahun.
Ibn Sina menyadari bahwa falsafah perlu disesuaikan dengan
perubahan keadaan yang tengah melanda imperium Islam. Kekhalifahan
Bani Abbas sedang mengalami kemunduran sehingga tak lagi
mudah untuk melihat negara kekhalifahan sebagai masyarakat ideal
filosofis seperti yang digambarkan oleh Plato dalam Republic. Secara
alamiah, Ibn Sina menaruh simpati kepada aspirasi politik Syiah,
tetapi dia lebih tertarik kepada Neoplatonisme falsafah, yang
diislamisasikannya dengan lebih sukses dibandingkan para faylasuf
mana pun sebelumnya. Dia yakin bahwa jika falsafah ingin merabuktikan
klaimnya untuk menghadirkan gambaran utuh tentang
realitas, ia mesti memberikan pemahaman yang lebih baik tentang
keyakinan agama kepada masyarakat awam, yang—dari sudut
pandang mana pun—merupakan fakta utama dalam kehidupan politik,
sosial, dan pribadi. Ibn Sina tidak memandang agama wahyu sebagai
versi inferior dari falsafah, tetapi berpendapat bahwa seorang nabi,
seperti Muhammad lebih tinggi derajatnya daripada filosof mana
pun karena dia tidak bergantung kepada akal manusia, tetapi memperoleh
pengetahuan langsung dan intuitif dari Tuhan. Ini mirip
247
Sejarah Tuhan
dengan pengalaman mistik kaum Sufi dan pernah disebut Plotinus
sebagai bentuk kearifan tertinggi. Namun, tidak berarti bahwa akal
sama sekali tidak memiliki penalaran tentang Tuhan. Ibn Sina memberikan
demonstrasi rasional tentang eksistensi Tuhan berdasarkan buktibukti
Aristoteles yang kemudian menjadi standar di kalangan filosof
Yudaisme maupun Islam pada akhir abad pertengahan. Ibn Sina
maupun para faylasuf sama sekali tidak menaruh keraguan tentang
keberadaan Tuhan. Mereka tak pernah ragu bahwa akal manusia
tanpa bantuan wahyu dapat tiba pada pengetahuan tentang eksistensi
Wujud Tertinggi. Akal adalah aktivitas manusia yang paling mulia: ia
adalah bagian dari akal ilahi dan jelas memiliki peran penting dalam
menjawab persoalan keagamaan. Ibn Sina berpendapat bahwa orangorang
yang memiliki kemampuan intelektual mengemban tugas untuk
menemukan Tuhan melalui akal, karena akal dapat memperhalus
konsepsi tentang Tuhan serta membebaskannya dari takhayul dan
antropomorfisme. Ibn Sina dan para pengikutnya yang memikirkan
demonstrasi rasional tentang eksistensi Tuhan tidak bertentangan
dengan kaum teis dalam pengertian kita atas kata itu. Mereka ingin
menggunakan akal untuk menemukan sebanyak yang mereka bisa
tentang hakikat Tuhan.
"Bukti-bukti" Ibn Sina dimulai dengan pertimbangan tentang cara
pikiran kita bekerja. Ke mana pun kita mengarahkan pandangan di
dunia ini, kita melihat wujud-wujud senyawa yang terdiri dari sejumlah
unsur berbeda. Sebuah pohon, misalnya, terdiri atas kayu, kulit kayu,
getah, dan daun. Ketika kita mencoba untuk mengerti sesuatu, kita
"menganalisis"-nya, memecahnya ke dalam bagian-bagian komponennya
hingga tak ada lagi pembagian yang mungkin. Unsur-unsur
sederhana menjadi primer bagi kita dan wujud senyawa yang dibentuk
oleh unsur-unsur itu menjadi sekunder. Oleh karena itu, kita terusmenerus
mencari penyederhanaan bahkan untuk wujud-wujud yang
tidak bisa direduksi lagi. Adalah aksioma falsafah bahwa realitas
membentuk satu kesatuan yang koheren secara logis; itu berarti
bahwa pencarian tanpa akhir kita akan kesederhanaan pastilah mencerminkan
keadaan pada skala besarnya. Seperti seluruh penganut
Platonis, Ibn Sina merasakan bahwa kemajemukan yang kita lihat di
sekeliling kita pasti bergantung pada kesatuan primal. Karena pikiran
kita memang memandang benda-benda senyawa sebagai sekunder
dan derivatif, kecenderungan ini pasti disebabkan oleh sesuatu di
luar pikiran, yaitu realitas yang lebih tinggi dan sederhana. Benda-
248
Tuhan Para Filosof
benda senyawa tidak berdiri sendiri, dan wujud yang tidak berdiri
sendiri itu lebih rendah daripada realitas tempat mereka bergantung;
seperti dalam sebuah keluarga, anak berada pada status lebih rendah
daripada ayah yang darinya mereka diturunkan. Sesuatu yang
merupakan Kesederhanaan itu sendiri adalah apa yang disebut para
filosof sebagai "Wujud Wajib", yakni yang tidak tergantung pada
sesuatu yang lain bagi keberadaannya. Adakah wujud yang seperti
itu? Seorang faylasuf, seperti Ibn Sina menerima begitu saja bahwa
kosmos bersifat rasional dan dalam sebuah semesta yang rasional
pastilah ada Wujud yang Tak Disebabkan, Penggerak yang Tak Digerakkan,
di puncak hierarki eksistensi. Sesuatu pasti telah memulai
rantai sebab akibat. Ketiadaan wujud tertinggi seperti itu akan berarti
bahwa pikiran kita tidak selaras dengan realitas secara keseluruhan.
Ini, pada gilirannya, berarti bahwa alam semesta tidaklah koheren
dan rasional. Wujud sangat sederhana yang kepadanya seluruh realitas
majemuk bergantung adalah apa yang disebut agama sebagai "Tuhan".
Karena merupakan yang tertinggi di atas segalanya, ia pasti sempurna
secara mutlak dan pantas dihormati dan disembah. Namun karena
eksistensinya begitu berbeda dari semua yang lain, ia bukanlah salah
satu simpul dalam rangkaian mata rantai wujud.
Para filosof berpandangan sama dengan Al-Quran bahwa Tuhan
adalah kesederhanaan itu sendiri: Tuhan itu Satu. Oleh karena itu,
Tuhan tidak bisa dianalisis atau dipecah-pecah ke dalam komponen
atau sifat-sifat. Karena wujud ini secara mutlak sederhana, tidak
memiliki sebab, tidak berdimensi temporal, dan tak ada sama sekali
sesuatu yang bisa dikatakan mengenainya. Tuhan tidak bisa menjadi
objek pemikiran diskursif, karena otak kita tidak bisa mencakup
Tuhan seperti caranya mencakup hal-hal lain. Karena Tuhan itu
secara esensial unik, dia tidak dapat diperbandingkan dengan apa
pun yang ada dalam pengertian yang normal. Akibatnya, tatkala kita
berbicara tentang Tuhan, lebih baik kita menggunakan pernyataan
negatif untuk membedakannya secara mutlak dari semua hal lain
yang kita bicarakan. Namun karena Tuhan merupakan sumber segala
sesuatu", kita dapat mempostulatkan hal tertentu tentang dia. Karena
kita tahu bahwa kebaikan itu ada, maka Tuhan mestilah merupakan
Kebaikan yang esensial atau "wajib"; karena kita tahu bahwa kehidupan,
kekuatan, dan pengetahuan itu ada, maka Tuhan pastilah hidup,
kuat, dan mengetahui dalam cara yang paling esensial dan sempurna.
Aristoteles telah mengajarkan bahwa karena Tuhan adalah Akal
249
Sejarah Tuhan
Murni—pada saat yang sama merupakan tindak penalaran serta objek
dan subjeknya sekaligus—dia hanya mungkin berpikir tentang dirinya
dan tidak memikirkan realitas yang bersifat sementara dan lebih
rendah. Ini tidak sesuai dengan gambaran tentang Tuhan di dalam
wahyu yang menyebutkan bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu,
hadir dan aktif dalam tatanan makhluk. Ibn Sina mengupayakan
sebuah kompromi: Tuhan terlalu agung untuk turun ke taraf mengetahui
makhluk-makhluk yang hina dan partikular seperti manusia
dan segala perbuatannya. Seperti yang dikemukakan oleh Aristoteles,
"Ada hal-hal yang lebih baik tidak dilihat daripada dilihat."8 Tuhan
tidak mungkin mencemari dirinya dengan detail-detail kehidupan di
bumi yang remeh dan sangat rendah. Namun di dalam aktivitas pengenalan
dirinya yang abadi, Tuhan mengetahui segala sesuatu yang
beremanasi darinya dan yang telah diberinya wujud. Tuhan mengetahui
bahwa dia adalah sebab bagi makhluk-makhluk fana. Pemikirannya
sangat sempurna sehingga berpikir dan bertindak merupakan
satu aksi yang sama. Kontemplasi abadinya tentang dirinya sendiri
menimbulkan proses emanasi seperti yang telah dijelaskan oleh para
faylasuf. Akan tetapi, Tuhan mengetahui kita dan dunia kita hanya
secara umum dan universal; dia tidak berurusan dengan yang partikular.
Sungguhpun demikian, Ibn Sina tidak puas dengan penjelasan
abstrak tentang kodrat Tuhan ini: dia ingin menghubungkannya
dengan pengalaman keagamaan kaum beriman, para Sufi, dan kaum
batini. Karena tertarik pada psikologi agama, dia menggunakan skema
emanasi Plotinian untuk menjelaskan pengalaman kenabian. Pada
setiap sepuluh fase emanasi wujud dari Yang Esa, Ibn Sina berspekulasi
bahwa sepuluh Akal Murni itu, bersama dengan jiwa-jiwa atau
malaikat-malaikat yang menggerakkan kesepuluh bidang Ptolemik,
membentuk sebuah alam penengah antara manusia dan Tuhan, yang
bersesuaian dengan dunia realitas arketipe yang diimajinasikan oleh
kaum batini. Akal-akal ini juga memiliki imajinasi; bahkan mereka
adalah Imajinasi dalam keadaan murninya. Melalui alam penengah
inilah—bukan melalui akal diskursif—manusia dapat mencapai
pengenalan paling lengkap tentang Tuhan. Akal paling akhir dari
cakrawala kita—yakni akal kesepuluh—adalah malaikat pembawa
wahyu, yang dikenal sebagai Jibril, sumber cahaya dan pengetahuan.
Jiwa manusia tersusun dari akal praktis yang berhubungan dengan
dunia ini, dan akal kontemplatif yang mampu hidup berdampingan
dengan Malaikat Jibril. Dengan demikian, menjadi mungkin bagi
250
Tuhan Para Filosof
nabi-nabi untuk mendapatkan pengetahuan intuitif dan imajinatif
tentang Tuhan, serupa dengan pengetahuan yang dimiliki Akal yang
mentransendensi akal praktis dan diskursif. Pengalaman kaum Sufi
memperlihatkan bahwa manusia dimungkinkan untuk mencapai visi
tentang Tuhan secara filosofis tanpa menggunakan logika dan rasionalitas.
Sebagai pengganti silogisme, mereka menggunakan alat-alat
imajinatif berupa simbol dan kiasan. Nabi Muhammad Saw. telah
menyempurnakan penyatuan langsung dengan alam suci ini. Tafsiran
psikologis tentang visi dan wahyu ini akan memampukan para Sufi
yang berkecenderungan filosofis untuk mendiskusikan pengalaman
keagamaan mereka sendiri, seperti yang akan kita saksikan pada
bab mendatang.
Pada akhir hayatnya Ibn Sina tampaknya telah menjadi seorang
mistikus pula. Dalam risalahnya Kitab Al-Isyarat (Kitab Peringatan),
dia dengan jelas menjadi sangat kritis pada pendekatan rasional
terhadap Tuhan, yang menurutnya melelahkan. Dia beralih kepada
apa yang disebutnya "Filsafat Timur" (al-hikmah al-masyriqiyyah).
Ini tidak mengacu pada arah timur secara geografis, melainkan kepada
sumber cahaya. Dia bermaksud menulis sebuah risalah esoterik
menggunakan metode yang didasarkan pada disiplin iluminasi (isyraq)
serta rasiosinasi. Kita tak yakin apakah dia memang pernah menulis
risalah itu: sekiranya pun pernah, tentu risalah itu telah hilang. Namun,
sebagaimana juga akan kita saksikan pada bab mendatang, filosof
besar Iran, Yahya Suhrawardi mendirikan aliran Isyraqi yang memang
menggabungkan filsafat dengan spiritualitas dalam cara yang pernah
direncanakan oleh Ibn Sina.
Ilmu kalam dan falsafah telah mengilhami sebuah gerakan intelektual
yang sama di kalangan orang-orang Yahudi yang berdomisili di
kerajaan Islam. Mereka mulai menulis filsafat mereka sendiri dalam
bahasa Arab dan untuk pertama kali memperkenalkan unsur metafisika
dan spekulasi ke dalam Yudaisme. Berbeda dengan para
faylasuf Muslim, para filosof Yahudi tidak melibatkan diri ke dalam
seluruh rentang ilmu filsafat tetapi memusatkan perhatian terutama
pada masalah-masalah keagamaan. Mereka merasa harus menjawab
tantangan Islam dengan cara mereka sendiri, dan itu melibatkan
pencocokan Tuhan Alkitab yang personalistik dengan Tuhan para
faylasuf. Seperti kaum Muslim, mereka tidak nyaman dengan penggambaran
Tuhan secara antropomorfis di dalam kitab suci dan Talmud.
Mereka bertanya kepada diri sendiri bagaimana Tuhan yang seperti
251
Sejarah Tuhan
itu bisa sama dengan Tuhan para filosof. Mereka memikirkan masalah
penciptaan alam dan hubungan antara wahyu dengan akal. Meski
secara ilmiah tiba pada kesimpulan yang berbeda, mereka sangat
tergantung pada para pemikir Muslim. Saadia bin Yoseph (882-942),
orang pertama yang melakukan interpretasi filosofis terhadap
Yudaisme, adalah seorang Talmudis sekaligus Mu'tazilah. Dia percaya
bahwa akal bisa mencapai pengetahuan tentang Tuhan melalui
kekuatannya sendiri. Seperti seorang faylasuf, dia memandang pencapaian
konsepsi rasional tentang Tuhan sebagai suatu mitzvah, kewajiban
agama. Akan tetapi, seperti rasionalis Muslim, Saadia tidak
memiliki keraguan sama sekali tentang eksistensi Tuhan. Realitas
Tuhan Pencipta tampak begitu jelas bagi Saadia sehingga, dalam
karyanya Books of Beliefs and Opinions, dia merasa yang lebih perlu
dibuktikan adalah soal kemungkinan keraguan di dalam agama
daripada soal iman.
Seorang Yahudi tidak dituntut untuk memaksa akalnya menerima
wahyu, demikian Saadia berpendapat. Namun itu tidak berarti bahwa
Tuhan dapat sepenuhnya dijangkau oleh akal manusia. Saadia mengakui
bahwa ide tentang penciptaan dari ketiadaan mengandung banyak
kesulitan filosofis dan tak mungkin dijelaskan dalam terma rasional,
karena Tuhan yang dikonsepsikan oleh falsafah tidak dapat membuat
keputusan mendadak dan memicu perubahan. Bagaimana mungkin
alam material bisa berasal dari Tuhan yang sepenuhnya bersifat
spiritual? Di sini kita telah mencapai batas akal dan harus menerima
saja bahwa alam ini tidak abadi, seperti yang diyakini oleh kaum
Platonis, tetapi memiliki permulaan dalam waktu. Ini satu-satunya
penjelasan yang mungkin dan bersesuaian dengan kitab suci dan
akal sehat. Setelah menerima ini, kita dapat mendeduksikan faktafakta
lain tentang Tuhan. Tatanan makhluk telah direncanakan dengan
cerdas; ia memiliki hidup dan energi; oleh karena itu, Tuhan yang
telah menciptakannya pasti juga memiliki Hikmat, Hidup, dan Kekuatan.
Atribut-atribut ini bukanlah hypostases yang terpisah, seperti
disiratkan doktrin Trinitas Kristen, tetapi semata-mata merupakan
aspek dari Tuhan. Hanya karena bahasa manusia tidak mampu mengungkapkan
realitas Tuhan secara memadai maka kita terpaksa menganalisisnya
lewat cara ini dan seolah merusak simplisitas mutlak
Tuhan. Jika kita ingin bicara sangat eksak tentang Tuhan, kita hanya
bisa menyatakan bahwa dia ada. Saadia tidak membuang semua
deskripsi positif tentang Tuhan. Dia juga tidak mendahulukan
252
Tuhan Para Filosof
konsepsi para filosof tentang Tuhan yang jauh dan impersonal
daripada Tuhan Alkitab yang personal dan antropomorfis. Ketika,
misalnya, dia mencoba menjelaskan penderitaan yang terlihat di
dunia, Saadia bersandar pada solusi para penulis Hikmat dan Talmud.
Penderitaan, katanya, merupakan hukuman atas dosa; ia menyucikan
dan mendisiplinkan kita dengan maksud membuat kita menjadi rendah
hati. Penjelasan ini tidak akan memuaskan bagi seorang faylasuf
sejati karena menjadikan Tuhan sangat manusiawi dan menisbahkan
rencana serta maksud kepadanya. Akan tetapi, Saadia tidak melihat
Tuhan dalam konsepsi kitab suci lebih rendah daripada Tuhan dalam
falsafah. Para nabi lebih tinggi daripada para filosof. Pada akhirnya,
akal hanya dapat berupaya untuk membuktikan secara sistematis
apa-apa yang telah diajarkan oleh kitab suci.
Seorang Yahudi lainnya mengambil langkah lebih jauh. Dalam
karyanya Fountain of Life, Solomon ibn Gabirol (kl. 1022-1070) yang
Neoplatonis tidak dapat menerima doktrin penciptaan ex nihilo, tetapi
berupaya menyesuaikan teori emanasi untuk memungkinkan penisbahan
spontanitas dan kehendak bebas kepada Tuhan. Dia mengklaim
bahwa Tuhan telah menghendaki atau menginginkan proses emanasi.
Dengan demikian, proses itu tidak terlalu mekanistik dan menunjukkan
bahwa Tuhan mengendalikan hukum-hukum eksistensi, bukannya
tunduk pada dinamika yang sama. Namun, Gabirol gagal menjelaskan
secara memuaskan bagaimana materi bisa berasal dari Tuhan.
Seorang Yahudi lain kurang inovatif. Bahya ibn Pakudah (w. kl.
1080) bukanlah seorang Platonis fanatik, tetapi menggunakan metodemetode
kalam ketika dia rasa sesuai. Seperti Saadia, dia berpendapat
bahwa Tuhan telah menciptakan alam pada saat tertentu. Alam tentu
saja tidak muncul secara kebetulan: itu adalah gagasan yang sama
anehnya dengan mengatakan bahwa sebuah paragraf yang tertulis
dengan indah mewujud ketika tinta tumpah di atas kertas. Keteraturan
dan adanya tujuan alam membuktikan keharusan adanya Pencipta,
sebagaimana diungkapkan kitab suci. Setelah mengetengahkan doktrin
yang sangat tidak filosofis ini, Bahya beralih dari kalam ke falsafah,
menguraikan bukti-bukti Ibn Sina bahwa pastilah ada sebuah Wujud
Wajib.
Bahya percaya bahwa dua kelompok manusia yang mampu
menyembah Tuhan dengan sempurna adalah para nabi dan filosof.
Nabi memiliki pengetahuan langsung dan intuitif tentang Tuhan,
sedangkan filosof mempunyai pengetahuan rasional mengenainya.
253
Sejarah Tuhan
Manusia selain mereka hanya menyembah Tuhan yang diproyeksikan
pikiran sendiri. Mereka semua tak lebih seperti orang buta yang
hams dibimbing oleh orang lain jika tak mampu membuktikan sendiri
eksistensi dan keesaan Tuhan. Bahya sama elitisnya dengan para
faylasuf, tetapi dia juga mempunyai kecenderungan Sufistik yang
kuat: akal dapat memberi tahu kita bahwa Tuhan itu ada tetapi tak
mampu menyampaikan apa pun mengenai Tuhan. Seperti bisa terlihat
dari judulnya, risalah Bahya Duties of the Heart menganjurkan penggunaan
akal untuk membantu seseorang menumbuhkan sikap yang
layak kepada Tuhan. Ketika Neoplatonisme bertentangan dengan
Yudaisme, dia dengan mudah mencampakkannya. Pengalaman keagamaannya
tentang Tuhan lebih didahulukan daripada semua metode
rasionalistik.
Akan tetapi, jika akal tak mampu menyampaikan kepada kita
apa pun tentang Tuhan, lantas apa gunanya diskusi rasional tentang
persoalan-persoalan teologis? Pertanyaan ini telah menyibukkan
pemikir Muslim Abu Hamid Al-Ghazali (1058-1111), figur penting
dan ternama dalam sejarah filsafat agama. Dilahirkan di Khurasan,
dia belajar kalam di bawah bimbingan Al-Juwaini, seorang teolog
Asy'ariah terkemuka. Pada usia tiga puluh tiga tahun Al-Ghazali
diangkat sebagai direktur Masjid Nizamiyah yang terkenal di Bagdad.
Tugasnya adalah mempertahankan doktrin-doktrin Sunni dari serangan
Syiah Ismailiyah. Akan tetapi, Al-Ghazali memiliki temperamen gelisah
yang membuatnya tak henti-henti bergumul mencari kebenaran,
memikirkan suatu persoalan sampai tuntas dan menolak untuk puas
dengan jawaban yang mudah dan konvensional. Seperti yang
dikatakannya kepada kita,
Aku telah menerobos setiap celah yang gelap, aku telah menyerang
setiap persoalan, aku telah menyelam ke dalam setiap lautan. Aku
telah meneliti akidah semua sekte, aku telah menelanjangi semua
doktrin rahasia setiap komunitas. Semua ini kulakukan agar aku dapat
membedakan antara kebenaran dan kesesatan, antara tradisi yang sahih
dan pembaruan yang bid'ah.9
Dia mencari sejenis kepastian tak tergoyahkan yang dirasakan
filosof seperti Saadia, tetapi dia menjadi semakin kecewa. Betapa
pun luasnya pencarian yang telah dia lakukan, kepastian mutlak
selalu luput darinya. Tokoh-tokoh yang sezaman dengannya mencari
Tuhan dalam berbagai cara, sesuai kebutuhan pribadi dan kejiwaan
254
Tuhan Para Filosof
mereka masing-masing: dalam kalam, melalui seorang imam, dalam
falsafah, dan dalam mistisisme Sufi. Al-Ghazali tampaknya telah
mempelajari semua disiplin ini dalam upayanya untuk memahami
"apa hakikat segala sesuatu dalam dirinya sendiri."10 Para pengikut
keempat aliran besar Islam yang ditelitinya mengklaim keyakinan
total tetapi, Al-Ghazali bertanya, bagaimana membuktikan kebenaran
klaim ini secara objektif?
Al-Ghazali menyadari, seperti halnya setiap kaum skeptik
modern, bahwa kepastian mutlak merupakan suatu kondisi psikologis
yang tidak selalu benar secara objektif. Para faylasuf menyatakan
bahwa mereka memperoleh pengetahuan yang pasti melalui argumen
rasional; para mistikus berpendapat bahwa mereka telah menemukannya
lewat latihan-latihan Sufistik; kelompok Syiah Ismailiyah
merasa bahwa kepastian itu hanya bisa ditemukan dalam ajaran imamimam
mereka. Akan tetapi, realitas yang kita sebut "Tuhan" tidak
bisa diuji secara empiris, jadi bagaimana bisa kita meyakini bahwa
kepercayaan-kepercayaan kita itu bukanlah khayalan belaka? Buktibukti
rasional yang lebih konvensional gagal memuaskan standar
ketat Al-Ghazali. Para teolog kalam memulai dengan proposisiproposisi
yang dijumpai di dalam Al-Quran, tetapi tidak pernah diverifikasi
hingga bebas dari keraguan rasional. Kaum Ismaili bergantung
pada ajaran seorang imam yang gaib dan tidak dapat dihubungi, tapi
bagaimana kita bisa memastikan bahwa imam itu mendapat inspirasi
ilahi, dan jika kita tidak bisa bertemu dengannya, apa makna inspirasi
itu? Falsafah adalah yang paling tidak memuaskan di antara semuanya.
Al-Ghazali mengarahkan sebagian besar polemiknya kepada Al-Farabi
dan Ibn Sina. Karena berkeyakinan bahwa mereka hanya dapat didebat
oleh seorang ahli dalam bidang falsafah, Al-Ghazali mempelajari
disiplin tersebut selama tiga tahun hingga dia betul-betul menguasainya.
11 Dalam risalahnya Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan Falsafah),
Al-Ghazali berargumen bahwa para faylasuf itu telah menimbulkan
persoalan. Jika falsafah membatasi diri pada fenomena duniawi yang
teramati, seperti halnya kedokteran, astronomi, atau matematika, tentu
ia akan sangat berfaedah tetapi tidak mampu menyatakan apa-apa
tentang Tuhan. Bagaimana mungkin orang bisa membuktikan doktrin
emanasi, entah dengan cara apa pun? Berdasarkan autoritas apa
para faylasuf itu menyimpulkan bahwa Tuhan hanya mengetahui
hal-hal yang bersifat umum dan universal, bukan yang partikular?
Bagaimana mereka membuktikan ini? Argumen mereka bahwa Tuhan
255
Sejarah Tuhan
terlalu agung untuk mengetahui realitas-realitas yang lebih rendah
adalah tidak layak: sejak kapan ketidaktahuan terhadap sesuatu
dipandang sebagai keunggulan? Tak ada cara untuk membuktikan
proposisi-proposisi ini secara memuaskan. Karenanya, para faylasuf
itu tidak rasional dan tidak filosofis sebab berusaha mencari pengetahuan
yang terletak di luar kapasitas akal dan tidak bisa diverifikasi
oleh indra.
Apakah yang tersisa bagi seorang pencari kebenaran yang tulus?
Apakah iman yang teguh kepada Tuhan menjadi mustahii? Serentetan
pertanyaan ini menyebabkan Al-Ghazali tertekan. Dia kehilangan
gairah, kehilangan selera makan, dan dibelit rasa putus asa. Akhirnya,
sekitar tahun 1094, dia merasa tidak mampu lagi untuk berbicara
atau memberi kuliah:
Tuhan telah melumpuhkan lidahku sehingga aku tak bisa lagi mengajar.
Aku pernah memaksakan diri untuk mengajar murid-muridku di suatu
hari, namun lidahku tak mampu mengucap sepatah kata pun.12
Al-Ghazali mengalami depresi klinis. Para dokter dengan tepat
mendiagnosis adanya konflik batin mendalam dan mengatakan bahwa
jika dia tidak terbebas dari kecemasan tersembunyinya, dia tak akan
pernah sembuh. Khawatir akan ancaman neraka jika tidak berhasil
mengobati keimanannya, Al-Ghazali memutuskan untuk meninggalkan
jabatan akademisnya yang prestisius dan menempuh jalan kaum Sufi.
Di sanalah dia menemukan apa yang dicarinya selama ini. Tanpa
mengabaikan akal—Al-Ghazali selalu tidak mempercayai bentukbentuk
Sufisme yang lebih mencolok—dia menemukan bahwa latihan
mistik menghasilkan pemahaman langsung dan intuitif mengenai
sesuatu yang disebut "Tuhan." Sarjana Inggris John Bowker menunjukkan
bahwa kata Arab untuk eksistensi (wujud) berasal dari akar kata
wajada: "dia menemukan."13 Oleh karena itu, secara harfiah wujud
berarti "apa yang bisa ditemukan". Kata ini lebih konkret daripada
istilah-istilah metafisika Yunani sehingga memberi jalan yang lebih
lapang kepada kaum Muslim. Seorang filosof Arab yang berupaya
membuktikan bahwa Tuhan itu ada tidak harus menempatkan Tuhan
sebagai satu objek di antara banyak objek lain. Dia hanya harus
membuktikan bahwa Tuhan dapat ditemukan. Satu-satunya bukti
mutlak atas wujud Tuhan akan muncul—atau tidak—ketika seorang
Mukmin berhadapan dengan realitas ilahi setelah kematian. Tetapi,
256
Tuhan Para Filosof
pernyataan orang-orang seperti para nabi dan kaum mistik yang
mengklaim telah mengalami hal itu dalam kehidupan ini harus
disikapi dengan hati-hati. Kaum Sufi tentu mengklaim bahwa mereka
telah memiliki pengalaman tentang wujud Tuhan: kata wajd merupakan
sebuah istilah teknis dalam pemahaman ekstatik tentang Tuhan
yang memberi keyakinan utuh bahwa wujud itu nyata, bukan cuma
fantasi. Tentu saja pernyataan seperti itu bisa mengandung klaim
yang palsu, namun setelah sepuluh tahun menjalani kehidupan sebagai
seorang Sufi, Al-Ghazali berpendapat bahwa pengalaman keagamaan
merupakan satu-satunya cara untuk memverifikasi realitas yang
berada di luar jangkauan akal manusia dan proses pemikiran. Pengetahuan
kaum Sufi tentang Tuhan bukan merupakan pengetahuan rasional
atau metafisik, tetapi benar-benar sama dengan pengalaman intuitif
para nabi sejak dahulu kala: para Sufi dengan demikian telah menemukan
sendiri kebenaran esensial Islam dengan menghidupkan
kembali pengalaman intinya.
Oleh karena itu, Al-Ghazali merumuskan sebuah kredo mistik
yang dapat diterima oleh mayoritas Muslim, yang sering menaruh
kecurigaan terhadap mistik Islam, seperti yang akan kita saksikan
pada bab selanjutnya. Seperti Ibn Sina, Al-Ghazali mempertimbangkan
kembali kepercayaan kuno mengenai alam ideal yang berada di
atas dunia material yang indriawi ini. Dunia indriawi (alam alsyahadati)
merupakan replika inferior dari apa yang kita sebut alam
akal Platonik (alam al-malakut), sebagaimana yang diyakini setiap
faylasuf. Al-Quran dan Alkitab kaum Yahudi maupun Kristen telah
berbicara tentang alam spiritual ini. Manusia berada di kedua wilayah
realitas itu: dia masuk ke alam fisikal maupun alam ruh yang lebih
tinggi karena Tuhan telah menorehkan citra keilahian di dalam dirinya.
Dalam risalah mistiknya Misykat Al-Anwar, Al-Ghazali menafsirkan
Surah Al-Nur yang telah saya kutip dalam bab yang lalu.14 Cahaya di
dalam ayat ini merujuk kepada Tuhan maupun objek-objek lain yang
bersinar: pelita, bintang. Akal kita juga memancarkan cahaya. Akal
kita bukan hanya membuat kita mampu mempersepsikan objekobjek
lain tetapi, seperti Tuhan sendiri, akal mampu melampaui
ruang dan waktu. Oleh karena itu, ia berasal dari realitas yang sama
dengan alam ruh. Namun dengan maksud memperjelas bahwa yang
dimaksudnya dengan "akal" tidak semata-mata merujuk kepada daya
analitis dan otak kita, Al-Ghazali mengingatkan pembaca bahwa
penjelasannya tidak dapat dipahami secara harfiah: kita hanya bisa
257
Sejarah Tuhan
mendiskusikan persoalan ini dalam bahasa figuratif yang menyampaikan
imajinasi kreatif.
Naraun demikian, ada orang yang memiliki daya yang lebih
tinggi daripada akal, yang oleh Al-Ghazali disebut "ruh kenabian."
Orang-orang yang tidak memiliki fakultas ini tidak boleh begitu saja
menolak keberadaannya hanya karena belum pernah mengalaminya.
Itu sama absurdnya dengan orang tuli yang mengklaim bahwa musik
adalah ilusi, hanya karena dia tidak mampu mengapresiasinya. Kita
dapat mengetahui sesuatu mengenai Tuhan dengan menggunakan
daya nalar dan imajinasi kita, tetapi jenis pengetahuan tertinggi ini
hanya dapat dicapai oleh orang-orang, seperti para nabi atau kaum
mistik yang memiliki fakultas istimewa yang mampu-mencerap-
Tuhan. Ini kedengarannya bernada elitis, tetapi kaum mistik dalam
tradisi lain juga mengklaim bahwa kualitas-kualitas intuitif dan reseptif
yang dituntut oleh disiplin, seperti meditasi Zen atau Buddhis merupakan
bakat istimewa, yang bisa dibandingkan dengan bakat menulis
puisi. Tidak setiap orang memiliki bakat mistik ini. Al-Ghazali menggambarkan
pengetahuan mistik ini sebagai sebuah kesadaran bahwa
hanya Sang Penciptalah yang ada atau memiliki wujud. Hasilnya
adalah peniadaan diri dan peleburan di dalam Tuhan. Kaum mistik
mampu melampaui alam metafora, yang mesti memuaskan makhlukmakhluk
dengan karunia yang lebih sedikit; mereka,
mampu melihat bahwa tak ada wujud di dunia kecuali Tuhan dan
bahwa segala sesuatu akan binasa kecuali Wajah Tuhan (QS Al-Qashash
[28]: 88) ... Bahkan, segala sesuatu selain dia adalah murni non-wujud
dan, dilihat dari sudut pandang wujud yang diterimanya dari Akal
Pertama [dalam skema Platonis], tidak memiliki wujud dengan
sendirinya melainkan bergantung pada wajah Penciptanya, sehingga
satu-satunya yang ada hanyalah Wajah Tuhan.15
Tuhan bukanlah Wujud objektif eksternal yang eksistensinya dapat
dibuktikan secara rasional, tetapi adalah realitas yang menyelimuti
semua dan merupakan eksistensi tertinggi yang tidak bisa dipersepsikan
seperti kita mempersepsikan wujud-wujud yang bergantung
kepadanya dan menjadi bagian dari eksistensinya yang wajib: kita
harus mengembangkan cara melihat yang khusus.
Al-Ghazali akhirnya kembali kepada tugas mengajarnya di Bagdad,
tetapi tak pernah surut dalam keyakinannya bahwa adalah mustahil
membuktikan keberadaan Tuhan dengan logika dan bukti rasional.
258
Nurul Huda Kariem MR. eBook oleh : MR. Collection's
Tuhan Para Filosof
Dalam risalah biografisnya Al-Munqidz min Al-Dhalal (Pembebas
dari Kesesatan), dengan bersemangat dikemukakannya bahwa baik
falsafah maupun kalam tidak bisa memuaskan seseorang yang tengah
berada dalam bahaya hilangnya keimanan. Dia sendiri pernah jatuh
ke dalam jurang skeptisisme (safsafah) ketika disadarinya bahwa
sama sekali tak mungkin untuk membuktikan eksistensi Tuhan secara
rasional. Realitas yang kita sebut "Tuhan" berada di luar persepsi
indra dan pemikiran logis sehingga sains dan metafisika tidak bisa
membuktikan maupun menolak bukti wujud Allah. Bagi mereka
yang tidak dikaruniai bakat mistikal atau kenabian khusus, Al-Ghazali
telah merancang suatu disiplin yang memampukan seorang Muslim
menumbuhkan kesadaran tentang realitas Tuhan dalam setiap perincian
kehidupan sehari-hari. Al-Ghazali telah membuat kesan yang
tak terhapuskan di dalam Islam. Takkan pernah lagi kaum Muslim
membuat asumsi ceroboh bahwa Tuhan adalah sama seperti wujud
lain yang eksistensinya dapat didemonstrasikan secara ilmiah atau
filosofis. Sejak saat itu filsafat Muslim menjadi tak terpisahkan dari
spiritualitas dan pembahasan yang lebih mistikal tentang Tuhan.
Al-Ghazali juga berpengaruh terhadap Yudaisme. Filosof Spanyol
Joseph ibn Saddiq (w. 1143) menggunakan dalil Ibn Sina tentang
eksistensi Tuhan, tetapi secara hati-hati menyimpulkan bahwa Tuhan
bukan sekadar wujud yang lain—satu dari sekian banyak hal yang
"ada" dalam pengertian lazim kita atas kata tersebut. Kalau kita
mengklaim memahami Tuhan, maka berarti Tuhan itu terbatas dan
tidak sempurna. Pernyataan paling tepat yang bisa kita buat tentang
Tuhan adalah bahwa dia tidak bisa dipahami, sangat jauh dari
jangkauan daya intelektual alamiah kita. Kita bisa saja berbicara tentang
aktivitas Tuhan di dunia dalam terma-terma positif namun tidak mengenai
esensi Tuhan (Al-Dzaf), yang akan senantiasa luput dari kita.
Ahli kedokteran dari Toledo, Judah Halevi (1085-1141), menjadi
pengikut setia Al-Ghazali. Tuhan tidak bisa dibuktikan secara rasional;
ini tidak berarti bahwa keimanan kepada Tuhan menjadi tidak rasional
melainkan bahwa demonstrasi logis tentang eksistensi Tuhan tidak
memiliki nilai keagamaan. Bukti logis itu menyampaikan informasi
yang sangat sedikit: tak ada cara untuk memastikan tanpa ragu
bagaimana Tuhan impersonal yang begitu jauh itu dapat menciptakan
alam material atau apakah dia berhubungan dengan alam melalui
cara tertentu. Ketika para filosof mengklaim bahwa mereka menjadi
satu dengan Akal ilahi yang mengatur kosmos melalui penggunaan
259
Sejarah Tuhan
akal, mereka telah menipu diri mereka sendiri. Satu-satunya kelompok
manusia yang mempunyai pengetahuan langsung tentang Tuhan
adalah para nabi, yang tak memiliki kaitan apa-apa dengan falsafah.
Halevi tidak memahami filsafat sebaik Al-Ghazali, namun dia
sepakat bahwa pengetahuan yang terandalkan tentang Tuhan adalah
melalui pengalaman keagamaan. Seperti Al-Ghazali, dia juga mempostulatkan
adanya daya religius khusus, tetapi mengklaim bahwa
kemampuan itu hanya dimiliki oleh orang Yahudi. Dia mencoba
memperlunak ini dengan menyatakan bahwa goyim (orang bukan
Yahudi) dapat mencapai pengetahuan tentang Tuhan melalui hukum
alam, tetapi tujuan karya filosofis terbesarnya, The Kuzari, adalah
untuk menjustifikasi keunikan posisi Israel di antara bangsa-bangsa
lain. Seperti para Rabi Talmud, Halevi percaya bahwa setiap orang
Yahudi dapat memperoleh ruh kenabian melalui penunaian mitzvot
secara saksama. Tuhan yang ditemukannya bukanlah sebuah fakta
objektif yang eksistensinya bisa didemonstrasikan secara ilmiah, tetapi
merupakan pengalaman yang secara esensial bersifat subjektif. Dia
bahkan bisa dipandang sebagai perluasan diri "alamiah" orang Yahudi:
Keilahian menanti orang yang sesuai untuk menjadi tempat bersemayamnya,
untuk menjadi Tuhan baginya, sebagaimana dalam kasus
para nabi dan orang suci... Seperti halnya jiwa yang menanti untuk
masuk ke dalam janin hingga kekuatan hidupnya disempurnakan untuk
memampukannya menerima keadaan yang lebih tinggi ini. Dengan
cara yang sama, Alam menanti tibanya iklim yang baik agar dia dapat
menyuburkan tanah dan menumbuhkan tanaman.16
Dengan demikian, Tuhan bukanlah realitas yang asing, orang
Yahudi bukanlah wujud autonom yang terjauhkan dari yang ilahi.
Tuhan, menurut Halevi, bisa dilihat sebagai penyempurnaan manusia,
pemenuhan potensi manusia; lebih jauh lagi, "Tuhan" yang dijumpainya
secara unik adalah miliknya sendiri, suatu gagasan yang akan
kita telaah lebih dalam pada bab mendatang. Halevi dengan hatihati
membedakan antara Tuhan yang dapat dialami oleh orang Yahudi
dari esensi Tuhan itu sendiri. Tatkala para nabi dan orang suci mengklaim
pernah mengalami "Tuhan", yang mereka alami bukanlah zatnya
melainkan hanya aktivitas ilahi melalui semacam berkas kilasan cahaya
dari realitas transenden yang tak bisa dijangkau.
Akan tetapi, falsafah tidak sepenuhnya mati akibat polemik yang
diangkat oleh Al-Ghazali. Di Kordoba, seorang filosof Muslim terkenal
260
Tuhan Para Filosof
mencoba menghidupkannya kembali dan mempertahankannya
sebagai bentuk tertinggi agama. Abu Al-Walid ibn Ahmad ibn Rusyd
(1126-1198), yang di Eropa dikenal sebagai Averroes, menjadi autoritas
di Barat bagi kalangan Yahudi maupun Kristen. Selama abad ketiga
belas, karya-karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani dan
Latin, dan komentar-komentarnya tentang Aristoteles menimbulkan
pengaruh besar terhadap teolog-teolog terkemuka, seperti Maimonides,
Thomas Aquinas, dan Albert yang Agung. Pada abad kesembilan
belas, Ernest Renan menghormatinya sebagai pribadi yang merdeka
dan pelopor rasionalisme menentang kepercayaan buta. Namun, di
Dunia Islam sendiri, Ibn Rusyd hanya menjadi figur marjinal. Melalui
karya dan pengaruh yang ditimbulkan Ibn Rusyd setelah wafatnya,
kita bisa melihat perbedaan cara pendekatan dan konsepsi antara
Timur dan Barat tentang Tuhan. Ibn Rusyd dengan bersemangat
menolak kritik Al-Ghazali terhadap falsafah dan cara Al-Ghazali raendiskusikan
persoalan-persoalan esoterik ini secara terbuka. Berbeda
dari pendahulunya, Al-Farabi dan Ibn Sina, Ibn Rusyd adalah seorang
qadi, hakim agama, sekaligus pula seorang filosof. Kaum ulama
selalu menaruh kecurigaan terhadap falsafah dan konsepsi ketuhanannya
yang sangat berbeda, tetapi Ibn Rusyd berhasil menyatukan
Aristoteles dengan ajaran Islam yang lebih tradisional. Dia yakin
bahwa tidak ada pertentangan apa pun antara agama dan rasionalisme.
Keduanya mengekspresikan kebenaran yang sama melalui cara yang
berbeda; keduanya juga mengarah kepada Tuhan yang sama. Namun,
tidak semua orang mampu memahami pemikiran filosofis sehingga
falsafah hanya untuk kalangan elit intelektual. Falsafah akan membingungkan
orang awam dan menjerumuskan mereka ke dalam kesesatan
yang membahayakan keselamatan abadi mereka. Di sinilah letak
pentingnya tradisi esoterik, yang menjaga doktrin-doktrin berbahaya
ini dari mereka yang tidak layak menerimanya. Sebagaimana halnya
dengan Sufisme dan telaah batini Syiah Ismailiyah; jika orang yang
tidak pantas mengupayakan latihan-latihan mental semacam ini,
mereka bisa jatuh sakit dan mengalami berbagai bentuk gangguan
psikologis. Kalam juga sama bahayanya. Kalam hampir serupa dengan
falsafah sejati dan memberi kesan menyesatkan bahwa seseorang
terlibat dalam diskusi rasional yang wajar padahal sebenarnya tidak
demikian. Akibatnya, kalam hanya menimbulkan perdebatan-perdebatan
doktrinal yang tidak berfaedah, yang hanya akan melemahkan
iman orang awam dan menggelisahkan mereka.
261
Ibn Rusyd berkeyakinan bahwa penerimaan kebenaran-kebenaran
tertentu merupakan hal yang esensial bagi keselamatan di akhirat.
Ini adalah pandangan baru dalam Dunia Islam. Para faylasuf merupakan
autoritas utama dalam doktrin: hanya merekalah yang mampu
menafsirkan kitab suci dan merupakan orang-orang yang digambarkan
oleh Al-Quran sebagai golongan yang "mengakar kuat pada ilmu."17
Semua orang lain wajib membaca Al-Quran secara harfiah, tetapi
kaum faylasuf mampu mengupayakan penafsiran simbolis. Namun
demikian, para faylasuf pun mesti menaati "kredo" doktrin-doktrin
wajib, yang disusun Ibn Rusyd sebagai berikut:
1. Eksistensi Tuhan sebagai Pencipta dan Pelindung alam semesta.
2. Keesaan Tuhan.
3- Sifat-sifat mengetahui, berkuasa, berkehendak, mendengar,
melihat dan berkata-kata di dalam Al-Quran telah dinisbahkan
kepada Allah.
4. Keunikan dan ketiadaan sekutu bagi Tuhan, yang secara jelas
telah ditegaskan di dalam Al-Quran (QS Al-Syura [42]: 9): "Tak
ada sesuatu yang serupa dengan-Nya."
5. Penciptaan alam oleh Tuhan.
6. Keabsahan kenabian.
7. Keadilan Tuhan.
8. Kebangkitan jasmani di Hari Akhir.18
Doktrin-doktrin tentang Tuhan harus diterima in toto, karena Al-
Quran menyatakannya dengan teramat gamblang. Falsafah tidak selalu
berkenaan dengan kepercayaan pada penciptaan alam, misalnya,
sehingga tidak jelas bagaimana seharusnya memahami doktrin
Al-Quran mengenai hal itu. Walaupun Al-Quran dengan tegas menyatakan
bahwa Tuhanlah yang menciptakan alam, tetapi tidak
dijelaskan bagaimana Tuhan melakukannya atau apakah alam
diciptakan pada saat tertentu. Ini membuat para faylasuf bebas mengadopsi
keyakinan kaum rasionalis. Di samping itu, Al-Quran menyatakan
bahwa Tuhan memiliki sifat-sifat seperti mengetahui, tetapi kita
tidak tahu pasti apa arti sifat itu karena konsepsi kita tentang pengetahuan
bersifat manusiawi dan tidak sempurna. Oleh karena itu,
pernyataan Al-Quran bahwa Tuhan mengetahui segala apa yang
kita kerjakan tidak secara mutlak bertentangan dengan keyakinan
para filosof.
262
Sejarah Tuhan
Tuhan Para Filosof
Dalam Dunia Islam, mistisisme sangatlah penting sehingga
konsepsi ketuhanan Ibn Rusyd, yang didasarkan sepenuhnya pada
teologi kaum rasionalis, tak banyak berpengaruh. Ibn Rusyd adalah
tokoh yang terhormat dengan kedudukan sekunder di dalam Islam,
tetapi dia justru menjadi sangat penting di dunia Barat. Sebab, melalui
dirinyalah dunia Barat menemukan Aristoteles dan mengembangkan
konsepsi yang lebih rasionalistik tentang Tuhan. Kebanyakan orang
Barat memiliki pengetahuan yang sangat terbatas tentang kebudayaan
Islam dan tidak mengetahui perkembangan filsafat sesudah Ibn Rusyd.
Karenanya sering muncul dugaan bahwa karier Ibn Rusyd menandai
akhir filsafat Islam. Sebenarnya pada masa kehidupan Ibn Rusyd,
dua filosof besar yang sangat berpengaruh di Dunia Islam mulai
menuliskan karya mereka di Irak dan Iran. Yahya Suhrawardi dan
Muhyiddin Ibn Al-Arabi, yang lebih mengikuti jejak Ibn Sina daripada
Ibn Rusyd, berupaya menyandingkan filsafat dengan spiritualitas.
Kita akan menelaah karya mereka di dalam bab mendatang.
Pengikut Ibn Rusyd yang terkemuka di dunia Yahudi adalah
seorang Talmudis dan filosof, Rabi Musa ibn Maimun (1135-1204),
yang biasa dikenal sebagai Maimonides. Seperti Ibn Rusyd, Maimonides
asli kelahiran Kordoba, ibu kota Spanyol Islam. Di kota ini terdapat
konsensus bahwa ada jenis filsafat yang sangat esensial untuk mendapatkan
pengertian yang lebih mendalam tentang Tuhan. Namun,
Maimonides mesti meninggalkan Spanyol ketika nyawanya terancam
oleh sekte Berber fanatik, Al-Morawi, yang memerangi masyarakat
Yahudi. Benturan menyakitkan dengan fundamentalisme abad pertengahan
ini tidak membuat Maimonides memusuhi Islam secara keseluruhan.
Bersama orangtuanya, dia menetap di Mesir. Di sini dia
mendapat jabatan tinggi dalam pemerintahan dan bahkan menjadi
dokter bagi sultan. Di kota ini pula dia menulis risalahnya yang
populer The Guide for the Perplexed, yang mengetengahkan argumen
bahwa keyakinan Yahudi bukan merupakan seperangkat doktrin yang
arbitrer, melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip yang rasional.
Seperti Ibn Rusyd, Maimonides percaya bahwa falsafah, sebagai
bentuk pengetahuan agama yang paling maju dan membentangkan
jalan menuju Tuhan, tidak boleh diungkapkan kepada orang awam
tetapi harus disimpan oleh para elit. Namun, berbeda dengan Ibn
Rusyd, dia berkeyakinan bahwa orang awam bisa diajar untuk menafsirkan
kitab suci secara simbolis, agar mereka terhindar dari pandangan
antropomorfis tentang Tuhan. Dia juga percaya bahwa ada beberapa
263
Sejarah Tuhan
doktrin yang penting bagi penyelamatan dan mengusulkan tiga belas
kredo yang sangat mirip dengan yang disusun Ibn Rusyd: .
1. Eksistensi Tuhan.
2. Keesaan Tuhan.
3. Tuhan bukan materi.
4. Keabadian Tuhan.
5. Larangan menyembah berhala.
6. Keabsahan kenabian.
7. Musa adalah yang paling utama di antara pada nabi.
8. Kebenaran berasal dari Tuhan.
9. Keabsahan abadi Taurat.
10. Tuhan mengetahui perbuatan manusia.
11. Dia akan menghakimi dengan adil.
12. Dia akan mengutus seorang Al-Mahdi.
13. Kebangkitan orang yang telah mati.19
Ajaran ini dianggap bid'ah dalam Yudaisme dan tidak penah
diterima sepenuhnya. Sebagaimana dalam Islam, ortodoksi (sebagai
lawan dari ortopraksi) tidak dikenal dalam pengalaman keagamaan
Yahudi. Kredo Ibn Rusyd dan Maimonides menyarankan bahwa
pendekatan rasionalistik dan intelektualistik terhadap agama akan
mengarah kepada dogmatisme dan identifikasi "iman" sebagai
"kepercayaan yang benar".
Sungguhpun demikian, Maimonides dengan hati-hati menyatakan
bahwa Tuhan secara esensial tidak bisa dipahami dan tak dapat
dijangkau oleh akal manusia. Dia membuktikan eksistensi Tuhan
dengan menggunakan argumen-argumen Aristoteles dan Ibn Sina
tetapi bersiteguh bahwa Tuhan tetap tidak bisa dijangkau atau
dijelaskan karena simplisitas absolutnya. Nabi-nabi pun menggunakan
kiasan dan mengajarkan kepada kita bahwa pembicaraan yang
bermakna tentang Tuhan hanya mungkin dilakukan dengan menggunakan
bahasa simbolis dan perumpamaan. Kita tahu bahwa Tuhan
tidak dapat diperbandingkan dengan apa pun yang ada. Oleh karena
itu, lebih baik kita menggunakan terminologi negatif ketika berupaya
menguraikannya. Daripada mengatakan bahwa "dia ada" lebih baik
kita menyangkal ketiadaannya, dan seterusnya. Sebagaimana kaum
Ismaili, penggunaan bahasa negatif dipandang sebagai latihan yang
dapat meningkatkan apresiasi kita terhadap transendensi Tuhan,
264
Tuhan Para Filosof
mengingatkan kita bahwa kenyataannya sangat berbeda dari gagasan
apa pun yang dapat dikonsepsikan manusia mengenai Tuhan. Kita
bahkan tidak bisa mengartikan bahwa Tuhan itu "baik" karena dia
jauh melampaui apa pun yang kita pahami sebagai "kebaikan". Inilah
cara untuk mengakali ketidaksempurnaan kita, mencegah kita dari
memproyeksikan harapan dan keinginan kita kepadanya karena hal
itu akan menjadikan Tuhan memiliki citra dan kemiripan dengan
kita. Namun demikian, kita bisa memakai Via Negativa untuk membentuk
pernyataan positif tentang Tuhan. Ketika kita berkata bahwa
Tuhan "tidak lemah" (sebagai pengganti menyatakan bahwa dia
perkasa), secara logis berarti bahwa Tuhan pasti mampu untuk bertindak.
Karena Tuhan "bukan tidak sempurna", tindakannya pasti juga
sempurna. Tatkala kita mengatakan Tuhan "tidak bodoh" (artinya
dia mahabijaksana), kita dapat mendeduksikan bahwa dia mengetahui
dan bijak secara sempurna. Deduksi semacam ini hanya dapat dilakukan
sejauh menyangkut aktivitas Tuhan dan tidak tentang esensinya
yang tetap berada di luar jangkauan akal kita.
Ketika dihadapkan pada pilihan antara Tuhan Alkitab dan Tuhan
para filosof, Maimonides selalu memilih yang pertama. Meskipun
doktrin creatio ex nihilo secara filosofis tidak ortodoks, Maimonides
menganut doktrin biblikal tradisional dan meninggalkan gagasan
filosofis tentang emanasi. Seperti yang dikemukakannya, creatio ex
nihilo maupun emanasi tidak bisa dibuktikan secara definitif oleh
akal semata. Dia juga memandang kenabian lebih tinggi daripada
filsafat. Baik nabi maupun filosof berbicara tentang Tuhan yang
sama, tetapi nabi pastilah lebih unggul secara imajinatif maupun
intelektual. Nabi memiliki pengetahuan intuitif langsung tentang Tuhan
yang lebih tinggi daripada pengetahuan yang diperoleh lewat penalaran
diskursif. Maimonides tampaknya juga merupakan seorang mistikus.
Dia bicara tentang kemabukan menggetarkan yang menyertai
pengalaman intuitif tentang Tuhan, sebuah emosi yang "diakibatkan
oleh penyempurnaan daya imajinatif."20 Meskipun sangat menekankan
rasionalitas, Maimonides menyatakan bahwa pengetahuan tertinggi
tentang Tuhan lebih banyak berasal dari imajinasi bukan dari akal
semata.
Gagasan-gagasan Maimonides menyebar luas di kalangan orang
Yahudi di Prancis Selatan dan Spanyol sehingga pada permulaan
abad keempat belas, muncul apa yang kemudian menjadi pencerahan
filsafat Yahudi di kawasan itu. Beberapa di antara para filosof Yahudi
265
Sejarah Tuhan
ini lebih rasionalistik daripada Maimonides. Levi ben Gershom (1288-
1344) dari Bagnol di Prancis Selatan, misalnya, menolak konsepsi
bahwa Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat duniawi. Dia mengambil
konsepsi ketuhanan para filosof, bukan Tuhan menurut Alkitab.
Tak pelak muncul beberapa reaksi. Sebagian orang Yahudi beralih
ke mistisisme dan mengembangkan disiplin esoterik Kabbalah, seperti
yang akan kita saksikan nanti. Yang lain meninggalkan filsafat ketika
musibah menimpa, karena merasa bahwa Tuhan falsafah yang jauh
itu ternyata tidak mampu melipur lara mereka. Selama abad ketiga
belas dan keempat belas, Perang Penaklukan Kristen mulai berhasil
menekan wilayah-wilayah Islam di Spanyol dan menyebarkan anti-
Semitisme Eropa Barat ke semenanjung itu yang akhirnya bermuara
pada kehancuran Yahudi Spanyol. Selama abad keenam belas orangorang
Yahudi meninggalkan falsafah dan mengembangkan konsep
yang sama sekali baru, yang lebih diilhami oleh mitologi daripada
logika ilmiah.
Gerakan penyebaran Kristen oleh orang Barat membuat agama
itu terpisah dari tradisi-tradisi monoteistik lain. Perang Salib tahun
1096-1099 menandai keluarnya Eropa dari periode panjang barbarisme
yang dikenal sebagai Zaman Kegelapan. Roma baru, didukung
oleh negara-negara Kristen Eropa Utara, berupaya untuk memperoleh
kembali jalan masuk ke kancah intemasional. Namun Kristen Anglikan,
Saxon, dan Frank tidak banyak berkembang. Mereka adalah orangorang
agresif dan suka berperang, serta mendambakan agama yang
agresif pula. Selama abad kesebelas, para pendeta Benediktin dari
biara-biara Cluny dan cabang-cabangnya telah berusaha untuk mengaitkan
semangat tempur mereka dengan gereja dan mengajari mereka
nilai-nilai Kristen sejati melalui praktik peribadatan, seperti ziarah.
Pasukan Salib generasi pertama memandang ekspedisi mereka ke
Timur Dekat sebagai ziarah ke Tanah Suci. Namun, mereka masih
memiliki konsepsi yang sangat primitif tentang Tuhan dan agama.
Para rahib pejuang, seperti St. George, St. Mercury, dan St. Demetrius
digambarkan melebihi tuhan dalam kebaikan mereka dan, dalam
praktik, hanya sedikit berbeda dari dewa-dewa pagan. Yesus lebih
dipandang sebagai pemimpin feodal Perang Salib daripada sebagai
inkarnasi Logos: dia mengumpulkan para kesatrianya untuk merebut
kembali pusakanya—Tanah Suci—dari kaum kafir. Ketika perjalanan
mereka dimulai, sebagian prajurit bertekad untuk membalas kematian
Yesus dengan menumpas komunitas Yahudi yang tinggal di sepanjang
266
Tuhan Para Filosof
Lembah Rhine. Meski bukan bagian dari gagasan awal Paus Urban II
ketika dia menyerukan Perang Salib, namun tampaknya Pasukan
Salib bertindak terlalu kejam untuk mengadakan perjalanan sejauh
3.000 mil demi memerangi kaum Muslim yang sama sekali belum
mereka kenal, pada saat orang-orang yang diduga telah betul-betul
membunuh Yesus malah dibiarkan hidup dan diperlakukan dengan
baik di depan mata mereka sendiri. Selama perjalanan panjang dan
berat menuju Yerusalem, banyak di antara pasukan nyaris menemui
akhir hayatnya. Mereka hanya dapat menggantungkan daya tahan
mereka pada asumsi bahwa merekalah bangsa pilihan Tuhan, yang
telah memperoleh perlindungan khusus darinya. Tuhan telah membimbing
mereka memasuki Tanah Suci seperti yang pernah dilakukannya
terhadap orang-orang Israel kuno. Dari sudut pandang praktik,
Tuhan mereka masih merupakan dewa kesukuan primitif yang
diceritakan dalam kitab-kitab awal Alkitab. Ketika akhirnya berhasil
menaklukkan Yerusalem pada musim panas tahun 1099, mereka
menumpas habis penduduk Yahudi dan Muslim di kota itu dengan
semangat Yoshua dan membantai mereka dengan kebrutalan yang
bahkan mencengangkan masyarakat sezamannya.
Sejak saat itu orang Kristen Eropa memandang Yahudi dan Muslim
sebagai musuh Tuhan; untuk waktu yang lama mereka juga telah
merasakan antagonisme mendalam terhadap Kristen Ortodoks Yunani
di Byzantium, yang membuat mereka merasa sebagai kaum barbar
dan hina.21 Namun keadaannya tidak selalu demikian. Selama abad
kesembilan, beberapa orang Kristen Barat yang lebih terpelajar telah
diilhami oleh teologi Yunani. Filosof Celtic Duns Sectus Erigena
(810-877), misalnya, yang meninggalkan tanah kelahirannya di
Irlandia untuk bekerja di istana Charles The Bold, Raja Frank Barat,
telah menerjemahkan banyak karya para Bapa Gereja Yunani ke
dalam bahasa Latin agar bisa dimanfaatkan oleh orang Kristen Barat,
khususnya karya-karya Denys Aeropagite. Erigena sangat percaya
bahwa iman dan akal tidak saling eksklusif satu sama lain. Seperti
halnya para faylasuf Yahudi dan Muslim, dia memandang filsafat sebagai
jalan membentang menuju Tuhan. Plato dan Aristoteles adalah
guru bagi orang-orang yang memerlukan penjelasan rasional tentang
agama Kristen. Kitab suci dan tulisan para Bapa Gereja mungkin diilhami
oleh disiplin penalaran logis dan rasional. Ini bukan berarti
penafsiran harfiah: beberapa bagian kitab suci harus ditafsirkan secara
simbolis karena, sebagaimana dijelaskan Erigena dalam karyanya
267
Sejarah Tuhan
Exposition of Denys's Celestial Hierarchy, teologi merupakan "sejenis
puisi."22
Erigena menggunakan metode dialektika Denys dalam pembahasannya
tentang Tuhan, yang hanya bisa dijelaskan dengan menggunakan
paradoks yang mengingatkan kita kembali pada keterbatasan
nalar kemanusiaan kita. Baik pendekatan positif maupun negatif
kepada Tuhan adalah sama absahnya. Tuhan tidak bisa dipahami:
bahkan para malaikat pun tidak mengetahui atau memahami hakikat
esensial Tuhan. Akan tetapi, pemyataan positif, seperti "Tuhan itu
bijaksana," bisa dibenarkan karena bila kita merujukkan pernyataan
itu kepada Tuhan, maka kita menyadari bahwa kita tidak menggunakan
kata "bijaksana" dalam pengertian lazimnya. Selanjutnya kita
mengingatkan diri kita tentang hal ini melalui pernyataan negatif,
dengan mengatakan "Tuhan tidak bijaksana." Paradoks ini mendorong
kita bergerak ke jalan ketiga yang ditempuh Denys ketika berbicara
tentang Tuhan, ketika kita menarik kesimpulan: "Tuhan lebih dari
bijaksana." Inilah apa yang oleh orang Yunani disebut sebagai pernyataan
apofatik karena kita tidak memahami apa makna "lebih dari
bijaksana" itu. Lagi-lagi, ini bukan sekadar permainan kata melainkan
sebuah disiplin: penyejajaran dua pernyataan yang saling bertentangan
itu akan membantu kita menanamkan rasa misteri yang dikandung
dalam kata "Tuhan", karena dia tidak pernah bisa dibatasi oleh konsepsi
manusia biasa.
Ketika menerapkan metode ini pada pernyataan "Tuhan itu ada,"
Erigena tiba, sebagaimana mestinya, pada sintesis: "Tuhan lebih dari
ada." Adanya Tuhan tidak sama seperti adanya makhluk yang
diciptakannya dan dia bukanlah wujud yang setara dengan semua
makhluk itu, seperti yang dikemukakan oleh Denys. Ini lagi-lagi
merupakan pernyataan yang tidak bisa dipahami, karena, Erigena
berkomentar, "apa yang lebih dari 'ada' itu tidaklah dijelaskan. Karena
dikatakannya bahwa Tuhan bukanlah salah satu dari yang ada
melainkan lebih dari segala yang ada, tapi apakah yang 'ada' itu,
tidak pernah didefinisikan."23 Pada kenyataannya, Tuhan itu "Tiada."
Erigena sadar bahwa ini terdengar mengejutkan, namun dia memperingatkan
pembacanya untuk tidak khawatir. Metodenya hanya
bermaksud mengingatkan kita bahwa Tuhan bukanlah sebuah objek;
dia tidak "mengada" dalam cara apa pun yang bisa kita pahami.
Tuhan adalah "Dia yang lebih dari ada" (aliquo modo superesse).24
Modus eksistensinya berbeda dari kita seperti perbedaan wujud kita
268
Tuhan Para Filosof
dari binatang dan perbedaan wujud binatang dari batu. Namun jika
Tuhan itu "Tiada", dia sekaligus adalah "Segalanya": karena "eksistensi
super" ini berarti bahwa hanya Tuhan yang memiliki wujud sejati;
dialah esensi segala sesuatu yang meminjam wujud darinya. Oleh
karena itu, setiap ciptaannya adalah sebuah teofani atau tanda
kehadiran Tuhan. Kesalehan Celtic Erigena—yang terumuskan dalam
doa terkenal dari St. Patrick: "Tuhan hadir di dalam pikiranku dan di
dalam pemahamanku"—membuat dia memberi penekanan pada
imanensi Tuhan. Manusia, yang dalam skema Neoplatonis merangkum
segenap ciptaan dalam dirinya, merupakan teofani paling sempurna,
dan, seperti Agustinus, Erigena mengajarkan bahwa kita dapat
menemukan sejenis trinitas di dalam diri kita, meski hanya lewat
pantulan cermin yang buram.
Dalam teologi paradoksikal Erigena, Tuhan adalah Tiada sekaligus
Segalanya; kedua istilah itu saling menyeimbangkan satu sama lain
dan berada dalam ketegangan kreatif yang menyiratkan misteri yang
hanya dapat disimbolkan oleh kata "Tuhan". Tatkala seorang murid
bertanya kepadanya tentang apa yang dimaksudkan Denys bahwa
Tuhan itu Tiada, Erigena menjawab bahwa Kebaikan ilahi tidak bisa
dipahami karena hal itu adalah "supra-esensial"—artinya, lebih dari
Kebaikan itu sendiri—sekaligus supra-natural. Maka,
ketika ia merenungkan dirinya sendiri, ia tidak ada kini, dahulu atau
nanti, karena ia dipahami bukan sebagai sesuatu yang ada sebab ia
melampaui segala sesuatu. Akan tetapi, jika disebabkan oleh sesuatu
yang tak terucapkan itu ia jatuh ke dalam keberadaan, ia hanya ada di
dalam tatapan pikiran, hanya ia yang ada di dalam segala sesuatu, dan
ia ada kini, dahulu, dan nanti.25
Oleh karena itu, tatkala kita memikirkan realitas ilahi di dalam
dirinya sendiri, "tidaklah masuk akal untuk menyebutnya 'Tiada',"
namun ketika Ketiadaan suci ini memutuskan untuk "keluar dari
Tiada menuju Ada," setiap ciptaannya "bisa disebut sebagai teofani,
yakni penampakan Tuhan."26 Kita tidak bisa melihat Tuhan sebagaimana
dia dalam dirinya sendiri sebab Tuhan yang dimaksudkan dan
dituju dalam hal ini tidak ada. Tuhan yang dapat kita lihat hanyalah
Tuhan yang menghidupkan alam ciptaan dan mengungkapkan dirinya
di dalam bunga, burung-burung, pepohonan, dan manusia-manusia
lainnya. Namun, terdapat persoalan dalam pendekatan ini. Bagaimana
269
Sejarah Tuhan
dengan kejahatan? Apakah, seperti yang diyakini orang Hindu,
kejahatan juga merupakan salah satu manifestasi Tuhan di dunia?
Erigena tidak berusaha membahas masalah kejahatan secara mendalam,
tetapi para Kabbalis Yahudi belakangan berupaya menempatkan
kejahatan di dalam esensi Tuhan: mereka juga mengembangkan
sebuah teologi yang menggambarkan Tuhan muncul dari Ketiadaan
menjadi Ada melalui cara yang sangat mirip dengan uraian Erigena,
meskipun hampir mustahil ada seorang Kabbalis yang pernah membaca
karyanya.
Erigena telah memperlihatkan betapa orang Latin bisa belajar
banyak dari orang Yunani, tetapi pada tahun 1054 Gereja Timur dan
Barat saling memutuskan hubungan karena perpecahan yang ternyata
bertahan untuk waktu yang lama—walau tak seorang pun pada masa
tersebut menginginkannya. Konflik ini berdimensi politik, yang tidak
akan dibahas di sini, tetapi juga berkisar pada masalah Trinitas. Pada
tahun 796, sebuah sinode uskup-uskup Barat mengadakan pertemuan
di Freijus, Prancis Selatan, dan telah menyisipkan klausa tambahan
ke dalam kredo Nicene. Klausa itu menetapkan bahwa Roh Kudus
bukan hanya berasal dari Bapa, melainkan juga dari Putra (filioque).
Uskup-uskup Latin bermaksud menekankan persamaan antara Bapa
dan Putra, karena sebagian dari mereka menganut pandangan Arius.
Menyatakan Roh Kudus berasal dari Bapa sekaligus Putra, menurut
mereka, akan menekankan kesetaraan status ketiganya. Meskipun
Charlemagne, yang akan segera menjadi Kaisar Barat, sama sekali
tidak paham soal-soal teologis, dia menerima klausa sisipan tersebut.
Akan tetapi, orang Yunani mengutuknya. Orang Latin tetap pada
pendirian mereka dan bersikeras bahwa Bapa-bapa mereka sendiri
yang mengajarkan doktrin ini. St. Agustinus, misalnya, memandang
Roh Kudus sebagai kesatuan dasar di dalam Trinitas, sebagai perwujudan
cinta antara Bapa dan Putra. Oleh karena itu, adalah benar jika
dikatakan bahwa Roh Kudus berasal dari keduanya, dan klausa
tambahan itu menekankan ketunggalan esensial ketiga oknum itu.
Akan tetapi, orang Yunani selalu menaruh kecurigaan terhadap
teologi Trinitarian Agustinus, karena terlalu antropomorfis. Kalau
Barat memulai dengan ajaran tentang keesaan Tuhan kemudian
memandang ketiga oknum berada di dalam kesatuan itu, orang Yunani
justru mengawalinya dengan tiga hypostases dan menyatakan bahwa
keesaan Tuhan—esensinya—berada di atas jangkauan pengetahuan
kita. Mereka berpendapat bahwa orang Latin telah menjadikan Trinitas
270
Tuhan Para Filosof
terlalu mudah dipahami, mereka juga mencurigai bahwa bahasa Latin
tak mampu mengungkapkan gagasan Trinitas ini secara cukup akurat.
Klausa filioque terlalu menekankan ketunggalan ketiga oknum dan,
menurut orang Yunani, alih-alih menunjukkan kemisteriusan esensial
Tuhan, sisipan itu membuat Trinitas menjadi terlalu rasional. Klausa
itu menjadikan Tuhan bersatu dengan ketiga aspek atau modus keberadaan.
Sebenarnya, tak ada bid'ah apa pun dalam keyakinan Latin
itu, sekalipun tidak selaras dengan spiritualitas apofatik Yunani. Konflik
ini bisa dihilangkan seandainya ada keinginan untuk berdamai, tetapi
ketegangan antara Timur dan Barat meningkat cepat selama Perang
Salib, terutama ketika Pasukan Salib keempat mencaplok Konstantinopel
ibu kota Byzantium pada tahun 1204 dan memorakporandakan
kekaisaran Yunani secara fatal.
Keretakan akibat filioque ini menyingkapkan bahwa orang Yunani
dan Latin memiliki konsepsi ketuhanan yang sangat berbeda. Trinitas
tak pernah menjadi tema sentral dalam spiritualitas Barat sebagaimana
halnya di kalangan orang Yunani. Orang Yunani merasa bahwa dengan
menekankan keesaan Tuhan melalui cara ini, Barat telah menyamakan
Tuhan dengan "esensi sederhana" yang bisa didefinisikan dan didiskusikan,
seperti Tuhan para filosof.27 Pada bab-bab selanjutnya akan
kita saksikan bahwa Kristen Barat sering kesulitan menghadapi doktrin
Trinitas dan bahwa, selama Zaman Pencerahan abad kedelapan belas,
banyak di antara mereka yang mencampakkannya begitu saja. Secara
sadar, banyak orang Barat yang tidak menganut Trinitarian. Mereka
mengeluh bahwa doktrin Tiga Oknum dalam Satu Tuhan sungguh
tidak bisa dipahami, tanpa menyadari bahwa bagi orang Yunani itu
justru merupakan inti ajaran terpenting.
Setelah perpecahan itu, orang Yunani dan Latin menempuh jalan
terpisah. Dalam Ortodoksi Yunani, theologia, studi tentang Tuhan,
tetap tak berubah, terbatas pada kontemplasi tentang Tuhan dalam
doktrin-doktrin mistikal Trinitas dan Inkarnasi. Mereka berpendapat
ibahwa "teologi pengampunan" atau "teologi keluarga" mengandung
kontradiksi dalam terma. Mereka sama sekali tidak tertarik pada
diskusi-diskusi teoretis dan definisi isu-isu sekunder. Barat justru
semakin menaruh perhatian pada persoalan ini dan membentuk suatu
pandangan standar yang mengikat bagi setiap orang. Reformasi, misalnya,
telah membagi dunia Kristen menjadi kubu-kubu yang saling
bersitegang karena orang Katolik dan Protestan tidak bisa bersepakat
tentang bagaimana penyelamatan terjadi dan apa persisnya makna
271
Sejarah Tuhan
Ekaristi. Kristen Barat terus menantang Yunani untuk mengeluarkan
pendapat mereka tentang isu-isu sensitif ini. Akan tetapi, orang Yunani
selalu ketinggalan dan, andaikata mereka menjawab, jawaban mereka
sering terdengar agak membingungkan. Mereka tidak percaya kepada
rasionalisme, menganggapnya sebagai sarana yang tidak memadai
untuk berdiskusi tentang Tuhan yang berada di luar konsep maupun
logika. Metafisika dapat diterima dalam studi-studi sekular, tetapi
orang Yunani semakin merasa bahwa hal itu dapat membahayakan
keimanan. Metafisika menarik bagi pikiran yang riuh rendah, yang
sibuk berbicara, padahal theoria mereka bukan merupakan opini
intelektual melainkan sikap diam yang berdisiplin di hadapan Tuhan
yang hanya bisa diketahui melalui pengalaman religius dan mistik.
Pada tahun 1082, filosof dan humanis John Italos diadili sebagai
pembid'ah karena terlalu banyak menggunakan filsafat dan konsepsi
Neoplatonis tentang penciptaan. Penolakan filsafat ini terjadi tidak
lama sebelum Al-Ghazali melakukan hal yang sama di Bagdad dan
meninggalkan kalam untuk menjadi seorang Sufi.
Oleh karena itu, sungguh ironis bahwa orang Kristen Barat justru
masuk ke dunia filsafat persis pada saat orang Yunani dan Muslim
mulai meninggalkannya. Plato dan Aristoteles tidak pernah dibicarakan
di dunia Latin selama Zaman Kegelapan sehingga tak pelak Barat
telah ketinggalan. Pertemuan dengan filsafat telah begitu merangsang
dan membangkitkan semangat. Teolog abad kesebelas, Anselm dari
Canterbury, yang pandangan-pandangannya tentang Inkarnasi telah
dibahas pada Bab 4, kelihatannya berpendapat bahwa segala sesuatu
dapat dibuktikan. Tuhannya bukan Tiada melainkan wujud tertinggi
dari segalanya. Bahkan seorang yang tidak beriman bisa membentuk
ide tentang wujud yang mahatinggi itu, yang merupakan "satu watak,
tertinggi di antara segala sesuatu, mahatunggal dan berkecukupan
dalam kedamaian abadi."28 Sungguhpun demikian, dia juga mengajarkan
bahwa Tuhan hanya mungkin dikenal melalui iman. Ini tidaklah
separadoks kelihatannya. Dalam doanya yang terkenal, Anselm
merefleksikan sabda Yesaya: "Jika engkau tak beriman, engkau
takkan mengerti":
Aku ingin memahami kebenaranmu yang diyakini dan dicintai oleh
hatiku. Karena aku mencari pemahaman bukan agar aku beriman
melainkan aku beriman agar aku memahami (credo ut intellegam).
Karena aku bahkan percaya kepada ini: aku takkan mengerti kecuali
kalau aku beriman.29
272
Tuhan Para Filosof
Credo ut intellegam yang sering dikutip ini bukanlah merupakan
penolakan akal. Anselm tidak mengklaim menganut kredo itu secara
membabi buta dengan harapan bahwa pernyataan semacam itu kelak
akan menjadi bermakna. Penegasannya sebenarnya harus diterjemahkan
sebagai: "Aku berserah diri agar aku bisa mengerti." Pada saat
itu, kata credo belum memiliki bias intelektual dari kata "kepercayaan"
seperti sekarang tetapi berarti sikap amanah dan setia. Penting untuk
dicatat bahwa bahkan dalam gelombang pertama rasionalisme Barat,
pengalaman keagamaan tentang Tuhan tetap lebih utama, mendahului
penjelasan atau pemahaman logis.
Meskipun demikian, seperti halnya para faylasuf Muslim dan
Yahudi, Anselm percaya bahwa eksistensi Tuhan dapat dipertahankan
secara rasional, dan dia mengemukakan dalil-dalilnya sendiri, yang
bisa disebut sebagai argumen "ontologis". Anselm mendefinisikan
Tuhan sebagai "sesuatu yang tak terpikirkan ada hal lain yang
melebihi keagungannya" (aliquid quo nihil maius cogitari possif).30
Karena menyiratkan bahwa Tuhan bisa menjadi objek pikiran, definisi
ini berimplikasi bahwa Tuhan bisa dikonsepsikan dan dipahami oleh
pikiran manusia. Anselm berpendapat bahwa Sesuatu ini pasti ada.
Karena bereksistensi lebih "sempurna" atau lengkap daripada noneksistensi,
wujud sempurna yang kita bayangkan ini haruslah
bereksistensi, kalau tidak dia akan menjadi tidak sempurna. Dalil
yang disodorkan Anselm dapat dikatakan cerdas dan efektif di dunia
yang didominasi oleh pemikiran Platonis, yang meyakini bahwa ideide
merujuk kepada arketipe abadi. Namun, dalil itu kelihatannya
tidak dapat meyakinkan seorang skeptik zaman sekarang. Seperti
yang ditegaskan oleh teolog Inggris John Macquarrie, Anda bisa saja
membayangkan memiliki uang 100 dolar, tetapi sayangnya bayangan
itu tidak akan membuat uang tersebut menjadi sebuah realitas di
dalam saku Anda.31
Oleh karena itu, Tuhan Anselm adalah Wujud, bukan Tiada yang
telah digambarkan oleh Denys dan Erigena. Anselm bermaksud untuk
bicara tentang Tuhan dalam terma yang jauh lebih' positif dibanding
para faylasuf terdahulu. Dia tidak mengusulkan cara Via Negativa,
tetapi cenderung berpikir tentang kemungkinan untuk tiba pada
gagasan yang layak tentang Tuhan melalui akal alamiah, persis seperti
yang dipersoalkan orang Yunani terhadap teologi Barat. Setelah puas
dengan dalil yang diajukannya tentang eksistensi Tuhan, Anselm
kemudian berusaha membuktikan doktrin Inkarnasi dan Trinitas, yang
273
Sejarah Tuhan
selalu dikedepankan oleh orang Yunani meski bertentangan dengan
akal dan konseptualisasi. Dalam risalahnya, Why God Became Man
yang telah disinggung pada Bab 4, Anselm lebih banyak bersandar
pada logika dan pemikiran rasional daripada wahyu—kutipan dari
Alkitab dan ujaran para Bapa tampak insidental saja dalam pemaparan
argumennya, yang, seperti telah kita saksikan, secara esensial menisbahkan
motivasi manusia kepada Tuhan. Anselm bukanlah satu-satunya
orang Kristen Barat yang mencoba menguraikan misteri Tuhan
dalam terma rasional. Tokoh sezaman dengannya, Peter Abelard
(1079-1147), filosof karismatik dari Paris, juga telah mengembangkan
penafsiran tentang Trinitas yang menekankan keesaan ilahi dengan
agak mengurbankan perbedaan antara Tiga Oknum itu. Dia juga mengembangkan
penjelasan yang canggih dan dinamis tentang misteri
penebusan dosa: Kristus telah disalib demi menggugah rasa kasih
sayang kita dan dengan melakukan itu dia menjadi Juru Selamat kita.
Abelard pada dasarnya seorang filosof dengan corak teologi
yang agak konvensional. Dia menjadi pelopor kebangkitan intelektual
di Eropa selama abad kedua belas dan mempunyai banyak pengikut.
Ini membuatnya berkonflik dengan Bernard, pemimpin Biara
Cistercian Clairvaux di Burgundi, yang dapat dikatakan merupakan
tokoh paling berpengaruh di Eropa. Paus Eugene II dan Raja Louis
VII dari Prancis ada di dalam saku Bernard. Kemahirannya beretorika
telah mengilhami revolusi monastik di Eropa: sekelompok besar
anak muda meninggalkan rumah-rumah mereka untuk bergabung
dengannya di dalam ordo Cisterian yang berupaya mereformasi kehidupan
religius Benediktin. Ketika Bernard menyerukan Perang Salib
II pada tahun 1146, rakyat Prancis dan Jerman—yang sebelumnya
agak apatis terhadap ekspedisi itu—nyaris mencabik-cabiknya lantaran
antusiasme mereka, ramai-ramai datang untuk bergabung dengan
tentara dalam jumlah begitu besar sehingga, menurut laporan yang
ditulis Bernard dengan bangga kepada Paus, desa-desa menjadi
kosong akibat ditinggalkan penghuninya. Bernard seorang yang
cerdas, yang telah memberi dimensi batiniah baru bagi kesalehan
Eropa Barat yang agak bersifat lahiriah. Ajaran Cistercian tampaknya
telah mempengaruhi legenda Holy Grail, yang menggambarkan
perjalanan spiritual ke sebuah kota simbolik yang tidak berada di
dunia ini tetapi mewakili visi tentang Tuhan.
Bernard sama sekali tidak percaya pada intelektualisme para
sarjana semacam Abelard dan, oleh karena itu, berusaha untuk
274
Tuhan Para Filosof
membungkamnya. Dia menuduh Abelard "berupaya menodai iman
Kristen karena mengatakan bahwa akal manusia bisa memahami
semua aspek Tuhan."32 Dengan merujuk pada himne St. Paulus,
Bernard mengklaim bahwa filosof itu tidak memiliki cinta Kristen:
"Dia melihat ketiadaan sebagai sebuah teka-teki, ketiadaan seperti
dalam sebuah cermin, tetapi melihat segala sesuatu secara berhadaphadapan."
33 Oleh karena itu, cinta dan penggunaan akal menjadi dua
hal yang bertentangan. Pada tahun 1141, Bernard memanggil Abelard
ke hadapan Majelis Sens, yang telah dipenuhinya dengan pendukungpendukungnya
sendiri. Beberapa di antara anggota majelis itu berdiri
di luar untuk mengintimidasi Abelard ketika dia datang. Tak terlalu
sulit baginya untuk melakukan ini karena, pada saat itu, Abelard kemungkinan
besar telah terkena penyakit Parkinson. Bernard menyerangnya
dengan kefasihan luar biasa yang membuat Abelard jatuh
pingsan dan meninggal dunia tahun berikutnya.
Ini adalah saat-saat simbolik yang menandai perpecahan antara
akal dan hati. Dalam Trinitarianisme Agustinus, hati dan akal tidak
terpisahkan. Para faylasuf Muslim, seperti Ibn Sina dan Al-Ghazali
telah tiba pada kesimpulan bahwa akal semata tidak akan mampu
menemukan Tuhan, tetapi mereka akhirnya menggagas sebuah filsafat
yang diilhami oleh cinta dan mistisisme. Kita akan menyaksikan
bahwa selama abad kedua belas dan ketiga belas, para pemikir
besar Dunia Islam berupaya untuk menggabungkan akal dan hati
serta memandang filsafat sebagai tak terpisahkan dari spiritualitas
cinta dan imajinasi yang diketengahkan oleh kaum Sufi. Akan tetapi,
Bernard kelihatannya menaruh kecurigaan terhadap akal dan bermaksud
untuk terus memisahkannya dari bagian pikiran yang lebih
emosional dan intuitif. Ini berbahaya, karena bisa membawa pada
pemilahan tak sehat yang sama parahnya dengan rasionalisme yang
kering. Perang Salib yang dikumandangkan Bernard merupakan bencana,
sebagian karena penyandarannya pada idealisme yang tak didukung
akal sehat dan secara nyata bertentangan dengan etos kasih
Kristen.34 Perlakuan Bernard terhadap Abelard pun jelas-jelas hampa
dari sikap kasih sayang, tetapi dia mendorong Pasukan Salib untuk
membuktikan kecintaan mereka kepada Kristus dengan cara membunuhi
kaum kafir dan mengusir mereka dari Tanah Suci. Bernard
boleh saja takut pada rasionalisme yang berupaya menjelaskan misteri
Tuhan dan mengancam menghapuskan rasa takjub dan takzim dari
agama, tetapi subjektivitas yang gagal menguji prasangkanya sendiri
275
Sejarah Tuhan
dapat membawa pada sikap berlebihan yang berakibat lebih jelek
lagi terhadap agama. Yang dibutuhkan justru subjektivitas yang
berdasar dan cerdas, bukan emosionalisme "cinta" yang mengekang
akal dengan ketat dan menghapuskan kasih sayang yang semestinya
menjadi ciri agama Tuhan.
Beberapa pemikir lain telah memberi konstribusi yang lestari
bagi Kristen Barat, seperti Thomas Aquinas (1225-74) yang mengupayakan
sintesis filsafat Yunani dan Agustinus. Selama abad kedua
belas, para sarjana Eropa berbondong-bondong ke Spanyol untuk
mempelajari khazanah ilmu kaum Muslim. Dengan bantuan kaum
intelektual Muslim dan Yahudi, mereka melakukan proyek penerjemahan
besar-besaran untuk memboyong kekayaan intelektual ini ke
Barat. Terjemahan berbahasa Arab atas filsafat Plato, Aristoteles, dan
filosof-filosof kuno lainnya kini diterjemahkan lagi ke dalam bahasa
Latin dan untuk pertama kalinya tersedia bagi masyarakat Eropa
Utara. Para penerjemah itu juga menggarap karya terbaru sarjana
Muslim, termasuk karya Ibn Rusyd serta penemuan para ilmuwan
dan ahli kedokteran Arab. Pada saat yang sama ketika sebagian
orang Kristen Eropa berjuang menghancurkan Islam di Timur Dekat,
kaum Muslim Spanyol sedang membantu Barat membangun peradaban
mereka sendiri. Summa Theologiae dari Thomas Aquinas merupakan
upaya untuk mengintegrasikan filsafat baru itu dengan tradisi
Kristen Barat. Aquinas secara khusus terkesan pada penjelasan Ibn
Rusyd atas Aristoteles. Akan tetapi, berbeda dengan Anselm dan
Abelard, dia tidak percaya bahwa misteri semacam Trinitas dapat
dibuktikan oleh akal dan membedakan secara cermat antara realitas
Tuhan yang tak terucapkan dengan doktrin-doktrin manusia mengenainya.
Dia sependapat dengan Denys bahwa hakikat sejati Tuhan
tidak bisa dijangkau oleh pikiran manusia: "Dengan demikian, batas
akhir dari semua yang dapat diketahui oleh manusia tentang Tuhan
adalah mengetahui bahwa dia tidak mengetahui Tuhan, karena manusia
tahu bahwa Tuhan mengungguli semua hal yang dapat dipahami
mengenainya."35 Ada sebuah kisah yang menceritakan bahwa ketika
selesai mendiktekan kalimat terakhir dari Summa, Aquinas dengan
sedih menelungkupkan kepala di atas lengannya. Ketika juru tulis bertanya
apa yang terjadi, Aquinas menjawab bahwa segala yang telah
ditulisnya tampak tak berharga dibanding apa yang telah dilihatnya.
Upaya Aquinas untuk meletakkan pengalaman religiusnya dalam
konteks filsafat baru adalah penting untuk mendialogkan keimanan
276
Tuhan Para Filosof
dengan realitas lain dan tidak memisahkannya ke sebuah kawasan
tersendiri. Intelektualisme yang berlebihan akan merusak iman, tetapi
agar Tuhan tidak dijadikan alat untuk mendukung egoisme kita sendiri,
pengalaman keagamaan harus disertai penilaian akurat tentang
kandungannya. Aquinas mendefinisikan Tuhan dengan cara merujuk
pada definisi yang Tuhan berikan sendiri kepada Musa: "Aku adalah
Aku." Aristoteles pernah mengatakan bahwa Tuhan adalah Wujud
Wajib; Aquinas kemudian mengaitkan Tuhan para filosof dengan
Tuhan Alkitab dengan menyebut Tuhan, "Dia Yang Ada" (Qui est).
Ditegaskannya secara mutlak bahwa Tuhan bukan sekadar wujud
lain seperti diri kita sendiri. Definisi Tuhan sebagai Wujud Itu Sendiri
sudah memadai "karena tidak merujuk pada bentuk tertentu kecuali
wujud itu sendiri (esse seipsum)."36 Adalah keliru untuk menyalahkan
Aquinas atas pandangan rasionalistis tentang Tuhan yang kemudian
berkembang di Barat.
Namun sayangnya, Aquinas menimbulkan kesan bahwa Tuhan
bisa didiskusikan dengan cara yang sama seperti kita mendiskusikan
ide-ide filsafat atau fenomena alam. Dia mengawali diskusi tentang
Tuhan dengan pembuktian eksistensi Tuhan berdasarkan filsafat alam.
Ini menyiratkan bahwa kita dapat mengetahui Tuhan dengan cara
yang sama, seperti realitas-realitas duniawi. Aquinas menyusun lima
"dalil" eksistensi Tuhan yang akan menjadi sangat penting di dunia
Katolik dan juga akan dipakai oleh orang Protestan:
1. Argumen Aristoteles tentang Penggerak yang Tak Digerakkan.
2. "Dalil" serupa yang mengemukakan bahwa tak mungkin ada
rangkaian sebab yang tak terbatas: pasti ada sebuah titik awal.
3. Argumen tentang sifat ketergantungan yang mengharuskan
adanya satu Wujud Wajib, seperti diuraikan oleh Ibn Sina.
4. Argumen Aristoteles dalam Philosophy yang menyatakan bahwa
hierarki kesempurnaan di dunia ini mengimplikasikan adanya
Kesempurnaan yang paling baik di atas segalanya.
5. Argumen tentang rancangan alam, keteraturan dan adanya tujuan
dalam apa yang kita lihat di alam semesta tidak mungkin hanya
merupakan hasil suatu kebetulan.
Dalil-dalil ini tak bisa dipertahankan pada masa sekarang. Bahkan
dari sudut pandang agama, dalil-dalil ini agak meragukan, dengan
pengecualian argumen tentang rancangan alam, setiap dalil ini secara
277
implisit menyatakan bahwa "Tuhan" hanyalah sebuah wujud yang
lain, satu simpul lain dalam rantai eksistensi. Dia adalah Wujud Tertinggi,
Wujud Wajib, dan Wujud yang Paling Sempurna. Benar bahwa
penggunaan istilah-istilah, seperti "Sebab Pertama" atau "Wujud Wajib"
menyiratkan bahwa Tuhan bukanlah sesuatu seperti wujud-wujud
yang kita ketahui, melainkan merupakan sumber atau syarat bagi
keberadaan wujud-wujud yang lain itu. Inilah yang sangat ditekankan
oleh Aquinas. Meskipun demikian, para pembaca Summa tidak selalu
berhasil menangkap pembedaan penting ini dan berbicara tentang
Tuhan seakan-akan dia sekadar merupakan Wujud Tertinggi dari
semua wujud lain. Ini bersifat reduktif dan bisa membuat Wujud
Super ini menjadi berhala, yang dibentuk dalam citra kita sendiri
dan dengan mudah beralih menjadi suatu Super-Ego yang melangit.
Barangkali bukan tidak akurat untuk mengatakan bahwa banyak orang
di Barat memandang Tuhan sebagai Wujud yang seperti ini.
Upaya pengaitan Tuhan dengan arus Aristotelianisme baru ini
penting dilakukan di Eropa. Para faylasuf juga telah memperingatkan
bahwa ide tentang Tuhan harus terus diperbarui menurut perkembangan
zaman. Dalam setiap generasi, gagasan dan pengalaman
tentang Tuhan harus senantiasa diperbarui. Akan tetapi, kebanyakan
kaum Muslim telah—dapat dikatakan demikian—berpuas diri dan
merasa bahwa Aristoteles tidak banyak berkontribusi pada kajian
tentang Tuhan, meskipun dia tetap sangat berpehgaruh dalam bidang
lain, seperti ilmu alam. Kita telah melihat bahwa bahasan Aristoteles
tentang hakikat Tuhan telah dinamai meta ta physica ("Setelah
Physics") oleh editor karya-karyanya: Tuhan menurut pandangan
Aristoteles juga lebih merupakan kelanjutan realitas fisik daripada
sebuah realitas dari tatanan yang sama sekali berbeda. Oleh karena
itu, dalam Dunia Islam, diskusi paling mutakhir tentang Tuhan mencampurkan
filsafat dengan mistisisme. Akal saja tidak bisa mencapai
pemahaman religius tentang realitas yang kita sebut "Tuhan", tetapi
pengalaman religius perlu dilengkapi dengan daya pikir kritis dan
disiplin filsafat jika tidak ingin sekadar menjadi emosi yang melantur,
berlebihan, atau bahkan berbahaya.
Tokoh Fransiskan yang sezaman dengan Aquinas, Bonaventura
(1217-74), memiliki pandangan yang hampir sama. Dia juga berusaha
mengartikulasikan filsafat dengan pengalaman religius untuk memperkaya
kedua wilayah itu. Di dalam The Threefold Way, dia mengikuti
Agustinus yang melihat "trinitas" ada di dalam semua ciptaan
278
Sejarah Tuhan
Tuhan Para Filosof
dan menjadikan "trinitarianisme alamiah" ini sebagai titik berangkat
dalam karyanya Journey of the Mind to God. Secara kukuh dia percaya
bahwa Trinitas dapat dibuktikan oleh akal alamiah, tetapi menghindar
dari bahaya keangkuhan rasionalis dengan menekankan pentingnya
pengalaman keagamaan sebagai komponen esensial bagi gagasan
tentang Tuhan. Dia menyebut Francis dari Assisi, pendiri ordonya,
sebagai teladan utama bagi kehidupan kristiani. Dengan memperhatikan
riwayat hidupnya, seorang teolog, seperti Bonaventura dapat
menemukan bukti kebenaran doktrin-doktrin gereja. Penyair Tuscan,
Dante Alighieri (1265-1321) juga menemukan bahwa seorang manusia
biasa—dalam kasus Dante, perempuan Florentina, Beatrice Portinari—
dapat menjadi epifani ilahi. Pendekatan personalistik kepada Tuhan
ini dipengaruhi oleh Agustinus.
Bonaventura juga menerapkan Dalil Ontologis Anselm tentang
eksistensi Tuhan dalam pembahasannya mengenai Francis sebagai
sebuah epifani. Dia menyatakan bahwa dalam kehidupan ini Francis
telah mencapai kesempurnaan yang tampaknya melampaui batas
manusiawi sehingga adalah mungkin bagi kita, selama masih hidup
di dunia ini, untuk "melihat dan memahami bahwa yang 'terbaik'
adalah ... sesuatu yang tak mungkin dibayangkan ada yang lebih
baik daripadanya."37 Kenyataan bahwa kita dapat membentuk konsep
seperti "yang terbaik" itu membuktikan bahwa Kesempurnaan
Tertinggi Tuhan itu pasti ada. Jika kita menyelami diri kita sendiri,
seperti yang dianjurkan oleh Plato maupun Agustinus, kita akan
menemukan citra Tuhan terpantul di dalam "alam batin kita sendiri."38
Introspeksi ini sangatlah penting. Tentu saja tetap penting untuk
terlibat dalam liturgi Gereja, namun orang Kristen pertama-tama harus
menyelami dirinya sendiri, di mana dia akan "dibawa melampaui
akal" dan mendapat penampakan akan Tuhan yang mentransendensi
ungkapan manusiawi kita yang terbatas.39
Bonaventura dan Aquinas memandang pengalaman keagamaan
sebagai hal yang mendasar. Mereka setia kepada tradisi falsafah,
karena baik dalam Yudaisme maupun Islam, para filosof sering juga
merupakan ahli mistik yang sangat sadar akan keterbatasan akal
dalam memecahkan persoalan teologis. Mereka telah mengembangkan
dalil-dalil rasional tentang eksistensi Tuhan untuk mendialogkan
iman mereka dengan kajian ilmiah dan mengaitkannya dengan
pengalaman yang lebih umum. Mereka secara pribadi tidak meragukan
eksistensi Tuhan, dan banyak di antara mereka yang betul-betul
279
Sejarah Tuhan
menyadari keterbatasan dari apa-apa yang telah mereka capai. Dalildalil
ini memang tidak dirancang untuk meyakinkan orang-orang
yang tidak beriman, karena pada masa itu belum ada ateis dalam
pengertian modern kita. Oleh karena itu, teologi natural ini bukan
merupakan pengantar kepada pengalaman religius, melainkan sebuah
penyandingan: para faylasuf itu tidak percaya bahwa Anda harus
meyakinkan diri secara rasional tentang eksistensi Tuhan sebelum
dapat memperoleh pengalaman mistik. Justru sebaliknya, di dunia
Yahudi, Muslim, dan Ortodoksi Yunani, Tuhan para filosof segera
digantikan oleh Tuhan kaum mistik.[]
280